Thursday, 30 October 2025

Cinderella Semalam

 



Aku suka menulis apapun di sosial media, termasuk tentang mimpiku untuk kuliah dan memberi kontribusi pada teman-teman sesama disabilitas. Hingga suatu hari tulisanku dibaca oleh seorang perempuan yang menawarkan diri untuk menjemputku ke rumah. 

Anehnya aku sama sekali tidak menaruh curiga. Bahkan keluargaku langsung merestui tanpa banyak bertanya. Semuanya terasa berjalan dengan cepat dan tanpa kendala. 

Kini aku berada di depan sebuah rumah besar bergaya Eropa, dengan taman penuh mawar dan pancuran air yang berkilau diterpa matahari. Seorang wanita berpakaian elegan berdiri di belakang kursi rodaku. Wajahnya menenangkan—vibes-nya mirip Dian Sastrowardoyo, tapi bukan dia.

“Namaku Aurelia, anggap saja aku kakakmu,” katanya lembut sambil menggenggam tanganku. “Mulai hari ini, kau tinggal di sini. Anggap rumah ini rumahmu, Amel.”

Sebelum sempat bertanya, dia mendorong kursi rodaku untuk  mengajakku masuk. Kamar yang disiapkannya sungguh seperti dalam film kerajaan di Eropa: luas, beraroma bunga, dan penuh baju-baju modis yang membuatku merasa seperti putri dadakan.

Kakak angkatku adalah wanita yang kaya raya, cerdas, dan punya hati yang baik. Dia membiayaiku kuliah, memperkenalkanku pada teman-temannya, dan bahkan menjadikanku bagian dari keluarganya. Dia sering memuji tulisanku bagus dan aku punya bakat luar biasa di bidang literasi. 

Dan di sanalah aku bertemu Niko—pacarnya. Katanya dia adalah seorang aktor terkenal saat ini. Wajahnya tenang, aura karismatiknya sulit dijelaskan. Aku langsung mengerti kenapa kakakku jatuh cinta padanya. 

Niko juga memperlakukanku dengan hangat, menganggapku benar-benar seperti adik ipar. Kadang ia menjemputku kuliah, meski aku dan kursi rodaku sudah pasti akan sedikit merepotkannya. Bahkan dia sering membelikan cemilan favoritku tanpa diminta.

Tapi lama kelamaan aku mulai merasa perhatiannya berlebihan dan tidak masuk akal. Kadang dia tiba-tiba mengajakku ke butik mewah dan menyuruhku memilih baju apapun yang aku inginkan. Kadang bahkan dia memberiku kejutan berupa perhiasan mahal. Teman-teman kuliah mulai menyebarkan rumor, "Ipar adalah maut." 

Padahal jangankan untuk menggodanya, menatap wajahnya saja aku tak berani. Aku lebih sering menunduk, atau pura-pura melihat ke arah lain saat kita hanya berdua. Aku juga sering meminta kakak untuk tidak meninggalkan kami berduaan, tapi sayang kesibukannya mengurus perusahaan keluarga membuatnya terpaksa meninggalkanku dengan tatapan rasa bersalah. 

Hingga aku mulai berpikir untuk kabur dari semua ini! 

Namun pada suatu sore, saat kami bertiga duduk di taman, Niko tiba-tiba memanggil seseorang. Kakak dan Niko saling berpandangan seolah merahasiakan sesuatu. 

Ternyata mereka sudah lama berniat untuk memperkenalkanku pada seseorang. “Mel, ini adikku, Sean,” katanya. Aku menoleh, dan... jantungku nyaris berhenti berdetak.

Sean mirip sekali dengan Niko—hanya saja lebih muda, lebih santai, dan punya tatapan mata yang menyimpan keusilan lembut. “Jadi ini ‘adik cantik’ yang sering kamu ceritain itu?” katanya sambil tersenyum. Aku hanya bisa tertawa gugup.

Sejak hari itu, Sean sering mampir. Kadang pura-pura membantu belajar, kadang hanya ingin mengajakku makan bersama. Tapi semakin lama, semakin terasa kalau antara kami ada sesuatu yang pelan-pelan tumbuh—hangat, tulus, dan tanpa rencana.

Beberapa tahun kemudian, aku berdiri di taman yang sama, mengenakan gaun yang indah berwarna ungu. Kakak menatapku sambil tersenyum bahagia, kemudian memeluk erat.

“Sekarang kau benar-benar adikku, Mel,” katanya.

Sementara itu di sebelahku, Sean menggenggam tanganku dengan lembut. Aku menatap ke arah rumah besar itu—tempat di mana semuanya dimulai, dari awal kesalahpahaman yang aneh sampai menjadi takdir yang indah.

Tiba-tiba aku membeku di tengah hiruk-pikuk keramaian pesta pernikahan. Endingnya terlalu indah. Seperti dongeng Cinderella, atau entah putri-putri yang mana. Ini pasti mimpi! 

Benar saja! Setelah aku memejamkan mata, kemudian membukanya kembali, yang aku dapatkan hanyalah pemandangan langit-langit kamar berwarna putih yang mulai menguning. Aku tersenyum sendiri, "Betapa bahagianya menjadi Cinderella. Meski hanya untuk semalam." 


TAMAT 






Dikira Ngirim Pelet!

 



Almarhum Bapak pernah ngomong, "Nduk, kalau ada yang berbuat baik padamu, maka balaslah dengan kebaikan."


Tapi apa yang aku alami ini bikin aku pengen protes sama beliau. Ya, gimana aku nggak protes, sebuah kebaikan yang aku maksud buat balas kebaikan teman, malah dikira seolah-olah aku mengirim ajian jaran goyang.


Oh astaga! Andai aku bisa benar-benar mengirim ajian jaran goyang, pasti udah aku kirim ke Nicholas Saputra! Eh, enggak Rory Asyari aja. Eh, atau mendingan Pradikta Wicaksana aja ya? Tuh kan, kalau aku beneran punya ajian jaran goyang, yang ada aku malah bingung mau pilih siapa. 


Semua berawal dari cerita sahabatku sesama difabel, April, tapi nggak pakai Mop. Dia ikut proyek nulis bareng. Syaratnya, tiap peserta wajib jual minimal satu buku, kalau gagal namanya dihapus dari daftar kontributor karya. Seketika aku membayangkan perjuangan dia nulis dari pagi sampai malam, harus lenyap begitu saja kalau nggak berhasil menjual. Aku takut dia tiba-tiba cosplay jadi Rossa, "Ku menangis... membayangkan... betapa kejamnya dirimu melepas diriku...."  


Sebagai sahabat yang merasa berhutang padanya. Tapi bukan "hutang dulu seratus" ya? Bukan dong.... Hutangku ke dia adalah sering tiba-tiba mendaulat dia jadi tukang nampung curhat dadakan, tanpa dibayar pula! Jadi aku pun memutar otak, bagaimana agar bisa membantu. 


Aku pengin beli, tapi rumahku sering banjir. Automatis rak buku aku udah mirip atlet renang, yang tiap hari berenang mulu nggak ada capeknya. Bedanya kalau atlet renang kolamnya biru, kalau rak buku di rumahku kolamnya coklat. Akhirnya aku kepikiran buat beli bukunya April… tapi dikirim ke temenku, Farhad.


Farhad ini cowok sesama difabel juga, tapi lebih jago dari aku dalam urusan teknologi. Aku butuh narasumber disabilitas — Farhad bantuin. HP  mama error — Farhad bantuin. Aplikasi pelatihan ribet — Farhad bantuin. Pokoknya bagiku dia kayak “Tukang Service Ponsel + Teman Setia + ChatGPT versi bisa napas.”


Jadi aku pikir, kirim buku buat dia itu sebagai tanda terima kasih aja. Nggak ada maksud lain. Bahkan aku request jangan dikasih nama pengirim, nggak ada kata-kata cinta, apalagi bunga tujuh rupa. No! Normal semuanya.


Tapi ternyata… paket normal itu malah bikin sikap Farhad berubah jadi nggak normal.


Beberapa waktu setelah paket sampai, Farhad berubah. Yang biasanya nulis “aku”, jadi “saya”. Yang biasanya balas chat dalam jeda beberapa jam aja, tiba-tiba jadi tujuh hari tujuh malam. Yang biasanya menutup percakapan dengan stiker, tiba-tiba centang biru tanda dibaca pun nggak pernah ada. 


Masya Allah, formal banget! Aku jadi kepikiran, dia mau nyalon jadi anggota DPR kali ya? Makanya saking sibuknya kampanye dia nggak sempat balas chat.


Sampai suatu hari, aku tahu faktanya dari temen aku si Bella. Awalnya dia seperti biasanya, sering curhat soal cowok-cowok yang mendekatinya. Aku udah hafal banget polanya — mulai dari “ada yang ngajak kenalan nih” sampai “tapi aku nggak ada rasa.” — Yang kadang-kadang pengen kubalas, "Tambahin syrup dong!" 


Tapi hari itu beda. Dia tiba-tiba nyeletuk, “Kenapa ya, cowok-cowok disabilitas tuh cenderung gampang banget geer? Contohnya, baru dikirimin buku doang, udah berasa kayak diseret ke KUA.”


Aku langsung merasa kayak disambar petir. Lho… buku? Siapa yang ngirimin buku? Kok kayaknya nyindir seseorang. Seseorang itu... aku?


Karena aku orangnya suka kepo, aku langsung memotong ucapannya. “Kamu nyindir siapa, Bel?”


“Bukan siapa-siapa,” katanya santai. "Cuma ngasih perumpamaan aja. Hehehe...." 


Tapi aku merasa jawaban “Bukan siapa-siapa”. Itu artinya “Ada... seseorang, tapi aku takut ngomongnya”.


Akhirnya aku mencecar dia kayak detektif gadungan: tanya dari berbagai sudut, dengan berbagai versi, sampai akhirnya dia terjebak. Kemudian terpaksa bilang apa adanya.


Katanya Farhad pernah  ngechat dia begini, “Alma ngapain sih, kirim beginian segala? Aku nggak suka dikirimin beginian!”


Bayangin, aku cuma ngirim buku, bukan kirim bulu perindu. Tapi dia malah mengadukannya ke orang lain, kayak bocil SD yang ngelaporin temennya karena ngompol di dalam kelas.


Waktu itu aku bingung banget.

Aku harus gimana coba? Diem aja biar dia hilang dari hidup aku kayak uang di dompet pas akhir bulan? Atau kasih penjelasan semuanya biar nggak bikin salah paham?


Tapi aku juga bingung jelasin apa? Lah wong aku sendiri nggak tahu apa yang dia pikirin. Mau klarifikasi juga takut dikira beneran suka, karena terkesan takut kehilangan. Yaudah, akhirnya aku cuma bisa diem… 


Aku tuh emang kadang ngasih-ngasih gitu, terutama ke temen sesama disabilitas. Sebatas bentuk ucapan terima kasih ke orang-orang yang pernah berjasa. Nggak peduli dia cowok, atau cewek. Yang penting tetap manusia, bukan alien! Setiap yang pernah bantu, aku pengin balas.


Tapi aku punya satu permintaan: jangan upload ke sosmed. Kalau enggak mau aku ngambek! 

Walaupun kadang ada yang maksa upload, aku kasih syarat satu hal: tolong jangan tag namaku. Soalnya aku ngasih secara ikhlas sebagai teman, bukan sebagai calon anggota dewan yang butuh pencitraan. Soalnya aku udah punya sepupu yang namanya Citra, jadi buat apa coba nyariin si Citra? Satu aja nggak habis-habis! 


Kecuali waktu aku promo novelku sendiri, “Mengejar Gemilang.”

Nah itu lain cerita—karena tujuannya emang promo. Gimana mau novelnya laku kalau nggak di-post, kan? Masa iya promo lewat pengumuman toa masjid? Yang ada malah bikin geger satu kampung. 


Aku masih terus mendesak Bella buat nunjukin bukti screenshot, tapi semakin aku baca percakapan Farhad, rasanya aku pengen teriak kenceng, "Woy, Kak, kamu jangan geer gitu deh!" 


Farhad: Aku nggak nyaman dikirimi hadiah, apalagi sama orang yang nggak terlalu akrab, kayak Alma itu.


"Kenapa kamu nggak ngomong langsung aja? Kenapa harus ngadu ke Bella segala? Emang si Bella guru BP yang harus ngurusin semua aduan bocah SD?" 


Farhad: Udah dua kali nih, pertama Cindy, terus Alma.


"Jangan samakan semua cewek yang perhatian sama kamu! Setiap cewek itu beda-beda. Niatnya juga belum tentu sama. Emang kamu mau kalau disamain sama Vicky Prasetyo misalnya?" 


Farhad: Kalau nggak ada embel-embel suka sih nggak apa-apa.


"Emang kapan sih, aku pernah bilang suka sama kamu?! Kamu mau alih profesi jadi dukun? Bisa tiba-tiba baca perasaan orang." 


Farhad: Menurutmu, sebagai cewek sering dikasih hadiah tapi nggak punya rasa, risih nggak sih?


"Emang siapa yang nyuruh kamu buat punya rasa ke aku? Kamu bukan es krim yang harus tersedia dalam berbagai rasa."


Akhirnya, gue curhat ke Mas A, temen sesama disabilitas. 

Aku ceritain semuanya, “Mas, aku tuh cuma mau balas budi dua orang sekaligus, tapi kok malah dikira suka? Emangnya dia pikir aku kirim buku nikah apa? Cuma buku biasa lho itu!”


Dia jawab santai, “Daripada kamu stres, tulis aja jadi cerpen. Mungkin nggak semua kesalahpahaman butuh penjelasan. Biarin aja nggak sih?”


Dalam hati aku refleks ngebantah, “Tapi aku pernah baca quotes: Jangan bikin penulis jatuh cinta, karena nanti kamu abadi dalam karyanya. Kalau Farhad tahu aku nulis ini, terus dia pikir aku beneran suka sama dia gimana dong?”


Sementara aku cuma bisa mengetik singkat, "Makasih banyak, Mas, atas sarannya."


Setelah lebih dari setahun berlalu, akhirnya aku berani juga nulis semuanya. Selepas semua drama itu lewat, aku malah bersyukur.

Ternyata, kejadian yang dulu justru ngajarin aku banyak hal. Aku jadi sadar betapa pentingnya belajar lebih banyak lagi, supaya bisa melakukan apapun sendiri. 


Aku yang dulu selalu berpikir, "Aku harus pintar, biar nggak kalah sama temen-temen seumuran." 


Sejak kejadian itu jadi mikir, "Aku butuh jadi orang yang pintar dan paham banyak hal, biar aku nggak butuh bantuan dia, atau bantuan cowok manapun!" 


Mungkin memang gitu cara hidup ngasih pelajaran: kadang bukan lewat motivator, tapi lewat salah paham konyol. Tapi nggak apa-apa — dari hari-hari yang berlalu tanpanya, aku belajar, kalau ternyata aku bisa berdiri tanpa dia.


Kalau suatu saat ada yang mikir tulisan ini tentangnya atau pertanda aku nggak bisa melupakannya, tinggal pakai template ending sinetron aja!


"Kisah ini hanyalah fiktif semata. Semua kesamaan nama, karakter, lokasi, dan jalan cerita hanya kebetulan belaka."


TAMAT


Friday, 24 October 2025

Ayam dan Tiga Kesayanganku

Tiba-tiba pengen nonton ulang vlog-nya Shawn waktu masak ayam di Canada. Terus setelah aku ingat-ingat lagi Shawn sering live sambil masak ayam, atau lagi makan ayam. Bahkan waktu bikin vlog di Gunung juga ada saat-saat dia makan ayam. Apakah makanan kesukaan dia adalah ayam? 

Seketika aku teringat adikku. Setiap kali Mama tanya adik sukanya makan apa, aku cuma ingat, "Pasti kalau ayam, adik bakalan suka." Karena dia termasuk pilih-pilih makanan, sehingga aku dibuat bingung yang dia suka. Dalam ingatanku hanyalah, kalau ayam dia tak akan menolak. 

Bahkan jika suatu saat Mama masak lauk yang dia tidak suka, adikku  pasti pergi keluar buat beli ayam geprek atau ayam goreng. Jadi kesimpulannya, meskipun dia tak pernah terang-terangan mengaku suka, kayaknya dia memang suka ayam.

Terus tiba-tiba jadi teringat kalau adik online kesayanganku dari komunitas disabilitas juga suka ayam. Bahkan kemarin dia bikin editan di CapCut, "Kalau ada sembilan nyawa mau beli ayam semua." Hahaha .... 

Sebuah kebetulan yang menarik, 3 orang kesayangan aku sama-sama suka ayam 🤭


Idola yang Tertukar

 


Aku terbangun setelah tidur 3 jam. Anehnya, masih tercium sisa aroma bunga samar di hidungku — entah dari mana. Sepaket dengan rasa bersalah yang terasa menyesakkan dada. 

Mimpi yang baru saja kualami masih terbayang jelas di benakku ... 

***

"Nanti kalau ada pemuda bertubuh kekar tapi pakai almamater kampus, jangan takut ya? Dia itu salah satu mahasiswa KKN yang sedang numpang menginap di sini." Teringat pesan sang pemilik rumah sebelum meninggalkan aku. "Katanya mau pulang duluan." 

Saat ini aku berada di rumah saudara, di sebuah desa terpencil. Aku sedang menikmati makan siang, di dekat dapur sederhana. Semua orang pergi jalan-jalan keliling desa, hanya aku yang ditinggal sendirian.

Tidak mengherankan karena rumah warisan leluhur ini memang cukup luas, dengan beberapa kamar. Mungkin karena orang zaman dulu rata-rata memiliki banyak anak, sehingga kamar-kamar pun ada banyak. 

Sebagai jawaban aku hanya mengangguk, karena mulutku penuh dengan makanan, dan sedang repot mengunyah. 

Tiba-tiba pintu yang tadi tertutup terbuka dengan pelan, seorang pria berwajah tampan menyembulkan kepalanya. Mungkin itu salah satu Mahasiswa KKN yang dimaksud. Rupanya dia sudah pulang. Dia tersenyum dengan ramah. 

Tapi aku merasa wajahnya tidak asing. Setelah beberapa saat berpikir aku mengenalinya sebagai kekasih sahabatku, namanya Roger.

Roger, adalah sosok yang bahkan selama ini tidak pernah menjadi perhatianku. Sering mendapat tuduhan nggak masuk akal ketika beramah-tamah dengan lelaki, membuatku trauma, dan lebih berhati-hati. Jangankan untuk berinteraksi, sekedar menatap ke arah sosoknya aku tak berani. 

Tapi sekarang aku terlanjur memandangnya. Senyumnya ramah, aku balas sekilas, kemudian pandangan kualihkan ke arah makanan yang ada di pangkuan. Tapi aku terlanjur menangkap bayangan tentang tubuhnya yang besar dan berotot, seperti tokoh film laga. Entah bagaimana sosok seperti itu tiba-tiba muncul di dunia nyata, bahkan sekitar semeter ada di dekatku.

“Sendirian?” tanyanya, suaranya dalam tapi terdengar lembut.

Aku mengangguk kikuk. “Iya… yang lain lagi jalan-jalan keliling desa.”

Tanpa bicara banyak, dia masuk sebentar ke kamarnya, lalu keluar lagi sambil membawa sebotol parfum. Tiba-tiba aku melihatnya berjalan menuju ke belakang punggungku. 

Satu semprotan, dua semprotan — ssstt, sssstt! Aroma wangi menyeruak ke udara… dari arah punggungku. “Eh! Emangnya aku bau, ya?!” seruku spontan, separuh tersinggung. 

Kemudian Roger duduk di hadapanku, lantas tertawa kecil, matanya menyipit ramah. “Enggak. Cuma kemarin aku menang lomba 17-an hadiahnya parfum buat cewek. Aku cobain semprot ke kamu, ternyata wanginya cocok.”

Aku diam. Mau marah tapi takut.

Tubuhnya besar sekali. Aku memang selalu takut sama pria berotot — entah kenapa mereka tampak seperti bisa menghancurkan apa pun.

Tapi Roger tidak menakutkan, malah senyumannya terlihat memberikan ketenangan.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, dia mengacak-acak rambutku. Lembut. Tapi cukup membuat dadaku berdesir halus.

Aku menelan ludah, mencoba mundur selangkah. Dan tiba-tiba… wajah Ayunda muncul di pikiranku.

Aku membatin, “Ayunda, maafin aku. Aku nggak maksud ganggu pacar kamu. Aku cuma nggak berani melawan.” 

Ya Allah, selamatkan aku dari situasi ini.... 

***

Kupandangi layar ponselku, grup "Fans COC" mulai membahas tentang live-nya Shawn dan Satya. Aku ingat sebelum tidur siang sempat mengabarkan, "Shawn live with Satya jam 12 siang WIB. Siapa tahu ada yang kangen." 

Ternyata saat aku sudah mematikan internet, Ayunda menjawab, "Sebenarnya aku malah kangen Roger." 

Aku pun membuat pengakuan dosa, “Aku malah mimpiin Roger.... Maafkan aku, Ayunda.”

Pesan terkirim, dan tak lama kemudian Ayunda menanggapi dengan emoji tertawa.

Aku tersenyum sendiri. Bahkan dalam mimpi pun aku harus berperan sebagai tokoh jahat yang merebut kekasih orang. Hahaha ... 

Sebelum tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu. "Apakah ini juga bagian dari karma?" 

Mungkinkah ini berakar dari curhat semalam, yang malah berujung pada mimpi yang aneh. Memimpikan pria tampan, bertubuh kekar, dan berusia sepuluh tahun lebih muda. Tapi rasa yang tertinggal ketika aku terbangun adalah .... seakan menghianati sahabatku sendiri. 

***  

Malam sebelumnya aku curhat pada seorang kakak yang aku kenal di dunia maya, anggap saja namanya Kak Binar. Karena pembawaannya yang ramah secerah sinar mentari.

Aku bercerita kalau adikku akhirnya lulus wisuda kuliahnya. Kemudian berlanjut membahas keputusan konyol menerima Bahri, karena berharap dia bakal jadi sosok kakak ipar yang baik untuk adikku. Karena dia terlihat sebagai sosok yang peduli terhadap pendidikan. 

Tapi dampaknya aku malah dimusuhi sama fans-fansnya Bahri. Teman-teman disabilitas juga malah menyalahkanku. Menuduhku yang mengejar-ngejar Bahri, dan bahkan rebutan Bahri dengan Tamara, salah satu anggota perempuan di komunitas tersebut. 

Aku kemudian cerita kalau aku memang sering dapat tuduhan aneh. Salah satunya tuduhan ingin menikung Martono, cowok yang dulu aku kenal sebagai gebetannya Cantik. Padahal aku sudah menganggap Cantik itu sebagai adik, seandainya pun aku suka Martono, aku rela mengalah.

Awalnya, obrolan mengalir begitu saja. Hingga Kak Binar tiba-tiba bilang, “Eh, aku malah berharap kamu berjodoh sama Martono, karena karakternya baik.”

Aku cuma ketawa. Aku sama sekali nggak tertarik sama cowok itu. Bahkan seingatku, aku sering debat sama Martono. Karena selain kita sering berbeda pendapat, kadang aku sengaja memicu keributan, agar tidak dikira termasuk deretan fansnya. Soalnya waktu itu aku hater Martono. Hehehe.... 

Aku membatin, "Aku memang sempat mengaguminya karena pintar. Tapi nggak semua cowok pintar membuatku jatuh hati. Buktinya di COC season 2, yang aku kagumi sebagai sosok lelaki idaman hanya satu." 

Lalu di hari berikutnya, pada saat tidur siang, entah kenapa mimpi aneh seperti itu datang. Memimpikan peserta Clash of Champions yang lain, bukan yang selama ini sering aku ceritakan pada teman-temanku, dan bukan yang selama ini mengisi galeri ponselku. 

Mungkin ini hanya sebatas bunga tidur, karena aku terlalu dihantui oleh ketakutan disalahpahami. Sehingga menjelma menjadi "hantu" dalam mimpi. 


Selesai. 

Apakah Karma Masih Berlanjut?

 Aku pikir semuanya akan tetap aman, ketika tidak terucap sedikit pun penolakan atau penghinaan terhadap cowok itu, tak seperti dulu. Hanya sebaris ketikan yang intinya, "Sepertinya, aku bukan tipe wanita idamannya." 

Tapi ternyata tiba-tiba aku tetap dapat mimpi yang sangat aneh. Rasanya aku seperti mengkhianati sahabat sendiri. Bermimpi digoda kekasih sahabat, dan aku tak bisa melawan. 

***  

Malam itu aku tidak bermaksud memikirkan, mendambakan, bahkan memimpikan pria mana pun. Cuma mengobrol santai via chatting WhatsApp dengan kakak online perempuan, Kak Binar —tentang kelulusan wisuda kuliahnya adikku. 

Aku juga menertawakan keputusan konyolku di masa lalu yang seringkali menolak untuk dijodoh-jodohkan, dengan alasan siapapun yang kelak jadi kakak ipar adikku, harus orang yang bisa menjadi panutan adik. Terutama dalam hal semangat mengenyam pendidikan.

Itulah alasan aku menerima Bahri, salah satu anggota grup disabilitas, Sebut saja grup Melati. Sayangnya keputusan itu justru membuatku disalahpahami teman-teman di grup Melati. Ada yang menuduhku mengejar-ngejar Bahri, memilihnya karena ganteng, dan bahkan memperebutkan cintanya dengan seseorang wanita yang juga anggota grup Melati.

Dari situ aku akhirnya curhat panjang, tentang aku yang sering sekali dapat tuduhan aneh-aneh. Salah satunya tuduhan ingin merebut lelaki idaman salah satu admin grup disabilitas yang satunya lagi, sebut saja grup Mawar. Sementara cewek itu, anggap saja namanya Cantik. 

Padahal aku sudah menganggap Cantik itu sebagai adik, mengingat kakaknya adalah sahabatku. Seandainya pun aku suka Martono, aku rela mengalah. Tapi faktanya aku bahkan nggak pernah tertarik sama Martono. 

Aku jadi teringat kalau sama Martono aku malah sering mengajak berdebat. Karena kita sering berbeda pendapat, dan caranya menyikapi perbedaan itu agak menyebalkan. Tentu saja itu menurut pandanganku, mungkin berbeda menurut orang lain. 

Misalnya, salah satu anggota grup Mawar, si Prita pernah bilang, "Kak Wardha juga suka anime, sama kayak Kak Martono."

Aku menyahut, "Tapi aku sukanya cuma anime genre romance. Itupun yang direkomendasikan adikku."

Si Martono menyahut, "Ah, apa serunya kalau nonton anime romance doang?"

Entah aku sedang sensitif atau apa, aku pun menjawab ketus, "Bodo amat menurut kamu nggak seru. Aku kan nggak ngajak nonton kamu!"

Mungkin perdebatan itu diterjemahkan lain oleh Cantik, yang malah mengira aku sengaja cari ribut untuk mendapat perhatian Martono.

Padahal dulu aku juga pernah mengatakan hal yang sama pada sepupuku. Ketika dia bilang, "Emang apa enaknya lagunya Yovie and Nuno? Perasaan isinya galau mulu."

"Bodo amat sih. Orang aku nggak ngajak kamu buat dengerin!"

Ya, masa aku cari perhatian sepupuku? Aku saja udah kenal dia dari kecil dan udah tahu semua aibnya.

Tapi mungkin namanya cemburu buta, logika apapun tetap sulit diterima. Atau mungkin, memang aku juga yang bersalah karena tidak berhati-hati dalam bersikap. 

Sampai akhirnya aku mendengar pengakuan yang membuatku terkejut, Kak Binar justru pernah mengharapkan aku berjodoh dengan Martono. Spontan saja aku tertawa ketika membacanya. 

Kalau boleh jujur aku memang mengagumi Martono, karena dia pintar, dan aku selalu merasa mungkin aku ditakdirkan untuk mudah terpesona sama cowok pintar. Tapi di sisi lain, aku sadar bahwa tidak semua cowok pintar ingin aku miliki. 

Buktinya, waktu menonton kompetisi kecerdasan antar mahasiswa, Clash of Champions season 2 akhir-akhir ini, dari sekian banyak mahasiswa pintar dan tampan, yang kupilih sebagai jagoan hanya tiga. Bahkan yang selalu menjadi pusat perhatianku, dalam artian mengagumi sebagai sosok laki-laki idaman, malah hanya satu. 

Tapi seingatku, aku sudah berusaha untuk tidak mengucapkannya. Aku takut lagi-lagi terkena karma, karena asal bicara seperti dulu. 

Salah satu anggota grup Mawar, sebut saja Farel, sering menggoda dan memanas-manasi, "Cantik bilang Kakak juga suka sama Martono. Aku udah ngasih penjelasan kalau Kakak suka cowok lain, tapi dia nggak percaya. Katanya, kelihatannya nggak begitu." 

Bodohnya waktu itu aku menanggapi dengan terlalu emosional, "Kelihatannya emang gimana? Atas dasar apa kelihatannya?" 

"Mungkin karena seumuran." 

Aku bilang, "Aku jarang suka cowok yang seumuran! Biasanya suka om-om." 

"Hati-hati kena karma." 

Aku nggak tahu apakah Farel bercanda apa serius, tapi jujur sampai detik ini kata-katanya masih menancap kuat di ingatanku. 

Hingga bertahun kemudian aku malah terpesona pada karakter Sandy, Axel, dan Kadit. 

Lagi-lagi Ingatanku memutar kata-kata Farel, "Yakin Kakak nggak naksir sama sekali? Kan dia ganteng." 

Aku bilang, "Aku nggak gampang suka cowok yang ganteng! Biasanya karena karakternya, kalau kebetulan ganteng berarti itu bonus. Suka sama dia? Sorry, karakternya aja nyebelin di gitu." 

"Jangan gitu ah! Hati-hati ntar malah kemakan omongan sendiri." 

Hingga beberapa tahun kemudian, tiba-tiba berkeinginan melihat wajah dan senyumnya Shawn terus, padahal waktu itu belum tahu bagaimana karakternya. Meski setelah tahu karakternya Shawn juga tidak mengecewakan. 

Tapi setelah obrolan malam itu, saat tidur siang aku malah memimpikan Roger. Dia adalah salah satu peserta dari kompetisi Clash of Champions season 2 yang diidolakan Ayunda, temanku di grup "Fans COC". Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak pernah memperhatikannya, makanya ketika teman-teman membahas Roger di grup aku lebih banyak hanya menyimak. 

Bahkan jika tak sengaja menemukan konten COC yang menampilkan Roger, aku langsung teringat Ayunda, dan langsung membagikan padanya. Tidak jarang aku bahkan tidak menonton sampai habis konten tersebut. 

"Aduh, Kaaakkk, ini karma apa lagi? Please, maafin aku dong 😭😭😭" 


Sunday, 19 October 2025

“Keputusan Konyol yang Dampaknya Luar Biasa” 🎓



Alhamdulillah, hari ini adikku wisuda. Aku jadi ingat semua pilihan konyol yang pernah aku ambil dulu.

Dulu aku sering nolak dijodohin sama teman-teman, cuma karena aku mikir: siapa pun yang jadi pasanganku nanti akan jadi kakak ipar adikku. Aku cuma pengin dia punya contoh yang baik — yang peduli sama pendidikan, atau setidaknya mau terus belajar.

Waktu aku masih bekerja, aku juga punya teman yang sering menyarankan agar aku menggunakan gaji untuk membahagiakan diri sendiri. Tapi aku justru memilih menggunakan uangku untuk hal lain: menabung buat beli buku kumpulan soal UN dan patungan sama bapak beli printer.

Bahkan tidak malu-malu, curhat soal biaya pendidikan SMA sampai akhirnya dapat beasiswa dari bosku, berutang ke anak buah di tempat kerja demi beliin koper, bahkan mencicil biaya perbaikan laptop ke sepupuku.

Semua usaha itu kulakukan demi satu harapan: semoga adikku bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dariku.

Agar dia tak perlu merasakan sulitnya mencari pekerjaan, atau mendengar kata-kata merendahkan hanya karena latar belakang pendidikan.

Melihatnya tersenyum mengenakan baju wisuda dan memegang penghargaan sebagai Wisudawan Terbaik membuat aku merasa sangat bahagia, dan tidak lagi menyalahkan keputusan-keputusan konyolku di masa lalu — meski mungkin, di mata orang lain, semua itu terlihat tak masuk akal. 



Wednesday, 15 October 2025

Karma Dibayar Lunas!


"Kalau karma beneran ada, dan kamu beneran sehebat itu bisa mendatangkan karma, semoga ini udah lunas ya, Kak? Udah dong Kak, cukup. Hehehe...."

Dulu ada seorang teman yang selalu mengingatkan, "Hati-hati lho, Kak, ntar kena karma!" atau, "Hati-hati nanti kemakan omongan sendiri." Dan sejenisnya itulah. Tapi aku yang terlanjur emosi, menganggap kata-katanya hanya angin lalu. Sehingga aku tetap berbicara sembarangan.

Waktu itu aku sedang dituduh suka (bahkan niat merebut) seseorang, walaupun kenyataannya tuduhan itu tidak benar, tapi mungkin aku melakukan kesalahan dalam memberikan konfirmasi. Mungkin aku terlalu banyak berbicara, dan tidak hati-hati dengan kata-kata yang aku pilih.

Aku ingat pernah bilang, "Aku jarang suka cowok seumuran." Lalu beberapa tahun kemudian, muncul acara kompetisi kecerdasan antar mahasiswa yang viral. Tiba-tiba saja sebuah potongan adegan dari kompetisi tersebut mampir ke beranda Instagram-ku. Berawal dari menonton satu video, kemudian video-video berikutnya, sampai pada akhirnya menonton sebuah podcast yang bintang tamunya mereka.

Kemudian salah satu dari bintang di kompetisi tersebut, yang tingkahnya lucu tapi pemikirannya dewasa memikat perhatianku. Hingga kemudian aku curhat ke adik online, "Sandy ini tipe idamanku banget!" 

Rasanya kejadian itu tiba-tiba berputar lagi di pikiranku, "Katanya nggak suka seumuran? Kenapa tiba-tiba suka yang sepuluh tahun lebih muda?"

Sudah begitu rasanya Sandy saja tidak cukup! Tiba-tiba salting pas lihat live TikTok-nya Axel. Tiba-tiba merasa nyaman waktu mendengar Kadit bernyanyi atau berbicara, entah di kontennya atau saat live.

Tapi waktu itu aku masih berpikir, mungkin aku kayak gitu karena mengagumi karakter mereka. Aku suka Kadit, karena karakter cowok alim yang masih mau bergaul. Aku suka Sandy, karena perfeksionis dan mau berusaha keras dalam hal belajar dan bekerja. Aku suka Axel, karena perhatian sama semua orang. Aku paling kagum waktu lihat dia membagikan makanan yang dia dapat dari fansnya ke kakak-kakak ruangguru. Sama waktu dia memegangkan kipas elektrik ke manajer mereka waktu konser.

Tapi begitu COC hadir dengan season 2, aku merasa lebih parah sih. Karena secara tiba-tiba aku merasa sedih Shawn tereliminasi. Aku merasa itu berarti aku tidak bisa melihat dia lagi di kompetisi tersebut. Kemudian aku jadi impulsif mencari semua video yang ada dianya. Tapi semakin banyak aku mencari, malah keterusan. Jadi pengen liat diaaa terusss. 

Tiba-tiba aku seolah lupa pada kata-kata yang dulu pernah aku ucapkan sendiri, "Aku nggak gampang suka sama cowok ganteng." karena ya, biasanya memang seperti itu. Aku cenderung mengagumi seseorang karena karakternya, kalau kebetulan orang yang karakternya menarik itu adalah cowok ganteng bagi aku itu semacam bonusnya saja. 

Aku dan teman-temanku membuat sebuah grup di mana kami membicarakan tentang kompetisi ini. Waktu aku bilang ke teman-teman pilih Shawn sebagai bias, sebenarnya aku belum kepikiran alasannya. Terus aku baru cari-cari dan mikir-mikir alasannya setelah adik online tanyakan padaku kenapa tentang Shawn tidak dikasih tahu alasannya, sementara yang lain alasannya komplit sekali. 

Sebagai contoh, pilih Gwen karena selain pintar dan cantik dia memiliki keunikan, sebagai mantan atlet sepak bola wanita. Pilih Max, karena aku tertarik dengan ilmu psikologi. Pilih Theodora, karena pernah berkeinginan jadi atlet catur wanita. Pilih Vania, karena dia berhasil menerbitkan satu buku, sehingga sebagai seseorang yang juga suka menulis aku merasa terwakili. Kemudian pilih Luthfi, karena dia pintar, lucu, dan religius.

Ya, walaupun pada akhirnya setelah dipikir-pikir aku tetap menemukan alasan baik kenapa aku memilihnya sebagai bias. Dia pintar, dia setia kawan, dia penyayang kucing, dan dia sangat mengapresiasi dukungan para fans untuknya. Dia memperlakukan para fans seperti sahabat. 

Aku setuju sih bahwa ganteng atau tidaknya seseorang, itu sebenarnya sesuatu yang subjektif. Jadi mungkin tidak semua orang bakal setuju kalau Shawn ganteng. 

Tapi secara pribadi, bahkan tanpa dikatakan sekalipun, sudah jelas-jelas aku menganggap dia ganteng. Tidak mungkin aku tidak menganggap dia ganteng, sementara aku pengen lihat dia terus. Kalau aku menganggap dia tidak ganteng, untuk apa aku berkeinginan melihatnya terus? Akan terdengar sangat munafik kalau aku bilang dia tidak ganteng, tapi aku pengen lihat terus. Kan aneh.

Jadi setiap kali aku membaca komentar netizen memuji wajah Shawn, bukannya aku bangga. Aku malah merasa tertampar. Rasanya kata-kata temanku seperti berputar-putar, "Katanya nggak gampang suka sama cowok ganteng, Kak? Tuh kan! Kemakan omongan sendiri. Dibilangin juga..."

Ini harus jadi peringatan keras buat aku pribadi, besok lagi kalau mendapatkan tuduhan yang tidak sesuai fakta, cukup jawab dengan santai, "Aku menganggap dia sebagai teman dan tidak pernah bermaksud merebut dari siapapun." Kalau kemudian tidak dipercaya, ya sudah! Tidak perlu berbicara emosional, apalagi memberi klaim tidak masuk akal.

Hanya karena waktu itu tidak tertarik padanya, bukan berarti tidak suka semua cowok ganteng. Mungkin memang seperti kata-kata orang di sosmed, "Aku memang bukan target marketnya cowok itu saja."


Buku yang Aku Nggak Suka!

 


Aku menemukan sebuah buku, yang entah mengapa dari tulisannya aku mengambil kesimpulan kalau penulisnya terlalu membenci pendidikan formal. Jujur saja aku tidak nyaman dengan tulisan itu, karena aku merasa tidak sepakat. 

Ya, bagaimana tidak membuatku merasa tidak nyaman, dia membenci pendidikan formal dan mengatakan bahwa pendidikan tidak terlalu bermanfaat. Tapi dia sendiri berpendidikan. Bukankah hasil pemikirannya juga hasil dari kontribusi pendidikan? 

Menurut pendapat pribadiku, akan lebih masuk akal kalau orang yang mengatakan membenci pendidikan adalah orang yang memang sepanjang hidupnya tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Sehingga dia bisa membuktikan bagaimana caranya berjuang keras untuk mendapatkan ilmu. Akan lebih masuk akal kalau pada akhirnya, setelah dia bisa berilmu tanpa harus mendapatkan pendidikan formal, kemudian dia mengatakan bahwa pendidikan formal itu tidak penting. Karena dia sendiri buktinya, jadi aku akan lebih percaya walaupun mungkin belum tentu setuju. 

Tapi penulis di buku ini justru membuktikan sebaliknya, dia berpendidikan formal tapi membenci pendidikan formal. 

Akhirnya, dengan baca buku ini, aku jadi mengambil kesimpulan kalau aku tidak cocok sama orang yang terlalu membenci pendidikan formal dan meremehkan orang-orang yang berpendidikan formal. Tapi di sisi lain aku juga tidak cocok sama orang-orang yang terlalu mendewakan pendidikan formal dan meremehkan orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan formal. 

Karena menurut aku, segala sesuatu itu ada plus minusnya. Jadi mau menjalani pendidikan formal atau tidak pernah menjalani pendidikan formal sama sekali, tetap akan ada sisi positif dan sisi negatifnya.



Dukungan Saudara Perempuan


Pernah baca sebuah quotes, "Di balik pria sukses, ada perempuan yang hebat." Dulu, aku pikir itu cuma berlaku buat pasangan, tapi ternyata berlaku juga buat hubungan persaudaraan. 

Kemarin-kemarin sempat nonton rekaman live Maul dan Satya. Terus Satya bilang kalau dia kurang suka lihat orang yang mengeluhkan tugas kuliah di sosmed. Maul bilang kalau dia nggak pernah mengeluh di sosmed, karena dia punya kakak perempuan sebagai tempat curhat. 

Tiba-tiba teringat, kemarin pas buka TikTok beberapa kali lihat kakaknya Zahran jadi penghubung antara netizen dengan adiknya. Lucu banget, hubungan mereka, manisss. Adiknya kayak gengsi dan malu-malu di kamera. Tapi kakak perempuannya ramah banget sama netizen. 

Terus kalau nggak salah inget juga, waktu pertama kali follow Shawn, dia pernah bilang kalau adiknya yang menyarankan ikut COC season 2. Beberapa waktu lalu, di TikTok nggak sengaja menemukan momen ketika dia pelukan sama adik perempuannya di bandara. Ada salah satu netizen yang komen kalau setiap Shawn live adiknya pasti nonton. Ada yang pernah ingat, waktu live bareng Max, adiknya Shawn sempat disapa Max.

Ini jadi catatan tersendiri buat aku pribadi. "Jadi ketika mengagumi seseorang, jangan lupakan juga bagaimana peran orang-orang di sekitarnya." Terutama peran kedua orang tua dan saudaranya. 





Monday, 13 October 2025

Standar Sosmed, No! Standar Adek, Yes.

 Dulu, aku pernah punya kakak online yang setiap kali aku dekat sama cowok pasti dinilai. Tapi, aku nggak minta beliau untuk melakukan itu.


Misalnya tiba-tiba beliau bilang, "Jangan dekat sama Pak Dosen yang itu. Kelihatannya dia sombong."


Atau tiba-tiba dukung orang lain, "Kamu kayaknya cocok sama Mas XXX. Soalnya sama-sama ramah dan perhatian."


Jujur walaupun ramah dan perhatian, ada satu kebiasaan orang itu yang tidak bisa aku terima. Alasan kenapa aku tidak bisa menerima, karena aku berpikir suamiku otomatis akan jadi kakak ipar adek-adekku. Sedangkan waktu itu adekku masih kecil. Ada semacam pemikiran panjang yang serius bahwa menurut aku anak kecil cenderung meniru tindakan orang yang lebih tua di sekitarnya.


Sebagai contoh misalnya, Mas yang dimaksud kakak onlineku punya kebiasaan merokok. Aku jadi kepikiran kalau adekku bakal meniru. Terus ketika aku menasehati dia pasti bakal alasan, "Kakak ipar juga merokok, masa aku nggak boleh?"


Pemikiran itulah yang bikin aku mundur jutaan langkah. Padahal aku aja belum tahu apakah mas-mas itu pernah tertarik kepadaku, pokoknya aku antisipasi dulu. Hehehe...


Tapi setelah adekku beranjak dewasa, aku malah jadi semakin membangun standar baru. Melihat adekku yang bisa nyuci baju sendiri, masak sendiri, dan nyapu halaman rumah. Aku jadi kepikiran, kalau adekku bisa, pasanganku nantinya juga harus bisa! 

Monday, 6 October 2025

Nggak Bisa Stop!

 


Padahal udah berusaha keras untuk nggak scroll TikTok, cukup upload doang terus keluar. Hapus aplikasi TikTok, selesai! Supaya nggak menemukan kapal-kapalan Nadya-Shawn. Soalnya aku cemburuuu... 


Eh malah tiba-tiba ada yang komen ngaku-ngaku pacar kamu, Shawn. Mana di postingan editan buatanku pula. 


Udah tahu cemburuan, malah nge-idolain cowok ganteng. Udah bagus ikut aliran Eca Aura aja, sukanya yang medium ugly. Hehehe... 


Masalahnya, setiap mau stop ngefans, pasti adaaa aja yang bikin aku tertarik lagi sama diaaa. 


Tiba-tiba menemukan video ibunya ngerekam Shawn dipeluk erat sama adiknya, keliatan banget adeknya nggak mau ditinggal pergi balik kuliah ke Kanada. Kalau adiknya sesayang itu, kemungkinan kakaknya memang kakak yang baik. 


Mendadak jadi ingat adekku sendiri yang cuma mau digenggam tangannya pas demam doang. Coba kalau lagi sehat, tanganku pasti disampluk, "Apaan sih, Mbak? Drama!" hahaha. 


Ya, walaupun kata orang bijak, setiap orang punya cara masing2 dalam mengekspresikan perasaan. Mungkin adikku nggak suka physical touch, sukanya physical attack. Hahaha... 


Terus jadi ingat lagi kalau selain sayang banget sama adiknya, Shawn juga menghormati kakaknya. Karena waktu live ada yang tanya siapa role model dia, terus dia jawab, "Abang." Padahal banyak cowok-cowok di sosial media yang aku amati mereka gengsi mengakui kalau kakaknya hebat, apalagi sampai dijadikan contoh teladan, terlebih kalau kakaknya cowok juga. Tapi Shawn dengan berani bilang kayak gitu.


Bahkan masih kepikiran kalau tadi ada salah satu pengguna Tiktok yang komen, "Setiap kali Shawn live, adiknya juga nonton lewat akun ( yang sepertinya hanya beberapa orang yang tahu)."


Terus ada juga akun yang komen, "Adeknya Shawn yang pernah disapa Max waktu pertama kali live Shawn dan Max."


Ya Allah, family man banget, Shawn ini. 


Banyak cowok ganteng di luar sana, tapi belum tentu family man. Walaupun yang family man juga banyak yang belum tentu ganteng sih. Hehehe...


Kalau gini gimana caranya stop? 😭😭😭



Saturday, 4 October 2025

Shawn Menciptakan Standar Baru

 Kadang aku mikir, ngefans sama Shawn bikin semua standarku runtuh.

Tapi ternyata… justru dia membangun standar baru yang jauh lebih sulit aku temukan di orang lain. 🤭✨


Waktu Shawn live, ada penonton yang nanya:

"Kamu lebih suka istri yang jadi ibu rumah tangga atau istri yang berkarir?"


Shawn jawab santai, "Dua-duanya boleh, nggak masalah. Soalnya aku bisa dua-duanya. Aku mau bekerja, tapi aku juga nggak keberatan bantuin pekerjaan rumah istri."


Oke, aku tahu dia masih muda, mungkin masih agak idealis, dan entah nanti prakteknya gimana. Tapi cara pikirnya udah visioner banget kan? 🫠


Dan secara kebetulan, itu bukan cuma omongan. Dia beneran nunjukin lewat tindakannya waktu live. Sambil nyapu (meskipun sempat ngeluh soal sapu miring ala Kanada 😅), sambil nyuci baju pakai mesin cuci, bahkan pernah live sambil masak. Jadi ya, minimal dia udah punya modal: bisa masak, bisa nyuci, bisa nyapu.


Jujur, aku pribadi nggak keberatan kalau suatu saat harus tinggal di rumah. Tapi aku juga pengen tetap berkarya—entah jadi penulis novel, blog, atau penulis di platform digital. Jadi, kayaknya aku butuh pasangan yang bisa ikut bantu aktivitas rumah tangga sedikit.


Kalau idolaku aja bisa, kenapa pasanganku nanti nggak? 😉

Next time, aku bakal masukin ini ke kriteria pasangan ideal.


Tapi kalau bisa… mau Shawn aja, boleh nggak? 🤣🤣🤣



Tuesday, 23 September 2025

Faktor Umur atau Jatuh Cinta?

 

Beberapa malam yang lalu, aku menyiapkan pisang kukus di kamar, niatnya buat cemilan nulis malem-malem. Tapi malah ketiduran 😭😭😭

Jadi, awalnya nonton rekaman live Maul. Soalnya di thumbnail-nya kelihatannya ada Kadit. Kadit-nya belum nongol, aku ketiduran.

Padahal pagi sampe siang udah ketiduran. Siang menjelang sore juga ketiduran, meski sebentar...

Apakah ini faktor umur? 😅

Tiba-tiba menemukan artikel, mendengar suara orang yang dicintai membuat kita mudah mengantuk. Masa jatuh cinta sama Maul dari Clash of Champions season 2?

Selain itu, aku juga pernah ngantuk waktu nonton podcast Reymond Chin. Apa itu artinya jatuh cinta sama Reymond juga? 🤣🤣🤣

Tapi beberapa hari yang lalu, gara-gara tidur siang, pernah mimpiin Shawn, kelihatan nggak secakep di video-video yang aku simpan. Anehnya, dalam mimpi itu aku tetap memandang Shawn dengan penuh kasih sayang.

Jadi sebenarnya aku jatuh cinta sama Maul, Reymond, atau Shawn? Atau malah tiga-tiganya sekaligus?

Atau mungkin aku salah mengerti maksud artikelnya? 🤦🏻‍♀️


Dikira Ngatain

  🙈

Pada suatu sore, waktu lagi ngetik novel tiba-tiba aku merasa tempat tidurku seperti berguncang. Aku pun panik dan mengira ada gempa. Jadi aku panggil-panggil adikku.

“Sal, Sal, ada gempa ya?”

Tapi jawabannya malah bikin aku tersinggung!

“Bego, Mbak!”

“Heh, sialan ngatain aku!”

“Astagfirullah! Bukannya ngatain. Maksudnya ada bego lewat.”

Aku pun loading lama...

Rumahku dekat sungai, dan kalau musim hujan sering terjadi banjir. Sehingga seringkali ada proyek pengerukan tanah sungai demi mengurangi frekuensi banjir.

Pengerukan dilakukan dengan alat berat, yang entah mengapa oleh warga sini dinamai “Bego”. Aku pun nggak mengerti asal muasal nama itu dari mana.

“Oalah gitu ternyata.” 😅

Intinya setiap kali alat berat itu lewat di jalanan desa, tanah di sekitarnya akan terasa berguncang. Rasanya seperti ada gempa.


Wallpaper Si Doi

 


🤭

Karena setahun belakangan ini nggak kontak intensif dengan cowok, aku santai aja pas adek pinjam hape. Tapi tiba-tiba dia kepo, “Wallpaper-nya kenapa Shawn?”

Seketika aku nge-freeze. Bingung jawab apa.

Kami sebenarnya sama-sama menonton acara Clash of Champions season 2, tapi mungkin dia heran, biasanya yang aku bahas cast lain atau fokus ke tantangan yang ada.

Padahal sebenarnya alasannya sederhana, entah kenapa aku pengen lihat Shawn terusss. Terutama kalau dia sedang tersenyum atau tertawa. Makanya aku sering screenshot video waktu dia senyum atau ketawa, terus aku jadiin wallpaper.

Tapi, itu di luar kebiasaan aku!!! 🙈

Biasanya aku suka cowok karena karakternya. Misalnya, aku bilang sama adik, aku suka salah satu cast di season 1 karena selain pintar, orangnya religius tapi masih bisa gaul. Atau pernah bilang ke temen, aku suka salah satu aktor Indonesia, karena walaupun sudah terkenal masih mau kuliah dan suka baca buku.

Intinya fisik bukan penilaian awal, kalau kebetulan cakep, berarti bonus.

Tapi Shawn, justru membalik semuanya. Aku yang awalnya nontonin semua video-video dia. Mulai dari konten di Ruang Guru, live dia di TikTok, dan vlog-nya di YouTube. Cuma dengan motivasi pengen lihat senyumnya terusss. Justru makin terpesona pas tau karakternya kayak gimana.

Jadi alasan kenapa wallpapernya Shawn, ya karena aku sukaaaa ❤️🍁


Asbun Soal Romance

 

Download series anime romance full episode, tapi baru ditonton setengahnya. Download series drama Korea, tapi baru episode pertama aja, udah males duluan.

Soalnya ngerasa udah ketebak.

Kalau anime pasti ceweknya yang lebih aktif memulai duluan, lebih banyak berkorban, dan lebih-lebih lainnya. Apa karena di Jepang cowok biasanya kalem dan pasif? Atau, karena anime memang disetting buat menyenangkan cowok-cowok?

Sementara kalau K-Drama romance pasti sebaliknya. Tokoh utama cowok yang lebih banyak berkorban dan mengupayakan cinta.

Pernah baca sebuah artikel katanya karena di Korea aslinya cowok-cowok justru nggak sebaik itu, makanya dibuatlah film untuk membuat bahagia cewek-cewek. Apakah demikian? Entahlah, aku belum pernah ke sana 😅✌🏻

Padahal tulisan kamu romance loh, Mel? Ya, soalnya aku merasa lebih berani nulis genre itu aja. Kalau mau nulis politik, kan aku nggak punya background pendidikan ya... Takutnya entar dibilang sok tahu.

Jadi yang kayak gitu mendingan sekedar bahan debat keluarga dan asbunku aja. Karena kalau nulis butuh riset panjang dan tanggung jawab yang lebih besar.

Tapi aku pasti nonton kok, Cuma ya nunggu mood aja. 😉


Karma Brondong

 😅✌🏻

Aku memutuskan untuk menghindari semua kontak dengan cowok, karena nggak mau bikin mereka risih dan nggak nyaman. Seperti seseorang (yang aku sebutkan di status curhatanku sebelumnya) ....

Bahkan, nggak tahu kenapa, aku malah jadi kepikiran ke mana-mana. Termasuk mempertanyakan, “Apakah aku jelek banget? Sampai dia nggak mau sama aku?”

Tiba-tiba pas scroll TikTok ketemu live Kadit, yang dengan tingkah lucunya, nyanyi-nyanyi lagunya Juicy Luicy. Setiap live dia juga kasih saran-saran yang bijaksana. Ternyata, Kadit itu juara tiga-nya Clash of Champions season 1.

Semua tentang Kadit seketika membuat aku melupakannya. Tiba-tiba saja Kadit bikin aku jadi lebih sibuk buat cari tahu tentangnya, dan ngikutin semua kontennya.

Karena walaupun sering disarankan teman-teman untuk cuek dan nggak memikirkannya, aku tetap aja kepikiran. Jadi sejak kenal Kadit, nggak perlu lagi berusaha untuk cuek, karena secara otomatis udah teralihkan. Secara otomatis semua pusat perhatianku ke Kaditya Rakan Padyansa.

Dari Kadit aku jadi mengerti, tipe idamanku yang kayak gini. Karena ketika dicengin temen-temen, atau tiba-tiba dicemburuin, aku selalu bilang, “Dia bukan tipeku.”

Tapi aku bingung bagaimana cara menjelaskan tipe aku yang kayak gimana.

Sekarang udah ketemu tipeku, tapi sayangnya lelaki yang sepuluh tahun lebih muda. Apakah ini karma yang dimaksud temenku?

Karena untuk membantah tuduhan dan ceng-cengan mereka, aku sering bilang, “Aku jarang suka cowok seumuran.”


Hanya Sebatas Mimpi

 Katanya temenku, "Jangan terlalu benci sama cowok. Takutnya nanti kena karma."

Jadi walaupun sebel dituduh naksir dia, aku berusaha untuk bersikap baik dan menerima kehadirannya sebagai teman. Di saat kepepet, aku sering minta bantuan, dan dia selalu mau membantu.

Tapi suatu saat, ketika aku membalas kebaikannya dengan memberikan sebuah barang, dia salah paham dan mengira aku mencintainya. Sejak itu dia menghindar dan bersikap dingin padaku.

Tapi beberapa malam yang lalu, tiba-tiba aku memimpikannya.

Dalam mimpiku: dia datang ke rumah. Dia membantuku. Tapi ketika kita akan berpisah, aku minta nomor hp-nya. Dia bilang, "nggak usah. Kan, udah ada chat GPT." (Mungkin maksudnya dia karena chat GPT bisa memberikan saran dan arahan)

Dalam mimpiku, aku merasa kecewa karena biarpun ada chat GPT, tapi nggak bisa menggantikan fungsi sepenuhnya dari sesama manusia. Kemudian aku begitu sedih karenanya.

"Maaf ya, kalau sikapku bikin kamu takut. Iya, nggak apa-apa, aku udah biasa pakai chat GPT. Bahkan sekarang juga udah ada Meta, Gemini, dan Grok."

"Oh iya, soal perasaan ... Memang iya, aku sayang sama kamu, tapi bukan dalam hubungan romantis. Aku menganggap kamu sosok Kakak. Tapi nggak apa-apa, perpisahan justru mengajarkan aku untuk dewasa dan mandiri."

"Sekarang, aku udah nggak lagi mendambakan sosok kakak, aku cukup bahagia punya seseorang yang bisa dianggap adik. Luthfi di COC2, yang pintar, lucu, imut, dan menggemaskan. Meski Luthfi mungkin nggak tahu aku ada. Hahahaha...."

"Semoga kamu selalu mendapatkan kebahagiaan, apapun bentuknya. Aamiin ya Rabbal'alamin..."


Dibalik Judul novel “Separuh Vancouver, Sepenuh Jiwaku”

 

Kelakuan aku kalau lagi gabut, salah satunya memperhatikan kolom komentar postingan cowok ganteng. Bahkan walaupun aku bukan termasuk fansnya. Soalnya komentarnya selalu lucu-lucu.

Tapi akhir-akhir ini aku lagi suka menonton acara kompetisi kecerdasan antar mahasiswa, yang diadakan sebuah lembaga bimbingan belajar online. Dan, aku sampai mengikuti sosial media dari salah satu peserta, dengan alasan karena menurut chat GPT aku cocoknya kuliah di Kanada.

Entah kebetulan atau bahkan sudah takdir ya, peserta itu bahkan berkuliah di universitas yang sama dengan yang disarankan. Karena itulah aku follow supaya aku tahu seperti apa gambaran dari universitas tersebut dan bagaimana suasana di negara tersebut. Karena selama ini, yang ada di gambaranku tentang kuliah di luar negeri, itu antara di Jepang atau Finlandia.

Tapi kayaknya seiring berjalannya waktu, aku bukannya tertarik kuliah di Kanada. Malah tertarik sama dia 🤣🤣🤣

Terus salah satu komentar fansnya yang nempel banget di pikiranku adalah, “Kamu blasteran ya? Separuh Indo, separuh nafasku.”

Karena dia pernah cerita, ayahnya dari Filipina dan ibunya orang Semarang.

🍁❤️Separuh Indo, separuh nafasku => Separuh Vancouver, Sepenuh Jiwaku.❤️🍁


Friday, 29 August 2025

Behind the story novel "Separuh Vancouver, Sepenuh Jiwaku"

 



Aku memutuskan untuk unfollow idolaku sekaligus cinta pertama dari sebuah kompetisi kecerdasan mahasiswa! Bukan karena aku kecewa sama sikapnya, tapi karena aku ingin menjaga nama baikku dari seseorang. Aku takut dia mikir aneh-aneh kalau aku follow cowok yang 10 tahun lebih muda.


Aku juga unfollow beberapa nama-nama lain sambil menghitung... "Eh, bentar kok ternyata banyak cowok yang gue follow?" 🙄


Iya pokoknya, intinya, aku ingin tetap terlihat seperti perempuan baik-baik di mata seseorang itu.


Namun, alam mimpi justru berkhianat! Aku digrebek warga dan dia harus menjadi saksi dari kejadian paling memalukan sepanjang hidupku. Pak RT kemudian menjelaskan duduk perkaranya. Aku dituduh hamil di luar nikah dan punya simpanan lelaki yang 10 tahun lebih muda.


Warga menuduh begitu karena sering mendengar aku muntah-muntah di pagi hari, ditambah dengan kehadiran lelaki muda yang selalu datang di malam hari.


Lelaki yang dulu aku kagumi karena mata teduhnya, kini menatapku dengan pandangan tajam dan mengerikan. Aku tidak mengerti apakah dia marah, jijik, atau mungkin benci dengan kelakuanku. 


Tentu saja aku membantah keras semua tuduhan tidak berdasar itu! Aku muntah-muntah di pagi hari karena aku memiliki penyakit maag. Aku menerima kehadiran lelaki muda itu karena dia merupakan guru bimbingan pribadi untuk kuliah di luar negeri.


Namun ibu-ibu itu tidak percaya! Mereka menunjukkan foto lelaki yang dimaksud dan mengatakan, "Mana mungkin ada guru les seganteng ini?"


Ketika aku memperhatikan foto itu, "Tunggu dulu! Ini kan salah satu anak dari kompetisi kecerdasan mahasiswa itu?"


Lantas aku menoleh ke kiri dan ke kanan, "Fix, ini pasti sebuah mimpi! Dipikir-pikir mana mungkin juga cowok seganteng itu mau jadi guru lesku. Hahaha..."


Dan aku pun berhasil terbangun dengan lega 😌


Hingga beberapa hari kemudian, aku mulai berpikir, "Kayaknya seru kalau cerita ini dirangkai menjadi sebuah novel."


Maka jadilah novel ini, "Separuh Vancouver, Sepenuh Jiwaku."


Monday, 25 August 2025

Sandy Membangun Standar, tapi Shawn Meruntuhkannya

 

Dulu, aku sering berandai-andai: bagaimana kalau aku mengenal sosok yang seperti Sandy lebih dulu, ketika aku masih remaja?

Mungkin hidupku akan berbeda.


Kalau di zaman aku muda ada sosok seperti itu, mungkin aku akan punya standar tinggi soal pasangan. Jadi nggak gampang menerima sembarang orang dan direndahkan hanya karena pilihanku. Aku nggak akan mudah terpesona dengan cowok yang pintarnya cuma setingkat kabupaten—karena ada Sandy, yang punya prestasi matematika internasional ketika SMA, dan IPK sempurna saat kuliah di Singapura. Aku juga nggak akan gampang minder saat dituduh memilih seseorang hanya karena wajahnya, yang paling banter cuma diakui di lingkup komunitas. Karena ada Sandy, yang ketampanannya bahkan diendorse produk perawatan wajah, berarti sudah diakui secara nasional.


Intinya, kalau aku sudah terbiasa ngefans cowok dengan standar setinggi itu, mungkin aku juga akan punya standar tinggi. Aku nggak akan buang-buang waktu dengan cowok yang down grade. Kalaupun harus jomblo terus, ya nggak masalah. Masih ada banyak hal bermanfaat yang bisa kulakukan ketimbang menunggu seseorang yang bahkan tak berniat datang.


Tapi sekarang, aku merasa justru bagus mengenal sosok seperti Shawn setelah aku dewasa. Kalau aku masih remaja labil, mungkin berbahaya. Dia bisa merusak semua standar yang susah payah kutetapkan.


Misalnya, aku cenderung suka cowok rendah hati. Tapi Shawn? Di episode pertama COC Season 2, gayanya jelas-jelas terlihat seperti petentang-petenteng. Anehnya, aku tetap bisa terpesona. Logikaku berusaha membela: mungkin karena dia pintar. Lagi pula, dia memang menempati posisi lima di tantangan Harmonic Math, di sebuah kompetisi kecerdasan yang diselenggarakan oleh lembaga bimbingan belajar online. Dan mungkin, sikap sok jago itu hanya berlaku di panggung COC. Semacam akting saja. Karena di luar kompetisi, Shawn terlihat lebih bersahabat: mudah akrab, peduli pada teman-temannya, dan menghargai setiap dukungan fans.


Aku juga bukan tipe cewek yang suka cowok kekar dan berotot. Bukan apa-apa, lebih karena takut. Dari film-film yang pernah kutonton, cowok seperti itu sering digambarkan kasar. Tapi entah kenapa, senyum manisnya Shawn membuatku percaya bahwa dia berbeda. Senyum itu justru membuatku yakin ia penyayang. Keyakinan itu makin kuat ketika aku menonton rekaman live-nya dari akun fans: sambil memeluk dan mengelus kucing peliharaannya, ia terlihat seakan punya hati yang lembut.


Aku pun sadar, Shawn perlahan mengubah definisi tentang tipe cowok yang kusukai. Aku biasanya terpikat dengan mereka yang kalem, tenang, dan bijaksana. Sedangkan Shawn? Dari konten dan live—apalagi kalau bersama Andreas—sikapnya cenderung banyak tingkah, penuh guyon. Dan anehnya, aku tetap suka.


Mungkin memang begitu cara Shawn masuk dalam hidupku: bukan untuk memenuhi standar yang kubuat, tapi untuk meruntuhkannya pelan-pelan.


Pesona Cowok Hapal 52 Kartu

 Gara-gara nonton live Shawn, Max, dan MP, waktu Shawn ditanya sama MP apakah benar dia Cuma hapal satu kartu, aku jadi kepikiran. Mereka sebenarnya adalah mahasiswa yang mengikuti kompetisi kecerdasan antar mahasiswa yang diselenggarakan oleh lembaga bimbingan pembelajaran secara online.

Shawn sebenarnya hapal 52 kartu, tapi karena tidak familiar dengan AdaptoX (sebuah alat pengisi jawaban berbentuk tab elektronik), dia melakukan kesalahan ketika memasukkan jawabannya. Jadi bukan seperti dugaan orang-orang yang mengira dia asal coba saja. Dia benar-benar sudah memastikan bahwa dia hapal, lalu baru berjalan ke AdaptoX untuk memasukkan jawabannya.

Sebenarnya dia punya tiga nyawa. Nyawa pertama, dia hanya berhasil memasukkan satu kartu. Nyawa kedua, enam kartu. Dan di nyawa ketiga, dia berhasil sepuluh kartu. Tapi mungkin karena durasi tayangan di Ruang Guru dan YouTube diperpendek, adegan itu dipotong oleh editor. Jadi yang terlihat hanya momen ketika Shawn mendapatkan satu kartu.

Makanya di TikTok dia terus disindir: “Pesona cowok yang Cuma hapal satu kartu.”

Menurutku klarifikasi yang dia berikan masuk akal. Dia benar-benar bisa menjelaskan secara detail metode yang dia pakai untuk menghapalkan kartu-kartu itu. Lagi pula, setahuku dalam lomba-lomba seperti OSN, cara pengambilan jawabannya masih menggunakan kertas dan alat tulis. Jadi wajar kalau dia tidak terbiasa dengan AdaptoX.

MP bahkan menambahkan informasi, bahwa bukan hanya Shawn yang bermasalah dengan AdaptoX waktu itu.

Pantesan pas Shawn tereliminasi aku merasa nggak bisa move on. Aku terus bertanya-tanya: kenapa? Rasanya nggak mungkin!

Sebagai cewek yang memang cenderung suka cowok pintar, aku merasa Shawn termasuk tipe itu. Dari tatapan matanya, dari caranya bicara, ada sesuatu yang membuatku yakin. Memang, di COC Season kali ini banyak peserta pintar, tapi prediksiku Shawn setidaknya bisa masuk sepuluh besar. Apalagi di Harmonic Math, dia berhasil menempati posisi lima.

Karena tidak menemukan jawaban, akhirnya aku menyimpulkan sendiri: mungkin aku memang baper sama dia. Atau mungkin benar kata orang-orang di TikTok, “Blasteran kan emang, separuh Indo, separuh nafasku.” Jadi ketika dia tereliminasi, rasanya seperti ada yang hilang.

Sekarang aku sadar, ternyata bukan sekadar baper.

Kemarin aku nonton vlog Shawn di YouTube, tentang perjuangannya setelah dinyatakan lolos dan jadi cast COC Season 2. Dia latihan berbicara di depan kamera, latihan berhitung mental math, bahkan latihan menghafal rangkaian nomor. Semua itu dia lakukan sambil berjalan menuju tempat salat Jumat—karena masjid di Kanada cukup jauh dari tempat dia menginap. Di perjalanan panjang itu, dia tetap semangat sambil ngobrol dan merekam video.

Saking bapernya, aku sempat mikir: pasti Shawn sakit hati banget waktu gagal hanya karena tidak familiar dengan AdaptoX, padahal dia sudah berusaha keras sebelum berangkat ke Indonesia.

Akhirnya aku berpikir, yang paling penting sekarang adalah semoga dia selalu bahagia. Semoga dia mendapat kebahagiaan lain yang lebih besar daripada apa yang gagal dia perjuangkan di COC Season 2.


Thursday, 22 May 2025

Mahligai Tanpa Buaian


Semua orang memanggilku Vania. Aku wanita yang duduk di atas kursi roda tapi nekat berkhayal memiliki momongan dari rahimku sendiri. Khayalan yang biasa saja bagi sebagian besar orang, tetapi seperti mustahil bagi kalangan orang-orang seperti kami. 

Pada suatu senja, aku mendengar tanya ragu-ragu dari seorang lelaki, "Vania, kita ini kan sesama difabel, kebanyakan teman-teman kita memutuskan untuk tidak menikah. Aku ingin tahu, apakah kamu pernah berkeinginan untuk menikah?"

Sebut saja namanya Genta, lelaki yang juga difabel, sepertiku. Namun kondisi Itu bukan semata-mata alasan aku memilihnya. Dia menawarkan kelembutan, cara memandangku tanpa kasihan, dan perbincangan-perpincangan kami yang menyuburkan benih-benih mimpi tentang masa depan.

Rasanya baru kemarin, aku menjawab dengan antusias, "Tentu! Aku gemes banget sama bocil-bocil. Aku mau melahirkan bocil-bocil yang menggemaskan itu dari rahimku sendiri."

Itu bukan sekedar jawaban, tetapi sebuah harapan besar. Setiap melihat anak kecil yang lucu-lucu, rasanya aku ingin memeluknya. Tiba-tiba berharap cepat menikah, memiliki keluarga kecil, dan melahirkan makhluk mungil yang akan aku limpahi dengan segenap kasih sayang.

Namun waktu mengubah segalanya. Genta dan aku memutuskan untuk memilih jalur yang tak lagi sama. Aku merasa duniaku runtuh, sudah pasti. Namun bergulirnya waktu, menghadirkan dia… bukan sebagai pengganti, tapi menjelma alkisah yang berlainan. Lelaki baru yang membuatku percaya bahwa puing-puing duniaku yang runtuh masih bisa dibangun kembali. 

Anggap saja, namanya Damar. Dia bukan lelaki biasa. Dia memiliki semangat untuk terus belajar, bersikap sopan terhadap perempuan, dan berani mengutarakan pendapat yang berbeda dari kebanyakan orang. Berawal dari mengagumi karakternya, tiba-tiba aku jatuh hati. 

Namun saat aku terlanjur jatuh hati, aku mengetahui fakta yang mengejutkan. Bahwa lelaki yang diam-diam aku cintai ternyata penyintas kusta. Fakta itu sama sekali tidak mengurangi kadar perasaanku padanya. 

Bahkan ketika kemudian aku membaca sebuah artikel yang menjelaskan bahwa penyintas kusta mempunyai kemungkinan tidak dapat memiliki keturunan, hatiku tidak berubah. Aneh, bukan ingin menjauh, tapi justru ingin memeluknya. Aku mulai merencanakan hidup yang bahagia, walau tanpa makhluk mungil yang akan memanggilku ibu, atau memanggilnya ayah. 

Aku mulai berpikir kami berdua bisa menyisihkan waktu bersama anak-anak di panti asuhan, atau bercanda riang gembira bersama keponakan kecil kami. Aku meyakini bahwa hidup kami tetap berwarna walau tak ada makhluk mungil darah daging sendiri. Bahkan belum pernah sebelumnya, aku merasa menikmati kebersamaan kami sudah lebih dari cukup.

Kini, setiap kali aku menyaksikan makhluk mungil bertingkah lucu, aku masih tertawa gemas. Namun tak ada lagi obsesi menggebu untuk mempunyai yang serupa —melainkan karena aku tahu, cinta sejati tidak selalu harus berupa warisan darah. Namun, yang selalu melahirkan rasa syukur.


Friday, 16 May 2025

“Aku Ingin Memanggilmu, Mas"




Ada satu kebiasaan kecil yang dulu sengaja aku lakukan: memanggil laki-laki lebih muda dengan sebutan “Dek”. Bahkan walau selisih usia kami hanya sebulan. Bukan karena aku ingin dihormati berlebihan, tapi lebih karena aku merasa itu cara halus agar mereka mengerti adanya jarak. Supaya mereka tahu batas. Biar mereka tidak bersikap macam-macam.

Namun semua berubah, sejak mengenal Nakula—memang kami tidak pernah berhadapan langsung, hanya melalui layar mungil Tiktok dan Instagram. 

Nakula bukan siapa-siapaku. Dia mahasiswa pintar, ramah, dan sopan yang akhir-akhir ini sering muncul dalam berbagai video edukatif, sejak dinobatkan sebagai salah satu juara kompetisi kecerdasan antar mahasiswa di Indonesia. Aku pun bukan seseorang yang punya sangkut paut dalam kehidupannya. Cuma seorang wanita sederhana, yang tak pernah absen menyaksikan siaran langsungnya di Tiktok sambil sesekali ikut tersenyum saat melihat senyumnya yang manis.

Yang paling aneh: aku tak pernah ingin memanggilnya “Dek”, meski aku tahu usianya terpaut jauh di bawahku.

Justru, setiap kali melihat wajahnya yang serius tapi tetap menyenangkan, atau mendengar suaranya menjelaskan soal dengan tenang, ada panggilan spontan yang selalu muncul di benakku.

“Mas…”

Pernah suatu pagi, aku tak sengaja menemukan videonya sedang membahas soal ujian sambil duduk di depan layar laptop. Sinar matahari pagi membias lewat jendela di belakangnya. Rambutnya masih menyisakan bulir-bulir air, seperti baru saja mandi pagi, tapi langsung duduk bekerja. Padahal jam di ponselku, yang kuletakkan di dekat meja rias masih menunjukkan pukul 06.00. 

Aku yang masih sibuk mengusap skincare ke wajah sambil menonton videonya, refleks bergumam sendiri,

“Ya ampun, Mas… ini masih pagi loh, kamu kok rajin banget…”

Seketika aku terdiam.

Dan tertawa kecil.

"Astagfirullah! Kayaknya aku lagi ngomong sendiri sama hape." Seolah berharap dia mengerti, meski tak akan pernah menjawab. Namun entah mengapa, seolah ada kupu-kupu yang berterbangan di dadaku. Rasanya itu lebih dari cukup. Cukup hanya membatin satu panggilan kecil, aku memiliki ruang untuk menyayanginya dalam sunyi. Aku tidak mengharapkan sesuatu. Pun tak menuntut untuk dijawab.

Karena panggilan itu bukan artinya aku memimpikannya jadi kakakku. Namun diam-diam, jauh di palung jiwaku yang tiba-tiba berbunga-bunga, aku mengimajinasikan ingin bisa memanggilnya begitu sepanjang waktu. Bukan sebagai penggemar dari kejauhan. Namun sebagai seseorang yang menyeduhkan teh manis sambil berkata,

“Mas, aku bikinin teh, biar kerjanya makin semangat. Tapi jangan marah kalau rasanya kurang manis, soalnya banyak gula yang kabur karena merasa nggak semanis senyumanmu.”

Aku tertawa geli, hingga sebotol moisturizer di tanganku nyari terjatuh. 

Namun pagi itu, aku terinspirasi untuk mengupload quotes hari ini:

Kadang, cinta tak butuh dinyatakan dengan lantang. Cukup melalui panggilan sederhana yang sudah menjelaskan segalanya. Aku bahagia dan ikhlas mengaguminya, meski hanya dari layar mungil sosial media. 

Dan aku… ingin selalu memanggilnya “Mas”.

Meskipun terdengar lirih hanya untuk sepasang telingaku sendiri. 



Sunday, 4 May 2025

Mereka Bilang Dia Tampan



“Aku tahu kamu pilih dia karena dia ganteng, ya kan?”


Aku hanya bisa menghela napas, sebuah isyarat lelah untuk debat yang tak perlu. Haruskah aku menjelaskan panjang lebar, seperti para artis yang harus mengkonfirmasi rumor tentang kehidupan pribadinya? Kupikir tak perlu, karena aku bukan bagian dari mereka. Aku hanya orang biasa. 


Namun, semakin aku diam, rumor itu semakin menyebar. Orang-orang seakan berhak menilai alasan seseorang jatuh cinta. Seolah cinta adalah rumus matematika yang mudah dimengerti oleh semua orang: tampan + mapan = jatuh hati. Padahal cinta lebih sering seperti hujan yang tak diundang, bahkan tak jarang lupa memberikan isyarat. Hujan tidak selalu menunggu kita memanggil-manggil namanya. Hujan juga tidak selalu seiring dengan langit yang mendung. Tak jarang langit cerah dengan sinar matahari menyala, tapi hujan turun seketika.


Banyak yang bilang dia tampan. Lelaki berkulit kuning langsat yang menawan, dengan hidung bangir, tatapan mata yang teduh, dan bibir tipis yang sedikit bersemu merah. Ditunjang dengan penampilannya yang rapi, seperti layaknya kebanyakan pria mapan. Semua menganggap dia pria idaman. Tapi… entah mengapa aku tak pernah benar-benar melihatnya demikian.


Bahkan saat pertama kali aku melihat fotonya di sosial media, aku tidak merasa terpesona dan tidak juga ingin terus menatap wajahnya, tidak seperti di novel-novel romantis yang sering aku baca. Jantungku pun tidak berdebar kencang. Tidak ada bunga-bunga yang terasa bermekaran di dada. Namun aku heran, karena banyak teman-teman perempuan di komunitasku yang begitu antusias dengan komentar-komentar menggodanya. Apakah ada yang salah dengan pandangan mataku? 


Hingga akhirnya aku iseng-iseng bertanya pada sepupuku lewat chat, dengan menyertakan fotonya.

"Menurutmu, dia cakep nggak?"


Sepupuku tak lama kemudian menjawab, “Enggak. Tapi kalau kamu suka, ya, nggak papa.”


Aku langsung terdiam, dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa aku suka? 


Kemudian aku langsung menggeleng pelan. Lantas mematikan layar ponsel dan melupakannya. 


Tipe idamanku berbeda. Aku lebih suka laki-laki berkulit kecokelatan, dengan senyum yang manis. Yang mengingatkanku pada gula jawa yang dicairkan dan dijadikan toping bubur sumsum. Seperti Abdur Arsyad, komika yang bahkan dari layar TV sudah bisa membuatku jatuh hati. Dulu, saat dia ikut kompetisi Stand Up Comedy, aku sudah menjagokannya sejak episode pertama. Selain daya tarik fisiknya, aku juga mengaguminya karena jujur, lucu, dan cerdas. Bahkan saat mendengar kabar idolaku itu menikah, aku sempat merasakan patah hati. 


Namun sepertinya seleraku tidak umum di masyarakat. Di negara ini, kulit yang cerah bahkan putih merupakan standar cantik dan tampan. Terbukti dengan segudang produk perawatan kulit yang menjanjikan “kulit putih mulus”. Seolah warna kulit yang cerah, terlebih putih, merupakan satu-satunya pintu menuju kebahagiaan yang sejati.


Sehingga waktu aku memilih dia—mantan kekasihku—mereka menuduhku melihat fisiknya. Aku berusaha maklum, mungkin tak semua orang bisa mengerti, bahwa yang membuatku mulai melihatnya bukan warna kulit yang menempel di tubuhnya, tapi karena ibuku bilang melihatnya di sebuah segmen berita sore sedang mengajar anak-anak penuh kesabaran. Aku mulai belajar menerima kehadirannya bukan karena kemapanan finansialnya, tapi karena dia rela mendengarkan curhatanku tentang keinginan bersekolah formal yang tidak didukung ayahku. Dia bahkan pernah berjanji membantuku berbicara dengan ayah tentang mimpiku, meski pada akhirnya tidak pernah ditepati.


Namun pada akhirnya, tidak semua kisah asmara bisa berlabuh pada tujuan akhir. Begitulah jalinan kasih kami yang akhirnya hanya menjadi kenangan. Maka dibalik kesunyian hidupku, tuduhan-tuduhan yang dulu terdengar seperti bisikan, kini menjelma suara-suara yang terus menggema dan menyudutkan.


“Kasihan, mantannya yang ganteng nikahnya sama cewek lain.”

“Cantikan yang sekarang diajakin nikah, sih. Pantesan dia ditinggalkan.”


Ironis, orang-orang senang mengambil kesimpulan berdasarkan selera dan pengalaman hidupnya sendiri. Padahal, mereka tidak pernah menjalani kehidupan yang sama dan perasaan yang belum tentu serupa.


Apakah mereka mau mengerti betapa aku dulu memaksa diriku mencintai bukan karena rupa? Bahwa aku berusaha memaklumi semua kebiasaannya, meski kadang membuatku tidak nyaman. Bahwa aku bertahan bukan karena aku merasakan bahagia dan berbunga-bunga, tapi karena aku berusaha meyakini bahwa bahagia akan datang seiring dengan adanya ketulusan, bukan semata ketertarikan semu.


Terkadang aku menyesal pernah bersamanya, tapi kemudian sadar bahwa itu tidak bijak. Setidaknya aku harus bersyukur karena semuanya sudah benar-benar berakhir. 


Setidaknya dari pengalaman ini aku belajar:

Seharusnya aku menunggu datangnya seseorang yang sesuai dengan kriteriaku, bukan menghabiskan waktu untuk seseorang yang sekedar tampak sempurna di mata publik.


Dan cinta…

tak pernah sesederhana warna kulit, wajah tampan, atau janji indah tentang masa depan.