Saturday 30 July 2016

Saling Mengerti Tanpa Harus Memiliki

Riany mengerling genit, lalu meninggalkan gadis manis yang telah dianggapnya adik sendiri itu di depan pintu indekos. Kini gadis bernama Amel itu hanya berjarak kurang dari semeter dengan pria tinggi gagah yang akan ditemuinya sore ini, Satrio. Laptop di pangkuannya terus mengoceh tiada henti, sebab dia menggunakan aplikasi pembaca layar. Dia penyandang difabel juga seperti Amel. Bedanya, Amel penyandang Cerebral Palsy, sedangkan dia penyandang tunanetra. Alasan kuat Riany bersikeras menjodohkan mereka, agar bisa saling melengkapi satu sama lain. Sama seperti Rainy dan kekasihnya. Sebab kekasihnya juga seorang penyandang tunanetra, sementara dia sendiri penyandang polio di kaki sebelah kiri.

"Mas," panggilnya, takut-takut.

Satrio berusaha menoleh ke arah sumber suara, "Iya .... Siapa ya?"

"Amel Mas. Masih ingat?"

"Ooh ..., yang kemarin bertemu di pertemuan anggota komunitas difabel?"

Mendengar Amel mengiyakan, Satrio buru-buru meletakkan laptopnya di meja yang terletak di samping ranjang yang didudukinya. Lalu berjalan mendekati gadis berkulit kuning langsat itu. Amel dibuat takjub, melihat Satrio menghampirinya tanpa bantuan tongkat.

 “Ada yang bisa saya bantu Mel?” tanyanya, saat telah duduk di atas bangku semen, di dekat Amel yang sedang duduk manis di atas kursi rodamya.

“Hmm .... Ini Mas, aku kan mau bikin novel, aku butuh bantuan untuk riset.” Amel kemudian menceritakan dengan detail konsep novel yang ingin ditulisnya. Amel tak menyangka Satrio ternyata begitu antusias mendengarkannya. Lalu entah siapa yang memulai, perbincangan pun mengalir ke mana-mana, hingga keluar dari jalur awalnya.

“Goodjob Riany!” Dari kejauhan Riany tersenyum senang menyaksikan mereka. Sebenarnya, sudah sejak lama Riany berusaha mencarikan jodoh untuk Amel. Tetapi  entah mengapa gadis bertubuh mungil itu selalu melontarkan banyak sekali alasan. Mulai dari masih ingin bebas, belum siap berumah tangga, masih ingin kuliah, mengejar cita-cita, dan beragam alasan semacamnya. Hingga suatu ketika, dari sekian banyak pria yang pernah dikenalkannya pada Amel, hanya pesona Satrio yang mampu meluluhkan keras hatinya.

***

“Mas, hari ini kita ngobrolnya di pinggir danau aja yuk!” ajak Amel. Kebetulan indekos satrio dekat dengan  danau.  Ini sudah keempat kalinya Amel mendekati Satrio tanpa minta antar Riany lagi. Dia datang menaiki mobil pribadi, bersama sang sopir yang selalu setia mengantar kemanapun dia mau. 

“Waduh, saya jarang ke sana, nggak hapal jalannya Mel. Nanti kalau nyemplung bagaimana? Hehe ....”

Amel menarik nafas dan mengembuskanya perlahan. Dia teringat saran dari penyiar favoritnya tadi malam dalam sebuah acara curhat radio. “pria cuek itu butuh didekati duluan. Lewat responnya nanti baru ketahuan bagaimana perasaannya. Kalau kamu tetap cuek, yah dianya bakalan cuekin kamu teruslah.”

Amel memberanikan diri untuk mencoba saran itu. “Kan ada aku Mas. Nanti kita saling bantu, Mas yang dorongin kursi roda, aku yang jadi penunjuk jalan. Hmm ... so sweet dibayanginnya.” Amel memejamkan mata. Takut sendiri pada bayangan akan respon Satrio nanti.

“Wah, ide bagus itu Mel.” Hatinya mencelos. Antara terkejut dan bahagia bercampur jadi satu. Tanpa menunggu lama Satrio langsung mengambil posisi di bagian belakang kusi roda amel, memegang pegangan di bagian belakang, dan menjalankannya pelan. Amel jadi agak salah tingkah dibuatnya. Belum pernah amel seagresif ini pada seorang pria, bahkan saat didekati duluan pun amel sering berusaha menghindar.

Sesampainya di pinggir danau, Satrio duduk di atas rerumputan. Amel bilang dia ingin turun juga. Satrio pun menyuruh Amel melompat turun dari kursi rodanya dan berjanji akan menangkap tubuhnya. Amel terjatuh tepat dalam pelukan Satrio. Bukanya merasa risih seperti yang sering dirasakannya bila tak sengaja tersentuh atau terpaksa bersentuhan dengan seorang pria, kini Amel justru merasa sangat nyaman..

***

“Tenang Ma, Satrio sama dia cuma berteman.” Seketika Amel menghentikan laju kursi rodanya ketika mendengar Satrio sedang berbicara dengan seseorang di telepon, dari dalam kamar. “Iya, apa yang adik lihat di danau itu memang Satrio. Iya ... sama Amel. Dan cuma teman Ma. Tak ada perasaan apa-apa sama dia.”

Amel memilih diam, menunggu hingga pembicaraan itu diakhiri. Dan berencana baru akan mengetuk pintu yang setengah terbuka ini sekitar lima belas menit kemudian, lalu berpura-pura baru datang.

Sejujurnya Amel agak kecewa, karena Satrio tak berniat memperjuangkannya. Wanita mana coba yang tak ingin diperjuangkan? Namun, Amel harus tahu diri jika dia memang bukan wanita yang dicintai Satrio.

“Maafkan saya Mel.”

“Maaf untuk apa?”

“Jangan pura-pura Mel. Saya tahu kamu tanpa sengaja sudah mendengar pembicaraan saya dan Mama. Saya hapal aroma parfummu. Saya tahu kamu sudah berada di teras ini sejak tadi. Maafkan saya yang tak bisa membelamu di depan Mama saya.”

“Kenapa aku harus dibela? Bukankah memang selama ini kita hanya berteman?”

“Hehe .... iya ya. Saya saja yang kegeeran berarti.”

“Tidak juga. Sebenarnya aku memang berniat mendekatimu, Mas. Belajar jadi adik yang baik mengikuti saran Kak Riany. Tapi jika kita hanya bisa saling cocok tanpa bisa saling cinta mau bagaimana lagi? Perasaan kan memang tek bisa dipaksakan ....” Amel memberanikan diri menggenggam tangan Satrio. “Ternyata Kak Riany benar Mas Satrio adalah  pria yang baik. Aku doakan semoga suatu saat nanti menemukan jodoh yang baik juga.”

Tiba-tiba terdengar sebuah lagu yang mengalun merdu dari kamar sebelah. Tanpa Satrio tahu, diam-diam Amel menghapus sebutir air mata yang jatuh membasahi pipinya.

Kuterpikat pada tuturmu
Aku tersihir jiwamu
Terkagum pada pandangmu
Caramu melihat dunia

Kuharap kau tahu bahwa
Terinspirasi hatimu
Ku tak harus memilikimu
Tapi bolehkah kuselalu di dekatmu
(Raisa-Jatuh Hati)

TAMAT

Serakah



Aku bahagia melihat foto berhias senyumanmu
Tetapi aku tak cukup puas dengan itu
Ingin kelak dapat menyaksikannya langsung di hadapanku

Aku yakin melangkah sewaktu kau memotivasiku
Aku berterima kasih atas kebaikan itu
Tetapi ingin kelak kau dampingi langkahku

Aku tenang ketika kau berkata semua masalah ada solusinya
Namun aku kurang puas menerimanya
Aku masih berharap halal merasakan genggaman tanganmu melewati semuanya

Maafkan aku
Dengan segala keserakahanku
Untuk memilikimu ........

Wednesday 13 July 2016

Pinanglah Dia dengan Lantunan Ar-Rahman

Baru sekali kami bersua
itu pun hanya sekejap saja
tetapi sosoknya langsung terkenang dalam jiwa

Dia anggun bersahaja
ramah dan ceria sikapnya
serta cerdas ilmu dunia dan agama

Pantas menurut kabar yang berhembus sampai telinga
tak sedikit pria yang terpikat oleh pesonanya
dari mulai ajudan sang raja
pria bersahaja dari daerah istimewa
hingga pangeran hemat kalimat idaman para wanita

Namun dia memilih mengunci rapat pintu hatinya
menunggu pria yang bersungguh-sungguh meminangnya

Bukan sekotak coklat yang dia inginkan
bukan sebongkah berlian yang berkilaun
bukan pula rembulan di langit malam

Cukup lantunan surat Ar-Rahman
berbalut kasih tulus nan suci
bernaung dalam ridho Sang Illahi Rabbi ....