Sepasang bola mataku menatap lurus ke arah jendela yang sedang terbuka,
tetapi pikiran ini jauh melayang. Aku terbiasa menikmati suasana sore menjelang
senja dengan duduk di atas kursi rodaku dan mendekatkannya pada jendela.
“Hey! Melamunkan siapa sih?” tiba-tiba Arni datang dan mengagetkanku. Gadis
berkulit kuning langsat dan berambut sebahu itu merupakan tetangga sekaligus
sahabatku sejak kecil.
“Tidak kok.” aku berdusta. Tentu saja yang sesungguhnya aku sedang
memikirkan Mas Wiraditya, seorang calon dokter hewan yang baru beberapa minggu
lalu Arni perkenalkan padaku. Arni mengenalnya karena mereka tergabung dalam
salah satu komunitas di Surabaya. Komunitas pecinta musik jazz yang awalnya
terbentuk dari social media. Mereka sama-sama berasal dari kota santri ini,
Pasuruan. Itu sebabnya mereka akrab, walau tujuan mereka ke kota pahlawan itu
berbeda. Arni bekerja, sedang Mas Wiraditya kuliah.
Ingatanku kembali melayang pada sore itu. arni tiba-tiba datang bersamanya.
Katanya, pria itu mengagumi cerpen-cerpen yang aku tulis dengan tangan dan
kuberikan pada sahabatku sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke dua puluh. Buku berisi
kumpulan cerpen yang dibawa Arni tertinggal di sebuah meja cafe. Mas Wiraditya yang
bertugas membayar pesanan ke kasir harus pulang paling akhir. Dia kemudian
menemukan buku itu tergeletak. Dia membawa pulang ke kost dan semalaman
mengagumi karya itu. Setelah perkenalan itu Mas Wiraditya mengenalkanku pada
pamannya, pemilik sebuah penerbitan indie. Kumpulan cerpenku akhirnya
dibukukan.
Meski hanya lulusan SMA, Arni punya hobi membaca. Sehingga mereka selalu
punya topik untuk dibicarakan kala bertemu, dan aku selalu merasa tersisih
dengan sendirinya ketika kami bertiga sedang bersama.
Jelas saja aku mengagumi pria tinggi dan gagah itu. Dia baik, cerdas dan
keren. Dia bahkan tak hanya bersuara bagus, tapi pintar menciptakan lagu
romantis.
“Pasti melamunkan Mas Wiraditya, kan?”
“Yee, enak saja! Memangnya kamu?” lagi-lagi aku berusaha menjodohkan
mereka.
“Jiah! Lagi-lagi. Kenapa sih kamu selalu berusaha menjodohkanku dengannya?”
Tentu saja karena aku berpikir kau lebih pantas bersanding dengannya, ketimbang
diriku. Aku hanyalah gadis yang tak sempurna karena mengalami Cerebral Palsy.
“Karena kalian terlihat sangat cocok. Punya hobi yang sama, dan nyambung
membicarakan banyak hal.”
“Hahaha! Alasan yang konyol. Terlalu klise.”
“Tapi itu kenyataan. Saat jalan bertiga kalian selalu membicarakan bahkan
memperdebatkan hal-hal yang tak kumengerti.”
“Kemudian kamu memilih memisah dari kami dan pura-pura sibuk sendiri? Kamu
tahu, di saat seperti itu dia selalu curi-curi kesempatan untuk memandangimu?”
“Aku tidak yakin. Mana mungkin dia bakal suka sama cewek yang tidak pernah
sekolah dan tak secerdas dia?” Tak jarang di tengah sunyinya malam aku
menyesalkan keputusan kedua orangtua yang tak menyekolahkanku dengan alasan
kondisiku ini.
“Pokoknya, Kamu harus tanya sendiri sama Mas Wiraditya sekarang. Titik!”
Arni sepertinya mulai kehilangan kesabaran untuk berdebat. Dengan cepat dia
mendorong kursi roda yang sedari tadi kududukki agar berjalan sekehendaknya.
“Ni, kita mau kemana sih?”
“Ke rumah Mas Wiraditya.” Aku mencoba memberontak usai mendengarnya, tetapi
tenaga ini kalah kuat dengannya. Begitulah Arni, kalau sudah bulat
keputusannya, tak ada yang dapat mengganggu serta menggugat.
“Kalian ini kenapa?” tanya Kakak, yang tadi sedang asik menonton TV,
tiba-tiba menoleh ke arah kami yang sedang melewatinya. Arni mendekati, lalu
berbisik di telinganya. Tak lama kemudian mereka bersekongkol memasukkanku ke
dalam mobil yang selanjutnya dikemudikan oleh Kakak. Sudah kuduga Kakak yang
telah lama diam-diam menaruh hati pada Arni pasti akan menuruti apapun maunya.
***
“Kita kesini nganterin Qaila. Katanya, dia mau ngomong sesuatu,” kata Arni,
tak lama setelah Mas Wiraditya mempersilakan kami bertiga duduk di ruang tamu.
Kakak lalu menggandeng tangan Arni, mengajaknya ke luar. Rasa canggung,
bingung, dan malu, campur aduk menjadi satu, membuat kedua mataku nggak berani
menatapnya yang saat ini duduk di hadapanku.
“La, sebenarnya…, kamu mau ngomong apa?” tanyanya, setelah sekian lama kami
saling diam. Dia mendekat, membuat jantung ini berdetak semakin cepat. Lalu
duduk di sampingku.
“La…,” panggilnya, terdengar sangat lembut. Aduh, harus jawab apa? Harus
bilang sesuatu! Apapun itu, yang jelas nggak bakal berkata seperti yang Arni
suruh. Karena aku nggak mau mempermalukan diri, dengan menyatakan cinta
terlebih dahulu.
“Mmm… Aku mau minta dibuatin lagu. Bisa kan, Mas?” aku memberanikan diri
mengangkat kepala, kemudian menatapnya sambil tersenyum.
“Lagu?” Dia menatapku dalam-dalam.
“Iya. Sebuah lagu yang sesuai suasana hatiku, mungkin. Pokoknya tentang
akulah,” jawabku, asal. Dia terdiam, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
Kemudian senyumnya mengembang. Memunculkan tanda tanya di benakku.
“Aku udah punya…, tapi… Ah, kurasa lebih baik kamu dengar sendiri aja. Biar
tahu lagu itu tentang apa. Bentar ya?” Dia pergi meninggalkanku sendiri,
memasuki ruangan lain dari rumahnya. Lalu datang sembari membawa gitar, dan
saat di sampingku dia memainkannya untukku.
_
Tak sadarkah engkau
Tak tahukah engkau
Aku selalu perhatikanmu
Karena kau mentari di hatiku
Karena kau pelangi di jiwaku
Aku mencintaimu apa adanya
Di mataku kaulah yang paling sempurna
Oh… Oh… Qaila
Di mataku kaulah yang paling sempurna
Oh… Oh… Qaila
Dia mengalunkan lagu itu penuh penghayatan, sembari selalu tersenyum dan
menatapku penuh arti. Aku membalas senyumannya. Rasa bahagia menyelimuti hati
ini. Nggak disangka dia bisa seromantis ini padaku.
“Sebenarnya, aku udah lama nyiptain lagu ini. Tapi aku nggak berani
menyanyikannya untukmu,” ucapnya, setelah berhenti menyanyi dan memetik gitar.
Sedang aku, saat ini sibuk mengusap air mata yang berjatuhan karena terharu.
“Lalu, pas kamu bilang minta lagu. Aku berusaha memberanikan diri menyanyikannya
untukmu.”
“Ciye…” Huh! Kakak dan Arni tiba-tiba datang, dan merusak suasana yang
tadinya begitu romantis.
Tamat