Monday 13 September 2021

Teruntuk Mas Pendiam Berambut Sepundak

 Judul: Teruntuk Mas Pendiam Berambut Sepundak 

Penulis: Wardha Amelia


Mas, jangan pergi 

Tetaplah di sini 

Walau tak bisa kumiliki

Setidaknya, izinkan aku melihatmu setiap hari 


Mungkin kau tak setampan Arjuna 

Tapi lengkungan senyummu menyejukkan jiwa 

Mungkin kau tak segagah perwira

Tapi santun sikapmu selalu kupuja


Aku terlanjur jatuh hati pada semua yang kau punya 

Selera dalam mendengarkan nada-nada yang tak biasa 

Caramu memandang dunia yang berbeda 

Sikapmu yang pendiam dan tak suka tebar pesona ke mana-mana 


Cemerlang sinar tatapan netra

Hidung mungil yang mempesona 

Rambut lembut yang terurai dengan indahnya 

Kulit coklat yang manis di pandang mata


Walau di luar sana banyak Pangeran dipuja ratusan wanita 

Aku tidaklah mudah ikut tergoda 

Walau tak sedikit yang mencoba tawarkan cinta 

Aku akan tetap memilih setia 


Pasuruan, 7 September 2021. 




Thursday 2 September 2021

Boneka Buaya - Amalia Wardhani

 


Gadis berambut sepundak itu berdiri di depan cermin, melihat pantulan parasnya. Gaun merah selutut membungkus tubuh mungilnya, dengan pulasan make up natural ala Korea, dan sepatu hak tinggi favorit, dia bersiap menemui seseorang.


"Lisa, mau ke mana sih, kok rapi banget?" tanya seseorang yang tiba-tiba menghambur ke kamarnya.


"Ketemu Riko."


"Kakak kan sudah bilang, Riko itu buaya ...." 


Belum selesai kalimat itu meluncur dari bibir mungil sang kakak perempuan, Melissa segera menginterupsi.


"Aku bisa jaga diri kok, Kak."


***


🎶 seperti mendapat boneka terindah

waktu aku mengenalmu

kubuat kau buta dengan pesonaku

tersesat kau karena silaumu 🎶


Suara penyanyi Cafe mengalun merdu, menemani Melissa menunggu lelaki yang oleh sang kakak dijuluki sebagai buaya darat. Bukannya dia tak percaya, bahkan sesungguhnya sudah tahu sendiri. Namun, ada satu alasan mengapa harus menemui sang don juan malam ini.


Setelah beberapa teguk cappuccino dinikmatinya, barulah tampak pria berkemeja hitam menghampirinya. "Maaf lama ya?" 


"Nggak apa-apa. Jangankan setengah jam, seratus tahun pun aku rela menunggumu, Riko." 


"Ah, bisa saja kamu." Riko tersenyum sambil mengusap bagian belakang kepalanya, dengan pipi yang sedikit bersemu. 


Ah, dasar playboy belum professional! Begitu saja langsung tersipu, batin Melissa. 


🎶kuajak kau melayang tinggi

dan kuhempaskan ke bumi🎶


"Riko, kamu masih kontakan sama Mahendra? Aku minta nomer hape dan alamat rumahnya dong!"


Perlahan wajah ceria pria berkulit coklat itu memudar, senyumnya tak lagi selebar semula. 


"Ngapain? Mau ngajak balikan? Jadi kamu benar-benar ada hubungan dengannya?" 


Seketika tawa Melissa meledak keras, sehingga beberapa pengunjung Cafe yang lain menoleh padanya. Dia menangkupkan tangan dan mengangguk kepada mereka, sebagai tanda maaf. 


"Aku nggak ada hubungan lebih dari teman dengannya, Riko. Itu hanya gosip. Lagi pula, aku kapan pernah bohong sama kamu sih ...." Masih ada sisa tawa ketika dia menjelaskan, sambil menggeleng-geleng. Riko ternyata masih belum melupakan gosip konyol di kampus mereka dua tahun lalu. 


"Terus buat apa?" Riko memajukan tubuhnya dan menopangkan dagu dengan tangan kiri di atas meja. 


"Aku butuh teman curhat." Melissa menghindari tatapan mata lelaki di hadapannya, dan sibuk mengamati lalu lalang pengunjung yang lain. 


"Kenapa bukan sama aku?" 


Yes! Si buaya masuk perangkap, batin gadis berkulit kuning langsat itu. 


"Kamu ingat waktu ngajak aku pameran fotografi tiga bulan yang lalu? Kita berpencar karena kamu deketin sahabatku, Rianti? Waktu itu aku kenalan dengan seorang fotografer pemula. Aku langsung terpesona sejak pertama kali melihat karyanya. Akhirnya kita ngobrol-ngobrol dan saling bertukar nomor ponsel. Kebetulan Oomku seorang fotografer. Aku sering minta tips dan trik pada beliau, kemudian membagikannya pada lelaki tersebut."


"Nama lelaki itu?" 


"Kamu tak perlu tahu, Riko! Cukup dengarkan aku ... atau aku pergi curhat sama Mahendra saja." Melissa pura-pura cemberut dan membuang muka. 


"Eh, iya ... ya ... maaf." 


"Awalnya niat aku ikhlas bantuin, karena dia pernah bilang ingin menjadi fotografer sukses supaya masa depan keponakannya lebih baik dari masa kecilnya dulu. Selain karena ingin punya temen sharing tentang fotografi, aku juga berharap punya teman bertukar pikiran lagi, seperti ke Mahendra dulu." Sepasang netra Melissa mulai tampak berkaca-kaca. 


"Tapi ternyata nggak ada yang bisa menggantikan Mahendra? Dan kamu tetap kangen dia gitu?" 


"Riko, please deh!" 


"Maaf, aku becanda." 


"Tapi nggak tahu kenapa, tiba-tiba saja jantungku berdebar hanya karena dipanggil, Mel."


"Padahal Mahendra dulu juga manggil gitu kan, Lisa?" 


"Tapi waktu Mahendra yang memanggil, rasanya aku biasa saja." 


"Kalau gitu mulai sekarang aku manggilnya 'Mel' saja ya?" Riko mulai mencoba menggodanya. 


"Nggak ngaruh!" Seketika suara Melissa terdengar ketus. 


"Ya, nggak apa-apa kok. Aku memang nggak ada artinya buat kamu." Riko tiba-tiba memelas, dan mengharapkan Melissa akan iba padanya. 


Namun, bukan Melissa jika tak mampu menguasai situasi, "Maaf Riko, tapi kamu pasti spesial di mata seseorang yang mencintaimu. Perasaan kan nggak bisa dipaksain. Maaf ya ...." 


"Kamu nggak perlu minta maaf, aku mengerti kok."


"Sebenarnya aku juga nggak menginginkan punya perasaan seperti ini. Tiba-tiba aja aku nggak suka saat dia bahas mantannya, atau cewek-cewek yang dijadikan model dalam karya fotografi. Aku mencoba bertahan, dan berharap perasaan itu memudar seiring waktu, tapi justru semakin dalam. Harusnya nggak boleh. Ini melanggar janjiku sendiri. Karena aku duluan yang mengajaknya berteman. Nggak konsisten namanya."


"Memangnya apa sih kelebihan si fotografer misterius itu, sampai bikin kamu jadi kayak gini, Lisa?" 


"Menurutku dia ganteng, tapi nggak narsis, nggak suka upload-upload foto di sosial media. Dia cerdas, asik diajak ngobrol apapun. Selera musik, film, dan bacaannya bagus-bagus. Hasil karya fotografinya juga bagus, idenya keren. Selalu ada kisah menarik di balik hasil jepretannya. Dia sabar dan nggak kasar, nggak seperti Mahendra. Dia juga nggak genit atau godain cewek-cewek, kayak kamu."


"Aku kan masih jomblo. Nanti kalau sudah menikah, aku pasti setia." Riko berusaha membela diri. 


Namun, Melissa Justru tenggelam dalam ingatan tentang sang fotografer idamannya. "Dia satu-satunya cowok yang bisa membuatku nyaman." 


Setelah Melissa selesai menumpahkan kegundahan hatinya, Riko pun mengambil giliran untuk berkisah. Dia menceritakan tentang beberapa wanita yang sedang diincarnya. Namun, Melissa hanya mendengarkan setengah hati. 


"Terserah kamu saja sih, mau deketin dua atau bahkan sepuluh cewek sekalian. Asal jangan aku saja yang kamu jadikan target! Atau akan kusebarkan fotomu waktu sedang mencuri uang di kantor kita!" Seketika Melissa mengambil amplop coklat dari tasnya, dan melemparkan begitu saja di atas meja. Ada beberapa lembar foto bukti-bukti kejahatan Riko. 


"Heh, kapan kamu memotretnya?" Mata lelaki itu langsung melebar, dengan bibir setengah terbuka, dan keringat yang mulai tampak bermunculan di dahi lebarnya. 


"Rahasia." Melissa tersenyum dengan mengangkat dagu dan melipat kedua tangannya di dada. "Dan, aku masih punya copy-annya di laptop, flashdisk, bahkan akun penyimpanan online." 


"Lisa, ini nggak lucu!" 


"Kamu pikir lucu melihat sahabatku nyaman sama kamu, tapi kamu masih tebar pesona ke mana-mana?" 


"Apa maumu, Lisa?" 


"Jauhin Rianti! Jangan jadikan dia bonekamu!" 


"Kamu licik, Lisa!" 


Melissa tersenyum miring, kemudian pergi meninggalkan Riko yang masih termenung di meja Cafe. Di dalam mobil dia pun memutar lagu dari salah grup musik idolanya. 


🎶dan aku tertawa melihat kau luka

kau terpuruk di kakiku🎶


🎶ku ingin kau rasakan

apa yg dulu kau lakukan

ku ingin kau mengerti🎶


"Terima kasih, Riko. Setidaknya aku sudah lega bisa punya teman curhat. Aku nggak tega curhat pada Rianti yang sedang banyak masalah." 


🎶kuajak kau melayang tinggi

dan kuhempaskan ke bumi

kumainkan sesuka hati

lalu kau ku tinggal pergi🎶


Pasuruan, 13 Agustus 2021.