Thursday 17 December 2015

Menanti Dalam Diam

Hari minggu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Zia, hari di mana dia bisa bebas menghabiskan waktu bersantai di rumah. Tidak seperti hari-hari biasa di mana dia harus disibukkan dengan tugas-tugas kuliah. Tiba-tiba kebahagiaannya  menyaksikan televisi di minggu pagi yang cerah ini harus terusik dengan perintah sang ibu.

"Zia, tolong belikan ibu bawang sama cabai di warung Mbak Nur," perintahnya, sambil mengulurkan dua lembar lima ribuan. Sebagai anak yang patuh zia pun terpaksa menuruti. Buru-buru dia masuk kamar, lalu menggeledah lemari, mencari baju untuk keluar. Entah mengapa pilihannya jatuh pada atasan lengan panjang, rok panjang, dan kerudung berwarna merah muda.

Dia bercermin sejenak, sebelum kemudian merasa mantap untuk keluar rumah. Sesampainya di warung Mbak Nur dia mendapati ibu-ibu berkerumun. Sebagian besar memegang dan memilih-milih apa yang akan dibeli sembari ngerumpi.

"Eh, tahu nggak Mbak, saudara sepupu kakek suamiku itu pensiunan walikota lho! mobilnya mewah, rumahnya megah ...," ujar seorang ibu sambil memilah sayur yang akan dibelinya.

"Kakeknya suamiku malah pensiunan gubernur," sahut ibu yang sedang menjumput bawang dan memasukkannya dalam kantong plastik.

Gara-gara obrolan tidak penting itu para ibu-ibu jadi lama sekali merubungi amben tempat Mbak Nur menggelar dagangan. membuat Zia yang baru saja datang harus rela menunggu sambil berdiri. Semenit, dua menit, hingga tiga menit berlalu ibu-ibu itu malah semakin heboh.

"Kakek saya lebih hebat lagi," dengan santainya Zia mulai buka suara, "sampai sekarang beliau masih berprofesi sebagai coverboy."

Semua terhenyak. "Ah, yang benar saja!"

"Beneran lho Bu. Kakekku dari pihak ayah itu sekarang jadi coverboy buku yasin," lanjut Zia, kemudian tertawa cekikikan. Semua ibu yang berada di sini memandangnya tak suka. Reaksi yang berbeda dengan yang diberikan teman-temannya di kampus kemarin saat dia melontarkan lelucon yang terinspirasi dari cerita-cerita lucu yang beredar di internet. Saat itu beberapa teman-temannya sedang saling membanggakan profesi dari pacarnya, atau orang tua pacarnya. Mungkin, selera humor anak muda dan ibu-ibu memang berbeda, bathinnya.

Akhirnya Zia cuma bisa cengar-cengir dan bilang, "Maaf, saya becanda."

"Pintar sekali kamu nduk. Apapun profesinya pada akhirnya semua manusia akan dipanggil yang kuasa. jabatan hanya sementara, untuk apa dibangga-banggakan sedemikian rupa." Terdengar suara yang tak asing lagi di telinga. Semua ibu tertunduk malu. Zia pun juga tertunduk, namun bukan malu melainkan bentuk sikap hormat pada beliau.

"Kamu lucu. Masih seperti  waktu kita kecil dulu," ucap pemuda yang melintas di depan Zia. Angin sejuk seakan berhembus lembut di dalam hati kala Zia mendengarnya.

"Ayo le!" Pak Haji mengajak cucunya segera berlalu. Cucunya pun segera bergegas. Kakek dan cucu itu pun pergi meninggalkan mereka.

"Tahu nggak Mbak, katanya tho Iqbal itu udah punya calon?" Deg, jantung Zia seakan berhenti berdetak. Hatinya yang tadi merasa terbang melayang, kini seakan langsung terhempas ke dalam jurang.

"Ya tahu dong mbak. Katanya, calonnya dari Jawa Tengah, mereka itu temen kuliah."

Tidak, tidak mungkin! Ibu-ibu tukang gosip itu pasti berbohong, bantahnya dalam hati. Tanpa menghiraukan mereka dia mendekati Mbak Nur, lalu menyebutkan apa saja yang dipesan sang ibu dari rumah. Zia tak peduli lagi dengan antrian.

"Dengar-dengar cucunya Kiyai lho," timpal ibu yang tepat berada di sebelahnya, membuat kuping Zia makin panas, dan hatinya seakan tersayat.  Dia langsung berlalu pergi, begitu mendapat apa yang dipesan ibunya.

***

Sepasang bocah sedang berdiri di pingir jalan, tepat di jembatan Rejoso. Suara riuhnya lalu-lalang kendaraan seakan tak terdengar oleh mereka. Sore ini adalah sore terakhir mereka berangkat dan pulang mengaji bersama.

"Jangan khawatirkan aku Zi. aku pasti akan baik-baik saja selama di pondok pesantren. Kata ibu yang punya ponpes itu masih saudara."

Namun air mata gadis kecil itu malah semakin deras mengalir, "Kalau Mas Iqbal mondok kita nggak bisa ketemu, main bersama, dan berangkat mengaji bersama lagi," isaknya, sambil menghapus air mata dengan kasar menggunakan sepasang tangan mungilnya, secara bergantian.

Entah sejak kapan, yang jelas sejak mereka berdua mulai mampu mengingat mereka selalu bersama. Mulai dari bermain, sekolah, hingga mengaji. Mereka baru akan berpisah ketika salah satu dari mereka memiliki kepentingan ke kamar mandi, atau saat hari mulai gelap dan sudah waktunya untuk terlelap. Selain karena rumah mereka berdekatan, kakek mereka yang sudah bersahabat sejak remaja menjadi sebab munculnya kesempatan-kesempatan untuk selalu bersama.

"Sabar ya, Zi ...," bujuknya, terdengar lembut. "Tenang saja. Setelah aku mondok, lalu kuliah, aku pasti kembali ke kampung ini. Aku akan menikah denganmu, dan kita akan punya  lebih banyak waktu bersama," janjinya, terdengar mantap. Zia terhenyak, tetapi senyuman iqbal berhasil meyakinkannya. Zia pun ikut tersenyum, lalu mengangguk, dan cepat-cepat menghapus air matanya.

Janji lelaki kecil berusia sepuluh tahun, mana bisa dipercaya? begitu kata teman-temannya. Namun zia tak pernah menghiraukannya, dia tetap selalu percaya. Meski, setelah pertemuan di jembatan itu tak pernah ada komunikasi lagi. Zia mencoba mengerti, seorang santri memang harus menjaga pandangan dan sikap di hadapan wanita yang bukan muhrimnya. Dan, walau dia bukan santriwati, tetapi dia juga melakukan hal serupa. Ini semua bukan demi Iqbal semata, tetapi demi kebaikannya sendiri pula, tekadnya dalam jiwa.

 "Janji lelaki usia sepuluh tahun memang tak bisa dipercaya," gumamnya, sarkastik. Dia bersiap membuang liontin pemberian Iqbal terakhir kali mereka bertemu dulu, menjatuhkannya ke bawah, ke arah aliran sungai warna kecoklatan yang mengalir tenang.

"Jangan membuang barang sembarangan nduk. Mubadzir..." suara itu membuatnya menghentikan gerakan tangannya. Tak lama dieratkannya pegangan tangannya pada liontin itu. Pelan-pelan ditarik kembali tangan kanannya mendekat ke tubuhnya yang mungil, dan berbalut baju muslim warna abu-abu. Zia hanya bisa menunduk.

Usai pamit Pak Haji melangkah pergi. Zia menoleh. Sesaat tatapan matanya bertemu dengan Iqbal. Zia buru-buru menunduk, lalu mengalihkan pandangannya ke arah matahari yang mulai akan terbenam.

***

"Dari mana saja nduk?" tanya ibu, begitu zia sampai di kamarnya.

"Jalan-jalan Bu."

"Wah, sayang sekali kamu tadi tak di rumah. Padahal tadi ada Iqbal lho." Itu kejadian yang tak ingin di dengarnya hari ini. Dia tak mau tahu semua hal yang berhubungan dengan Iqbal lagi sekarang.

"Yaudah, biarin," sahutnya, malas.

"Memangnya kamu tidak kangen? dulu kan kalian selalu ke mana-mana bersama," ucap ibu, dengan nada menggoda.

"Kangen juga percuma Bu. Bukankah sebentar lagi dia akan menikah?" ucap Zia, untuk pertama kalinya mencoba agak terbuka pada ibunya. Zia menghambur ke kasur, tidur tengkurap dan membenamkan muka ke tumpukan bantal.

"Kata siapa? kamu saja belum lulus kuliah kok."

"Memang apa hubungannya denganku?" Zia bangkit dari tidur, lalu duduk menghadap ibu. Ibu menghentikan kegiatannya membersihkan muka di depan cermin itu. Lalu berbalik menghadap anaknya.

"Tadi kan selesai Pak Haji menyampaikan tujuannya, Kakek iseng tanya, kebetulan pas itu Ibu lagi membawakan teh dan suguhan. Kakek tanya, lha Iqbal kapan menyusul? Pak Haji bilang, katanya dia mau nungguin cucu kamu. terus Ibu lihat Iqbal senyum-senyum dan menunduk malu."

"Jadi, yang mau nikah sebentar lagi bukan Mas Iqbal?"

"Akmal, sepupunya Iqbal. Orang-orang kan sering salah sebut atau salah kira. Karena selain namanya terdengar mirip, mukanya juga persis, dan usianya cuma beda beberapa bulan."

Zia pun tersenyum sembari menengok kembali liontin yang ada di lehernya.

Ungaran,17  Desember 2015

Thursday 10 December 2015

Kumpulan Haiku tentang Senja di rumah Nenek




Putih mewangi
menghadirkan kenangan
dipeluk senja


Cantik melati
temani peri kecil
senja yang sunyi


Desa yang asri
kupu-kupu menari
indahkan senja

Jingga ceria
ramah menyapa senja
hangat kenangan