Hari
minggu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Zia, hari di mana dia bisa
bebas menghabiskan waktu bersantai di rumah. Tidak seperti hari-hari biasa di
mana dia harus disibukkan dengan tugas-tugas kuliah. Tiba-tiba kebahagiaannya menyaksikan televisi di minggu pagi yang
cerah ini harus terusik dengan perintah sang ibu.
"Zia,
tolong belikan ibu bawang sama cabai di warung Mbak Nur," perintahnya,
sambil mengulurkan dua lembar lima ribuan. Sebagai anak yang patuh zia pun
terpaksa menuruti. Buru-buru dia masuk kamar, lalu menggeledah lemari, mencari
baju untuk keluar. Entah mengapa pilihannya jatuh pada atasan lengan panjang,
rok panjang, dan kerudung berwarna merah muda.
Dia
bercermin sejenak, sebelum kemudian merasa mantap untuk keluar rumah. Sesampainya
di warung Mbak Nur dia mendapati ibu-ibu berkerumun. Sebagian besar memegang
dan memilih-milih apa yang akan dibeli sembari ngerumpi.
"Eh,
tahu nggak Mbak, saudara sepupu kakek suamiku itu pensiunan walikota lho! mobilnya
mewah, rumahnya megah ...," ujar seorang ibu sambil memilah sayur yang
akan dibelinya.
"Kakeknya
suamiku malah pensiunan gubernur," sahut ibu yang sedang menjumput bawang
dan memasukkannya dalam kantong plastik.
Gara-gara
obrolan tidak penting itu para ibu-ibu jadi lama sekali merubungi amben tempat
Mbak Nur menggelar dagangan. membuat Zia yang baru saja datang harus rela
menunggu sambil berdiri. Semenit, dua menit, hingga tiga menit berlalu ibu-ibu
itu malah semakin heboh.
"Kakek
saya lebih hebat lagi," dengan santainya Zia mulai buka suara,
"sampai sekarang beliau masih berprofesi sebagai coverboy."
Semua
terhenyak. "Ah, yang benar saja!"
"Beneran
lho Bu. Kakekku dari pihak ayah itu sekarang jadi coverboy buku yasin,"
lanjut Zia, kemudian tertawa cekikikan. Semua ibu yang berada di sini
memandangnya tak suka. Reaksi yang berbeda dengan yang diberikan teman-temannya
di kampus kemarin saat dia melontarkan lelucon yang terinspirasi dari
cerita-cerita lucu yang beredar di internet. Saat itu beberapa teman-temannya
sedang saling membanggakan profesi dari pacarnya, atau orang tua pacarnya. Mungkin,
selera humor anak muda dan ibu-ibu memang berbeda, bathinnya.
Akhirnya
Zia cuma bisa cengar-cengir dan bilang, "Maaf, saya becanda."
"Pintar
sekali kamu nduk. Apapun profesinya pada akhirnya semua manusia akan dipanggil
yang kuasa. jabatan hanya sementara, untuk apa dibangga-banggakan sedemikian
rupa." Terdengar suara yang tak asing lagi di telinga. Semua ibu tertunduk
malu. Zia pun juga tertunduk, namun bukan malu melainkan bentuk sikap hormat
pada beliau.
"Kamu
lucu. Masih seperti waktu kita kecil
dulu," ucap pemuda yang melintas di depan Zia. Angin sejuk seakan
berhembus lembut di dalam hati kala Zia mendengarnya.
"Ayo
le!" Pak Haji mengajak cucunya segera berlalu. Cucunya pun segera
bergegas. Kakek dan cucu itu pun pergi meninggalkan mereka.
"Tahu
nggak Mbak, katanya tho Iqbal itu udah punya calon?" Deg, jantung Zia
seakan berhenti berdetak. Hatinya yang tadi merasa terbang melayang, kini
seakan langsung terhempas ke dalam jurang.
"Ya
tahu dong mbak. Katanya, calonnya dari Jawa Tengah, mereka itu temen
kuliah."
Tidak,
tidak mungkin! Ibu-ibu tukang gosip itu pasti berbohong, bantahnya dalam hati. Tanpa
menghiraukan mereka dia mendekati Mbak Nur, lalu menyebutkan apa saja yang
dipesan sang ibu dari rumah. Zia tak peduli lagi dengan antrian.
"Dengar-dengar
cucunya Kiyai lho," timpal ibu yang tepat berada di sebelahnya, membuat
kuping Zia makin panas, dan hatinya seakan tersayat. Dia langsung berlalu pergi, begitu mendapat
apa yang dipesan ibunya.
***
Sepasang
bocah sedang berdiri di pingir jalan, tepat di jembatan Rejoso. Suara riuhnya
lalu-lalang kendaraan seakan tak terdengar oleh mereka. Sore ini adalah sore
terakhir mereka berangkat dan pulang mengaji bersama.
"Jangan
khawatirkan aku Zi. aku pasti akan baik-baik saja selama di pondok pesantren. Kata
ibu yang punya ponpes itu masih saudara."
Namun
air mata gadis kecil itu malah semakin deras mengalir, "Kalau Mas Iqbal
mondok kita nggak bisa ketemu, main bersama, dan berangkat mengaji bersama
lagi," isaknya, sambil menghapus air mata dengan kasar menggunakan
sepasang tangan mungilnya, secara bergantian.
Entah
sejak kapan, yang jelas sejak mereka berdua mulai mampu mengingat mereka selalu
bersama. Mulai dari bermain, sekolah, hingga mengaji. Mereka baru akan berpisah
ketika salah satu dari mereka memiliki kepentingan ke kamar mandi, atau saat
hari mulai gelap dan sudah waktunya untuk terlelap. Selain karena rumah mereka
berdekatan, kakek mereka yang sudah bersahabat sejak remaja menjadi sebab
munculnya kesempatan-kesempatan untuk selalu bersama.
"Sabar
ya, Zi ...," bujuknya, terdengar lembut. "Tenang saja. Setelah aku
mondok, lalu kuliah, aku pasti kembali ke kampung ini. Aku akan menikah
denganmu, dan kita akan punya lebih
banyak waktu bersama," janjinya, terdengar mantap. Zia terhenyak, tetapi
senyuman iqbal berhasil meyakinkannya. Zia pun ikut tersenyum, lalu mengangguk,
dan cepat-cepat menghapus air matanya.
Janji
lelaki kecil berusia sepuluh tahun, mana bisa dipercaya? begitu kata
teman-temannya. Namun zia tak pernah menghiraukannya, dia tetap selalu percaya.
Meski, setelah pertemuan di jembatan itu tak pernah ada komunikasi lagi. Zia
mencoba mengerti, seorang santri memang harus menjaga pandangan dan sikap di
hadapan wanita yang bukan muhrimnya. Dan, walau dia bukan santriwati, tetapi
dia juga melakukan hal serupa. Ini semua bukan demi Iqbal semata, tetapi demi
kebaikannya sendiri pula, tekadnya dalam jiwa.
"Janji lelaki usia sepuluh tahun memang
tak bisa dipercaya," gumamnya, sarkastik. Dia bersiap membuang liontin
pemberian Iqbal terakhir kali mereka bertemu dulu, menjatuhkannya ke bawah, ke
arah aliran sungai warna kecoklatan yang mengalir tenang.
"Jangan
membuang barang sembarangan nduk. Mubadzir..." suara itu membuatnya
menghentikan gerakan tangannya. Tak lama dieratkannya pegangan tangannya pada
liontin itu. Pelan-pelan ditarik kembali tangan kanannya mendekat ke tubuhnya
yang mungil, dan berbalut baju muslim warna abu-abu. Zia hanya bisa menunduk.
Usai pamit
Pak Haji melangkah pergi. Zia menoleh. Sesaat tatapan matanya bertemu dengan Iqbal.
Zia buru-buru menunduk, lalu mengalihkan pandangannya ke arah matahari yang
mulai akan terbenam.
***
"Dari
mana saja nduk?" tanya ibu, begitu zia sampai di kamarnya.
"Jalan-jalan
Bu."
"Wah,
sayang sekali kamu tadi tak di rumah. Padahal tadi ada Iqbal lho." Itu
kejadian yang tak ingin di dengarnya hari ini. Dia tak mau tahu semua hal yang
berhubungan dengan Iqbal lagi sekarang.
"Yaudah,
biarin," sahutnya, malas.
"Memangnya
kamu tidak kangen? dulu kan kalian selalu ke mana-mana bersama," ucap ibu,
dengan nada menggoda.
"Kangen
juga percuma Bu. Bukankah sebentar lagi dia akan menikah?" ucap Zia, untuk
pertama kalinya mencoba agak terbuka pada ibunya. Zia menghambur ke kasur,
tidur tengkurap dan membenamkan muka ke tumpukan bantal.
"Kata
siapa? kamu saja belum lulus kuliah kok."
"Memang
apa hubungannya denganku?" Zia bangkit dari tidur, lalu duduk menghadap
ibu. Ibu menghentikan kegiatannya membersihkan muka di depan cermin itu. Lalu
berbalik menghadap anaknya.
"Tadi
kan selesai Pak Haji menyampaikan tujuannya, Kakek iseng tanya, kebetulan pas
itu Ibu lagi membawakan teh dan suguhan. Kakek tanya, lha Iqbal kapan menyusul?
Pak Haji bilang, katanya dia mau nungguin cucu kamu. terus Ibu lihat Iqbal
senyum-senyum dan menunduk malu."
"Jadi,
yang mau nikah sebentar lagi bukan Mas Iqbal?"
"Akmal,
sepupunya Iqbal. Orang-orang kan sering salah sebut atau salah kira. Karena
selain namanya terdengar mirip, mukanya juga persis, dan usianya cuma beda
beberapa bulan."
Zia pun
tersenyum sembari menengok kembali liontin yang ada di lehernya.
Ungaran,17
Desember 2015