Sunday 18 October 2020

Opini Pribadi Tentang Film Red Shoes and the Seven Dwarfs


Opini Pribadi Tentang Film "Red Shoes and the Seven Dwarfs" 

Film ini menceritakan tentang 7 pangeran yang justru membunuh sang putri karena penampilannya bagaikan penyihir. Ternyata sesungguhnya dia putri peri, yang kemudian mengutuk mereka menjadi kerdil dan hijau, seperti Shrek. Kutukannya bisa menghilang apabila seorang putri cantik yang menciumnya. 

Di tempat yang berbeda, Putri Salju menemukan sebuah pohon ajaib yang berbuah apel, dan apel tersebut bisa berubah menjadi sepasang sepatu ajaib. Saat sang putri memakainya, dia pun berubah menjadi wanita yang langsing dan cantik. Putri Salju melarikan diri dari ibu tirinya, penyihir Regina. Hingga tersesat ke rumah 7 kurcaci. Ketika ditanya, dia pun mengaku bernama Sepatu Merah, dan karena terpesona kecantikannya mereka memutuskan melindungi dan berjanji membantu menemukan ayahnya. Sebenarnya mereka berlomba membuatnya jatuh cinta, dan mencium salah satunya demi mematahkan kutukan. 

Seiring bergulirnya waktu, sang putri ternyata jatuh cinta pada Merlin, dan mereka berciuman, tetapi kutukannya tetap melekat. Merlin kecewa, tapi Sepatu Merah berkata bahwa dia mencintai Merlin apa adanya. Tiba-tiba raksasa jahat menyerang dan demi menyelamatkan Merlin, Sepatu Merah melepaskan sepatunya. Ternyata Merlin tidak bisa menerima Putri Salju, dia meninggalkan begitu saja. 

Waktu Merlin menyadari tentang perasaannya, dan kembali menemui Putri Salju, Regina sudah menangkapnya dan membawa anak tirinya kembali ke kastil, bahkan mengubahnya menjadi pohon ajaib yang berbuah apel dan berubah menjadi sepasang sepatu baru.

Dapatkah Merlin menyelamatkan sang putri? Silakan saksikan sendiri 😊🙏🏻

***  

Seandainya aku seorang ibu, aku rasa nggak akan mengizinkan putra dan putriku nonton film ini sebelum berusia di atas 13 tahun. Karena Pangeran dalam film ini bukan tokoh yang digambarkan sopan dan berwibawa seperti kebanyakan dongeng ala putri.

Merlin dan kawan-kawan digambarkan sebagai sosok yang suka modus. Bersikap baik karena ada maunya. Mengucapkan kata-kata rayuan yang menurut aku terdengar terlalu dewasa untuk didengar anak-anak, yaa.. Walaupun nggak ngomongin adegan panas menjurus porno, tapi tetap saja mengggelikan.

Tapi nggak buruk kok. Cuma mungkin ini bukan dongeng yang layak untuk anak. Mungkin lebih tepat untuk remaja. Karena sesungguhnya di akhir cerita, film ini menyimpan pesan moral yang sangat bagus. Tentang ketulusan, tanpa memandang penampilan fisik seseorang. Juga tentang penerimaan terhadap diri sendiri, bagaimana pun kondisi fisiknya.

Berbeda dengan dongeng Disney yang biasanya menonjolkan kekeluargaan. Seperti misalnya hubungan antara Anna dan Elsa yang begitu hangat dan membuatku terhanyut. Hubungan antara ayah dan anak (si Putri Salju), terkesan biasa aja. Berbeda juga dengan kisah Beauty and the Beast, yang seingatku hubungan antara ayah dan anaknya juga digambarkan dengan indah. Film ini menurutku lebih menonjolkan kisah cinta Merlin dan Putri Salju.

Secara visual, bagus. Gambarnya jernih. Pemandangan alam yang indah. Juga karakter kartun yang enak dilihat. Bahkan walaupun bertubuh gemuk, Putri Salju sesungguhnya tetap terlihat cantik. Begitu pula Merlin saat dalam kondisi dikutuk jadi kerdil. Malah unyu ngegemesin gimana gitu.

Menarik, bagus, tapi aku kurang suka. Mendingan nonton Film Elsa dan Anna dalam Frozen lagi ajalah...

Udah gitu aja. Ntar kalau panjang ada yang protes 😶

______ 

Red Shoes and the Seven Dwarfs merupakan film fantasi animasi komputer Korea Selatan tahun 2019, yang diproduksi oleh Locus Corporation. Ide cerita berdasarkan pada dongeng Jerman oleh Brothers Grimm dan namanya berasal dari dongeng Denmark The Red Shoes

Friday 16 October 2020

Review Film "Perfect World"


Opini Pribadi Tentang Film "Perfect World" 

Sinopsis:

Film Perfect Word bercerita mengenai kisah seorang karyawati bernama Tsugumi Kawana (Hana Sugisaki), dia bekerja di sebuah perusahaan Interior, dan perusahaan tempatnya bekerja mendapatkan sebuah proyek di mana mengharuskan perusahaan tersebut bekerjasama dengan sebuah perusahaan arsitekur.

Ketika para karyawati membaca sebuah majalah tentang profil perusahaan arsitektur, mereka menemukan profil seorang pria tampan yang bernama Itsuki Ayukawa (Takanori Iwata). Mendengar obrolan itu, Tsugumi pun tertarik pada nama pria yang disebutkan, dan mencoba memastikan bahwa pria itu pernah dikenalnya, sehingga dia bergabung dalam pembicaraan. 

Ternyata pria yang diperbincangkan itu adalah seniornya waktu di SMA, lantas para rekan kerjanya menyarankan Tsugumi agar ikut serta dalam rapat dengan perusahaan arsitektur. 

Ketika dia dan rekan kerjanya itu tiba di sebuah restoran makanan Jepang, Tsugumi pun bertemu laki-laki yang dipujanya saat SMA, Itsuki Ayukawa sedang duduk bersender. Itsuki lantas menyapa Tsugumi, dan membuatnya sedikit tersipu.

Masih segar dalam ingatan Tsugumi, Itsuki adalah senior SMA yang juga merupakan cinta pertamanya. Dia masih terbayang jelas akan pertemuan mereka di perpustakaan waktu keduanya masih sama-sama bersekolah. 

Sekarang keduanya pun dipertemukan kembali setelah beberapa tahun berlalu. Sewaktu Tsugumi merasa masih mencintainya, dia sangat terkejut karena keadaan Itsuki sudah tidak seperti dulu lagi. Saat ini Itsuki selalu menggunakan kursi roda untuk mengerjakan berbagai aktivitasnya.

*** 

Secara visual emang nggak secemerlang film My Bossy Girlfriend, film Korea Selatan yang mengangkat tema kisah romantis tentang atlet cantik disabilitas. Wajah para pemainnya nggak seglowing artis Korsel. Dan entah kenapa gambarnya kelihatan kurang jernih, atau mungkin sengaja dibikin gitu biar terkesan klasik dan artistic? Entahlah... 

Tapi dari segi cerita, menurut aku lebih realistis. Mungkin karena seakan lebih mirip dengan budaya di Indonesia. Berbeda dengan Korea Selatan yang mungkin sudah sangat maju dan open minded. Walau menurut Kakak cantik yang merekomendasikan film ini, aslinya yang dialami oleh seseorang yang keadaannya seperti Itsuki itu lebih berat dan banyak tantangannya ketimbang yang digambarkan dalam film ini.

Dari segi akting menurut aku penjiwaannya bagus banget sih. Terkesan sungguh-sungguh. Nggak ada yang janggal. Dan sukses bikin aku terhanyut dalam cerita. Sampai beberapa kali ikutan nangis...

Sayangnya, mungkin karena aku bucin, jadi aku malah lebih fokus membayangkan menjadi Tsugumi.

Bagaimana jika kita pernah sangat mengagumi seseorang, dan tiba-tiba seseorang yang dikagumi itu tak lagi sesempurna dahulu? Masihkah cinta itu bersemi? Dan sanggupkah kita bertahan mendampingi bahkan di masa-masa sulitnya?

Nggak tau kenapa kebanyakan film Jepang, terutama yang ini, kesannya lebih sopan dari pada film-film Korea Selatan, kecuali kalau filmnya yang melenceng ya... Dan aku nggak pernah nonton film Jepang yang melenceng, jadi nggak tau. Terlebih film Korea Selatan yang aku tonton biasanya bukan tema cinta, soalnya aku jarang tertarik romance Korsel sih... 😅 ✌🏻 

Tsugumi berpakaian sopan. Lebih sering pake baju lengan panjang dan rok setumit. Nggak ada adegan panas. Bahkan ciumannya terkesan lembut, bukan yang kasar penuh napsu. Tapi lebih baik diskip aja kalau dinilai kurang pantas buat budaya Indonesia, yang penting kan inti ceritanya.

Saking sopannya, waktu bapaknya Tsugumi memohon Itsuki untuk menjauh dari anaknya dan mengakhiri hubungan keduanya, Beliau bahkan membungkuk dengan hormat pada Itsuki. Makanya kalau aku jadi Itsuki, aku pasti nggak tega juga untuk menolak permintaan si Bapak.

Jadi teringat seorang kakak cantik di Sosmed yang dulu kuliah di Jepang, dia bilang budaya di Jepang memang sopan-sopan. Bahkan dalam pemilihan kata-katanya. Makanya belajar Bahasa Jepang itu ternyata nggak semudah yang aku bayangkan.

***

Menarik, bagus, dan suka banget. Diborong semua sama film ini. Recommend. Dan, aku masih pengen nonton lagi... Tapi... Udah terlanjur kuhapus dan masih banyak daftar film lain yang harus ditonton 😅

Film ini udah lama nonton, tapi baru berani review sekarang karena waktu awal-awal selesai nonton aku tuh baper sangat. Jadi takut hasil reviewnya malah kebanyakan curhat soal cinta-cintaan pribadi ... 🤣🤣🤣

Intinya: "Cinta tetaplah cinta, bagaimana pun kondisi dia yang kita cintai ..."

Wednesday 14 October 2020

Opini Pribadi Tentang Film "Ananta"

Opini Pribadi Tentang Film "Ananta" 

Dibuka dengan adegan demi adegan yang berbeda dari versi novel, membuat aku tertarik untuk mengikuti cerita dan menebak-nebak endingnya. 

Peringatan: Banyak Spoiler! 🙅🏻

Film ini berkisah mengenai Tania yang antisosial dan suka mengkhayal, dia biasa menuangkan hasil imajinasinya dalam sebuah gambar yang dibuat sembarangan. Bukan hanya di kertas-kertas asal-asalan, dia bahkan mengambar di tembok saat ibunya dipanggil ke ruang kepala sekolah. Tania juga jutek banget dan bersikap semaunya sendiri, sampai membuat seluruh siswa di sekolah takut berinteraksi dengannya. 

Sifat antisosial Tania juga berlaku di rumah. Dia tinggal sendiri di paviliun samping rumahnya, dan selalu menghabiskan waktu untuk menuangkan imajinasi lewat lukisan di sana. Sehingga ibu dan dua kakaknya sering kesulitan memahami sifat Tania. Diceritakan bahwa satu-satunya sosok yang mampu memahami hobi Tania dalam melukis hanyalah ayahnya, yang sudah almarhum. Dia juga hanya berinteraksi dengan Bi Eha yang selalu melayani segala kebutuhan, termasuk memasak nasi kerak, satu-satunya makanan favoritnya.

Hingga tiba-tiba hadir sosok siswa baru di sekolah Tania, bernama Ananta Prahadi. Laki-laki yang memiliki nama panggilan Anta ini, mengaku berasal dari Subang dan bersikap tampak lugu di hadapan semua orang. Anta akhirnya duduk sebangku dengan Tania. Sifat Anta yang norak dan sok akrab membuatnya kesal, apalagi saat si anak baru tersebut berani memanggilnya dengan sebutan Teteh Tatan. Tapi tiba-tiba dia mengajak Tania makan nasi kerak, sehingga gadis itu mulai bersikap baik. Perlahan-lahan dengan kesabaran dan kesungguhan Anta, akhirnya Tania luluh juga. Sehingga keduanya pun menjalin kerja sama. Tania melukis, sedangkan Anta mengumpulkan, merawat, dan memasarkan berbagai hasil lukisan Tania kepada publik. 

Di saat semuanya baik-baik saja, tiba-tiba Anta menghilang 
Sekembalinya dari kepergian dia justru memperkenalkan sesosok laki-laki yang nyaris sempurna bernama Pierre, pria tampan blasteran Prancis yang tinggal di Yogyakarta. Anta pun perlahan-lahan berusaha menjauh dari kehidupan Tania dan menyisakan tanda tanya besar. 

***

Ada banyak perbedaan dengan novel, tapi menurutku malah lebih realistis. 

Di novel diceritakan bahwa Tania anak tengah, tapi di film dia merupakan anak terakhir. Menurut pengamatan aku, anak tengah itu biasanya justru yang paling ramah dan pandai bersosialisasi dengan berbagai kalangan. Maklum saja, dia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan kakak dan adiknya. Jadi menurut pengamatanku jarang banget ada anak tengah yang berkelakuan seaneh Tania dalam versi novel. Dengan catatan, itu di sekitarku saja. Mungkin di sekitar si penulis bisa jadi berbeda. 

Sedangkan kalau anak terakhir, emang kadang gitu sih. Banyak yang merasa terasing, karena jarak usia dengan orang tuanya jauh banget, jadi merasa saling kesulitan untuk memahami. Cenderung bersikap semaunya sendiri karena kakaknya banyak dituntut mengalah dan melindungi. Ini emang nggak berlaku untuk semua, tapi kebanyakan. Ini juga hanya berdasarkan hasil pengamatan di sekitar aku. Siapa tahu, di sekitar penulis keadaannya berbeda... 

Di novel diceritakan bahwa ayahnya masih hidup, dan Tania berubah sejak kepergian kakak pertamanya karena kuliah di luar negeri, satu-satunya sosok yang bisa mengendalikan sikap buruk Tania. Tapi di film ditunjukkan bahwa hanya sang ayah yang mampu memahami Tania, dan beliau telah wafat. Menurut aku sih, sosok ayah lebih meyakinkan untuk berpengaruh dalam hidup seseorang dari pada kakak, kecuali kalau ada alasan yang sangat kuat mendasarinya, yang sayangnya di novel tidak digambarkan dengan sangat baik dan meyakinkanku. 

Sosok Pierre yang di novel digambarkan sebagai pria yang tinggal di luar negeri. Sedangkan di film tinggal di Yogyakarta. Setidaknya kalau tinggal di Yogyakarta, aku bisa maklum kenapa dia punya kesabaran seluas angkasa dalam menghadapi sifat Tania. Soalnya laki-laki Yogyakarta kebanyakan sabar-sabar euy. Bukan mau rasis atau gimana sih. Tapi faktanya emang banyak laki-laki Yogyakarta yang menurut aku sabar-sabar. Bahkan walaupun bukan berasal dari daerah setempat, kalau udah tinggal di sana biasanya sabar. Mungkin pengaruh lingkungan. Entah... Tapi nggak semua orang pastinya. Bisa jadi hanya karena aku yang belum kenalan sama yang tipe laki-laki senggol bacok 😅

Lewat novel dan film ini, aku akhirnya mengerti kenapa tokoh utama sebuah sinetron selalu digambarkan sebagai sosok yang sangat baik dan lemah tak berdaya. Yaitu biar orang-orang pada simpati, sehingga ikut merasakan duka saat si tokoh utama menderita. Ya, karena saat menikmati novel dan film dengan karakter yang seenaknya sendiri kayak si Tania gini, rasa simpati itu nggak kerasa. 

Atau mungkin karena aku yang kurang peka? Soalnya banyak yang bilang mereka nangis dan sedih saat nonton ini. 

Dan, ternyata endingnya... Eh, nggak boleh banyak spoiler 🤣🤣🤣

Mungkin, kalau film atau novelnya diambil dari sudut pandang Ananta Prahadi, pendapatku bakal lain. Banyak cewek-cewek yang mengaku baper karena kesungguhan Anta memahami Tania. Kalau boleh jujur, aku juga sedikit baper versi filmnya, hanya di saat-saat pertama kali Anta berusaha mendekati Tania. Waktu Anta langsung cerita sendiri walaupun Tania nggak nanya, itu emang sweet banget... 

Setidaknya film ini dihiasi oleh pemain-pemain bintang papan atas, baik yang sekarang sedang naik daun, atau yang dulu pernah populer di jamannya. Jadi selain bisa melepas rindu dengan artis idola, secara akting juga nggak mengecewakan dan sangat bisa dinikmati. 

Film "Ananta" dibintangi oleh Michelle Ziudith yang selama ini sudah sering nongol di berbagai film melodrama romantis, yang menurut aku ala-ala FTV. Di sini dia berperan sebagai Tania. Kemudian Ananta Prahadi diperankan oleh Fero Walandouw, yang katanya sih sering nongol di film-film horor Indonesia. Sedangkan Pierre diperankan oleh Nino Fernandez, yang pernah membintangi film "Wa'alaikumsallam Paris".

Ditambah dengan kehadiran artis Nova Eliza yang berperan sebagai ibunya, Roy Sungkono kakak pertama, dan Jihane Almira sebagai kakak kedua. Anjasmara, sebagai sang ayah. Ada juga Asri Welas, sebagai Bi Eha. Bahkan ibu gurunya adalah Astrid Tiar. 

Lokasi syuting yang katanya di Puncak, juga setidaknya menghasilkan gambar yang indah dan memanjakan mata. Lumayan buat hiburan.

Jadi, bagus filmnya. Menarik. Tapi aku kurang suka. Aku benci endingnya, dan ada satu adegan yang membuatku merasa seperti nonton film thriller. Soalnya aku takut banget sama darah. Bikin ngilu... 🙈

Monday 12 October 2020

Review Novel Ananta Prahadi

Opini Pribadi Tentang Novel "Ananta Prahadi"

Sahabatku pernah merekomendasikan sebuah film, judulnya "Ananta". Seingatku waktu itu aku sedang patah hati, jadi aku mengabaikannya. Aku sedang menghindari drama romantis di saat-saat seperti itu.

Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian, bahkan mungkin hampir setahun berlalu, seorang adik mengatakan bahwa ada versi novelnya, dan yang mengejutkan bagiku adalah karena ditulis oleh Risa Sarasvati. Yup, penulis yang sangat terkenal dengan novel-novel horror. Sebut saja "Asih", "Danur", "Peter", dan lain sebagainya.

Sebenarnya aku udah lama kenal, karena adik sepupuku punya beberapa koleksi. Tapi aku nggak berani baca. Entahlah... Padahal di rumah sendirian berani, diajakin nonton horor juga nggak teriak atau langsung meluk orang di sampingnya. Nggak jelas emang. Pokoknya takut aja 😅

Back to novel.

Sejujurnya, aku kurang suka dengan tulisannya yang terkesan kurang rapi. Seperti huruf hidup yang pemakaiannya berlebihan, jadi kayak chatting dengan anak alay. Walaupun katanya sih, itu strategi biar chattingnya nggak berasa jutek.

Contohnya: "Iyaaa"

Juga tentang penggunaan 3 tanda seru. Padahal, seingatku menurut teori menulis yang pernah aku dapatkan dari berbagai kelas kepenulisan di Facebook dan Whatsapp, pakai 1 aja cukup. Nggak usah banyak-banyak. Mubadzir...

Contohnya: "Tania, bangun!!!"

Pantesan adik sepupuku selalu bilang, "Asal ceritamu bagus, teori menulis itu nggak terlalu penting."

Mungkin karena bacaannya Risa Sarasvati semua. Sehingga aku mulai curiga, jangan-jangan semua buku Risa seperti ini penulisannya...

Yaudah, nggak masalah... Setiap orang itu berbeda dan punya keunikan masing-masing, termasuk tentang penulis. Tapi secara pribadi aku lebih suka yang tulisannya rapi dan nggak bikin sakit mata.

Terus, kenapa diteruskan kalau nggak nyaman sama tulisannya? Karena aku penasaran dengan alasan sahabatku suka sama novel ini.

Setidaknya novel ini jalan ceritanya unik, walaupun di pertengahan aku sudah bisa menebak bagaimana endingnya, dan sudah pasti hasilnya benar. Karakter tokohnya juga nggak biasa.

Jadi nggak semembosankan Drama Korea berjudul "Unforgettable", yang juga aku paksa-paksa diri sendiri buat nonton karena direkomendasikan oleh sahabatku.

Di Goodreads banyak yang bilang kalau novel ini bikin nangis, sedih, feelnya dapat banget. Tapi entah kenapa aku merasa biasa aja.

Bahkan menurut aku terkesan nggak realistis. Di bagian Pierre. Laki-laki baik, tampan khas pria Eropa, dan memiliki kesabaran seluas angkasa. Dengan sikap Tania yang seaneh itu, aku merasa janggal dia bisa mendapatkan laki-laki sedemikian sempurna.

Ya, memang sih di dunia nyata banyak wanita emosional yang kemudian dicintai oleh laki-laki sabar dan pengertian. Tapi biasanya laki-lakinya pasti punya kekurangan... Misalnya saja kurang ganteng, nggak kaya, kurang cerdas, dan lain sebagainya.

Menurutku malah lebih masuk akal kalau endingnya nggak seperti itu. Dan, seharusnya ada sedikit saja kekurangan Pierre, biar terkesan lebih nyata.

Suka, menarik, atau bagus? Menarik. Tapi kurang suka, dan menurutku kurang bagus.

Aku juga nggak suka endingnya. Klise. Kenapa sih seseorang yang punya penyakit, selalu menghindari orang yang dicintainya? Kenapa nggak sesekali ada cerita di mana si sakit berusaha untuk mengukir kenangan indah bersama-sama.

Ya, mungkin karena aku terlalu terpengaruh oleh Anime "Your Lie in April" dan "I Want to Eat Your Pancreas". Masalah selera aja sih. Selera orang kan beda-beda dan bukan berarti yang kita nggak suka itu buruk ...



Tuesday 6 October 2020

Tukang Review: Film "Terlalu Tampan



Sinopsis film:

Film ini berkisah mengenai cowok yang punya muka  ganteng, ala-ala cowok Korea gitulah, maksudnya manis-manis gimana gitu. Buat yang suka cowok-cowok Korea, kayaknya bakalan suka deh sama Mas Kulin. Soalnya aku nggak tahu, kan aku biasa aja liat cowok Korea. 

Cowok ini namanya Witing Tresno Jalaran Soko Kulino atau Mas Kulin (Ari Irham). Diceritakan bahwa, ketampanan Mas Kulin adalah warisan dari keluarganya. Ayahnya adalah mantan seorang playboy, yang lantas  insyaf dan serius menjalankan komitmen untuk berumah tangga. 

Karena kegantengannya yang di luar nalar, Mas Kulin memilih untuk Homeschooling dan ngobrol sama ikan kesayangan. Sepanjang hari berada di rumah terus, demi  memperoleh kenyamanan dalam hidupnya. Soalnya dia keluar sebentar aja, sekampung langsung heboh luar biasa. 

Mas Kulin sesungguhnya santuy aja cuy menghadapi  kehidupannya yang nggak normal ini, tapi beda pemikiran dengan seluruh anggota rumahnya. Pak Archewe (Marcelino Lefrandt), Bu Suk (Iis Dahlia), dan kakaknya, Mas Okis (Tarra Budiman) mencemaskan masa depannya, terutama tentang kemampuannya bersosialisasi. 

Jadi keluarga pun bikin akal-akalan biar Mas Kulin mau bersekolah di luar rumah. Karena terpaksa, Mas Kulin akhirnya bersekolah di SMA khusus pria yakni SMA Horridson. Dari sinilah masalah demi masalah yang selama ini ditakutkan Mas Kulin akhirnya menjadi kenyataan. 

Menurut aku sih lebay banget, tapi lucu.  Masa ketampanannya sampai tercium hingga beberapa meter, bahkan yang lebih nggak masuk akal, kecipratan keringatnya aja bisa ketularan  ganteng.

Gara-gara melihat wajah ganteng Mas Kulin satu sekolahan jadi heboh luar biasa. Bahkan seorang guru perempuan sampai pingsan setelah melihatnya. 

Hingga ketampanan Mas Kulin dimanfaatkan ketua geng SMA  untuk mengemban misi menyampaikan sebuah pesan kepada pemimpin geng siswi-siswi di BBM (sekolah khusus perempuan), tapi di sana dia justru membuat seluruh siswi sekolah menjadi histeris, mimisan, bahkan pingsan. Termasuk sang ketua geng sekolah perempuan, sekaligus primadona di sekolah perempuan itu, Amanda (Nikita Willy). 

Di sisi lain, ternyata tidak semua orang melihatnya hanya dari fisik semata. Dia akhirnya berhasil mendapatkan seorang  sahabat yang tulus, setia, dan selalu melindunginya, yaitu Kibo (Calvin Jeremy). 

Dan, cewek bernama Rere (Rachel Amanda), yang sama sekali nggak terpesona sama kegantengannya. Padahal dia justru jatuh cinta sama cewek itu.

***

Opini Pribadi Tentang Film: 

Jujur, awalnya aku mikir ini cukup jadi hiburan aja. Tapi ternyata ini berhasil bikin aku suka banget sama jalan ceritanya. Ini beda dari kebanyakan film remaja Indonesia yang pernah aku tonton.

Tapi sayangnya akting Ari Irham terkesan kaku banget. Atau entah emang karakternya sengaja dibikin gitu? Duh, aku nggak pandai menilai akting seseorang sih, tapi aku nggak suka gaya aktingnya. Lebih buruk dari pada waktu Iqbal jadi Dilan di edisi pertamanya.

Btw, ini katanya dari Webtoon, dan aku nggak bisa membandingkan karena aku malas download aplikasi Webtoon. Dulu sih karena alasan berat di hapeku yang masih ketinggalan zaman. Tapi sekarang sih, males aja.

Tapi, film ini menurutku bagus secara visual. Seakan membawa penonton masuk ke dalam sebuah dunia yang berbeda.

Walaupun banyak yang nggak masuk akal dari kisah ini, dan terkesan hiperbola banget, tapi nggak tau kenapa asik-asik aja ditonton. Lucu. 

Dan, karakter yang aku suka banget justru si Rere. Mungkin karena diperankan oleh Rachel Amanda yang dari kecil udah wara-wiri di beberapa sinetron popular. Aktingnya tuh meyakinkan banget. Seolah-olah itu benar-benar dia. Dia tuh unik. Cantik alami, punya selera yang berbeda, dan berkepribadian ceria. 

Dan, yang bikin aku tambah ngefans, dia nggak menilai cowok dari gantengnya aja. Dia cuma lihat ke arah cowok yang dia sayang, tanpa peduli kalo di dekatnya ada cowok ganteng yang diidolakan seluruh penjuru dunia. 

Banyak pesan yang bagus dari film ini, sayangnya aku lupa mencatat. Terlanjur terhanyut dan menikmati kisahnya.

***

Bagus, menarik, atau suka?

Suka dan menarik. Sayangnya kurang bagus, gara-gara akting Ari Irham. Tapi menurut aku aja sih. Mungkin pendapat orang lain, berbeda...

Dan, endingnya kenapa jadi sesederhana itu? Padahal bicara soal tampan, privilege yang didapatkan rakyat good looking itu kan bukan hanya sekedar untuk mendapatkan pasangan. Banyak tema yang juga nggak kalah menarik. Misalnya, kenapa "Tukang Tahu Tampan", "Tukang Ojek Ganteng", langsung viral, sementara yang biasa aja, seolah-olah nggak dianggap? 

Misalnya, kenapa artis tampan kalau kena kasus banyak yang dukung, sedangkan kalau publik figure yang nggak ganteng dibully? Si Andika dan Ariel misalnya. Sama-sama anak band, sama-sama playboy. Tapi yang satu tetap dipuja, yang satunya dibully mulu.

Banyaklah pokoknya.

Tapi ya udah... Mungkin karena segmentasi remaja, kisah-kisah sederhana aja yang diangkat. Ya, setidaknya lumayan buat hiburan.