Thursday 17 December 2015

Menanti Dalam Diam

Hari minggu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Zia, hari di mana dia bisa bebas menghabiskan waktu bersantai di rumah. Tidak seperti hari-hari biasa di mana dia harus disibukkan dengan tugas-tugas kuliah. Tiba-tiba kebahagiaannya  menyaksikan televisi di minggu pagi yang cerah ini harus terusik dengan perintah sang ibu.

"Zia, tolong belikan ibu bawang sama cabai di warung Mbak Nur," perintahnya, sambil mengulurkan dua lembar lima ribuan. Sebagai anak yang patuh zia pun terpaksa menuruti. Buru-buru dia masuk kamar, lalu menggeledah lemari, mencari baju untuk keluar. Entah mengapa pilihannya jatuh pada atasan lengan panjang, rok panjang, dan kerudung berwarna merah muda.

Dia bercermin sejenak, sebelum kemudian merasa mantap untuk keluar rumah. Sesampainya di warung Mbak Nur dia mendapati ibu-ibu berkerumun. Sebagian besar memegang dan memilih-milih apa yang akan dibeli sembari ngerumpi.

"Eh, tahu nggak Mbak, saudara sepupu kakek suamiku itu pensiunan walikota lho! mobilnya mewah, rumahnya megah ...," ujar seorang ibu sambil memilah sayur yang akan dibelinya.

"Kakeknya suamiku malah pensiunan gubernur," sahut ibu yang sedang menjumput bawang dan memasukkannya dalam kantong plastik.

Gara-gara obrolan tidak penting itu para ibu-ibu jadi lama sekali merubungi amben tempat Mbak Nur menggelar dagangan. membuat Zia yang baru saja datang harus rela menunggu sambil berdiri. Semenit, dua menit, hingga tiga menit berlalu ibu-ibu itu malah semakin heboh.

"Kakek saya lebih hebat lagi," dengan santainya Zia mulai buka suara, "sampai sekarang beliau masih berprofesi sebagai coverboy."

Semua terhenyak. "Ah, yang benar saja!"

"Beneran lho Bu. Kakekku dari pihak ayah itu sekarang jadi coverboy buku yasin," lanjut Zia, kemudian tertawa cekikikan. Semua ibu yang berada di sini memandangnya tak suka. Reaksi yang berbeda dengan yang diberikan teman-temannya di kampus kemarin saat dia melontarkan lelucon yang terinspirasi dari cerita-cerita lucu yang beredar di internet. Saat itu beberapa teman-temannya sedang saling membanggakan profesi dari pacarnya, atau orang tua pacarnya. Mungkin, selera humor anak muda dan ibu-ibu memang berbeda, bathinnya.

Akhirnya Zia cuma bisa cengar-cengir dan bilang, "Maaf, saya becanda."

"Pintar sekali kamu nduk. Apapun profesinya pada akhirnya semua manusia akan dipanggil yang kuasa. jabatan hanya sementara, untuk apa dibangga-banggakan sedemikian rupa." Terdengar suara yang tak asing lagi di telinga. Semua ibu tertunduk malu. Zia pun juga tertunduk, namun bukan malu melainkan bentuk sikap hormat pada beliau.

"Kamu lucu. Masih seperti  waktu kita kecil dulu," ucap pemuda yang melintas di depan Zia. Angin sejuk seakan berhembus lembut di dalam hati kala Zia mendengarnya.

"Ayo le!" Pak Haji mengajak cucunya segera berlalu. Cucunya pun segera bergegas. Kakek dan cucu itu pun pergi meninggalkan mereka.

"Tahu nggak Mbak, katanya tho Iqbal itu udah punya calon?" Deg, jantung Zia seakan berhenti berdetak. Hatinya yang tadi merasa terbang melayang, kini seakan langsung terhempas ke dalam jurang.

"Ya tahu dong mbak. Katanya, calonnya dari Jawa Tengah, mereka itu temen kuliah."

Tidak, tidak mungkin! Ibu-ibu tukang gosip itu pasti berbohong, bantahnya dalam hati. Tanpa menghiraukan mereka dia mendekati Mbak Nur, lalu menyebutkan apa saja yang dipesan sang ibu dari rumah. Zia tak peduli lagi dengan antrian.

"Dengar-dengar cucunya Kiyai lho," timpal ibu yang tepat berada di sebelahnya, membuat kuping Zia makin panas, dan hatinya seakan tersayat.  Dia langsung berlalu pergi, begitu mendapat apa yang dipesan ibunya.

***

Sepasang bocah sedang berdiri di pingir jalan, tepat di jembatan Rejoso. Suara riuhnya lalu-lalang kendaraan seakan tak terdengar oleh mereka. Sore ini adalah sore terakhir mereka berangkat dan pulang mengaji bersama.

"Jangan khawatirkan aku Zi. aku pasti akan baik-baik saja selama di pondok pesantren. Kata ibu yang punya ponpes itu masih saudara."

Namun air mata gadis kecil itu malah semakin deras mengalir, "Kalau Mas Iqbal mondok kita nggak bisa ketemu, main bersama, dan berangkat mengaji bersama lagi," isaknya, sambil menghapus air mata dengan kasar menggunakan sepasang tangan mungilnya, secara bergantian.

Entah sejak kapan, yang jelas sejak mereka berdua mulai mampu mengingat mereka selalu bersama. Mulai dari bermain, sekolah, hingga mengaji. Mereka baru akan berpisah ketika salah satu dari mereka memiliki kepentingan ke kamar mandi, atau saat hari mulai gelap dan sudah waktunya untuk terlelap. Selain karena rumah mereka berdekatan, kakek mereka yang sudah bersahabat sejak remaja menjadi sebab munculnya kesempatan-kesempatan untuk selalu bersama.

"Sabar ya, Zi ...," bujuknya, terdengar lembut. "Tenang saja. Setelah aku mondok, lalu kuliah, aku pasti kembali ke kampung ini. Aku akan menikah denganmu, dan kita akan punya  lebih banyak waktu bersama," janjinya, terdengar mantap. Zia terhenyak, tetapi senyuman iqbal berhasil meyakinkannya. Zia pun ikut tersenyum, lalu mengangguk, dan cepat-cepat menghapus air matanya.

Janji lelaki kecil berusia sepuluh tahun, mana bisa dipercaya? begitu kata teman-temannya. Namun zia tak pernah menghiraukannya, dia tetap selalu percaya. Meski, setelah pertemuan di jembatan itu tak pernah ada komunikasi lagi. Zia mencoba mengerti, seorang santri memang harus menjaga pandangan dan sikap di hadapan wanita yang bukan muhrimnya. Dan, walau dia bukan santriwati, tetapi dia juga melakukan hal serupa. Ini semua bukan demi Iqbal semata, tetapi demi kebaikannya sendiri pula, tekadnya dalam jiwa.

 "Janji lelaki usia sepuluh tahun memang tak bisa dipercaya," gumamnya, sarkastik. Dia bersiap membuang liontin pemberian Iqbal terakhir kali mereka bertemu dulu, menjatuhkannya ke bawah, ke arah aliran sungai warna kecoklatan yang mengalir tenang.

"Jangan membuang barang sembarangan nduk. Mubadzir..." suara itu membuatnya menghentikan gerakan tangannya. Tak lama dieratkannya pegangan tangannya pada liontin itu. Pelan-pelan ditarik kembali tangan kanannya mendekat ke tubuhnya yang mungil, dan berbalut baju muslim warna abu-abu. Zia hanya bisa menunduk.

Usai pamit Pak Haji melangkah pergi. Zia menoleh. Sesaat tatapan matanya bertemu dengan Iqbal. Zia buru-buru menunduk, lalu mengalihkan pandangannya ke arah matahari yang mulai akan terbenam.

***

"Dari mana saja nduk?" tanya ibu, begitu zia sampai di kamarnya.

"Jalan-jalan Bu."

"Wah, sayang sekali kamu tadi tak di rumah. Padahal tadi ada Iqbal lho." Itu kejadian yang tak ingin di dengarnya hari ini. Dia tak mau tahu semua hal yang berhubungan dengan Iqbal lagi sekarang.

"Yaudah, biarin," sahutnya, malas.

"Memangnya kamu tidak kangen? dulu kan kalian selalu ke mana-mana bersama," ucap ibu, dengan nada menggoda.

"Kangen juga percuma Bu. Bukankah sebentar lagi dia akan menikah?" ucap Zia, untuk pertama kalinya mencoba agak terbuka pada ibunya. Zia menghambur ke kasur, tidur tengkurap dan membenamkan muka ke tumpukan bantal.

"Kata siapa? kamu saja belum lulus kuliah kok."

"Memang apa hubungannya denganku?" Zia bangkit dari tidur, lalu duduk menghadap ibu. Ibu menghentikan kegiatannya membersihkan muka di depan cermin itu. Lalu berbalik menghadap anaknya.

"Tadi kan selesai Pak Haji menyampaikan tujuannya, Kakek iseng tanya, kebetulan pas itu Ibu lagi membawakan teh dan suguhan. Kakek tanya, lha Iqbal kapan menyusul? Pak Haji bilang, katanya dia mau nungguin cucu kamu. terus Ibu lihat Iqbal senyum-senyum dan menunduk malu."

"Jadi, yang mau nikah sebentar lagi bukan Mas Iqbal?"

"Akmal, sepupunya Iqbal. Orang-orang kan sering salah sebut atau salah kira. Karena selain namanya terdengar mirip, mukanya juga persis, dan usianya cuma beda beberapa bulan."

Zia pun tersenyum sembari menengok kembali liontin yang ada di lehernya.

Ungaran,17  Desember 2015

Thursday 10 December 2015

Kumpulan Haiku tentang Senja di rumah Nenek




Putih mewangi
menghadirkan kenangan
dipeluk senja


Cantik melati
temani peri kecil
senja yang sunyi


Desa yang asri
kupu-kupu menari
indahkan senja

Jingga ceria
ramah menyapa senja
hangat kenangan

Tuesday 3 November 2015

Maaf

Memenjara hati
berkawan sunyi
demi segumpal gengsi

Bersandiwara di depan mereka
seakan tanpamu aku tak mengapa
seolah rasa ini tak punya makna

Memang tanpamu angin masih berhembus mesra
sang surya masih setia menyapa
senja pun masih merona
Tetapi semua terasa hampa

Yang aku rasa
meski sederhana
kau selalu tahu cara membuatku bahagia

Yang aku rasa
tanpa kupinta
kau selalu bisa buatku merasa istimewa

Maafkankan sejuta egoku
ajarkan aku memahamimu ...

Tuesday 29 September 2015

Kumpulan Haiku Amalia (19-27 September)

Menyekap rindu
Menanti musim semi
Bertopeng salju

Riuh kenari
Menggema dalam sangkar
Rindukan senja

Bintang mengerling
Angin malam berhembus
Patahkan ranting

Memintal rindu
Demi mengukir sabit
Berteman bulan

Didekap malam
Menanti mawar mekar
Semerbak kasih

Menyihir dara
Titipkan benih kasih
Muramkan senja

Merayu dara
Titipkan pesan cinta
Senja cemburu

Pagi yang hampa
Menanti Elang datang
Buktikan kasih

Kasih yang Terlarang

Tutur lembutmu bagaikan embun
Tetapi terlarang bagiku membalasnya dengan kasih

Harus kucampakkan hasratku
Agar tetap di dekatmu
Walau tak boleh memelukmu

Bunga-bunga cintamu telah terpetik
Betapa berdosa bila kurebut

Harus segera kubunuh rasa ini
sebelum terus tumbuh menjalar dan meliar
Kamu bukan milikku
dan rasa ini tak semestinya untukmu

Saturday 29 August 2015

Kumpulan Haiku Tentang Bintang

1
Melepas bintang
Semangatnya terkenang
Hangatkan pagi

2
Mengenang bintang
Bibir merapal doa
Di dekap malam

3
Didekap malam
Bayangnya enggan hilang
Merindu bintang

4
Mengingat bintang
Mengukir senyum syukur
Di dingin pagi

5
Senyuman bintang
Selalu dalam jiwa
Ceriakan surya

By: Amalia Wardhani




Wednesday 26 August 2015

Bahagia Tanpa Bersama

Kututup tirai jendela
Kupejamkan sepasang mata
Kusumpal kedua telinga
Namun namamu masih dalam jiwa
Tak terselip niat menghapusnya

 Tanpa secuil kebencian
sebutir kemarahan
pun sekotak kekecewaan

Hanya ingin bebas merdeka
Dari penjajahan cemburu yang tak semestinya

 Kita pantas bahagia
Kita berhak menggapai cita
Walau tak harus bersama

Friday 21 August 2015

Rangkaian Puisi Cinta: Merelakan ....


















Gugur

Waktu telah berlalu pergi
Tak mampu kuputar lagi
Jangan sesali yang terjadi
Cinta berguguran
Tak akan bersemi kembali

 Peri Kecil Dalam Tempurung

Tuhan, jika bisa
Aku tak ingin tumbuh dewasa
menghadapi jutaan kerumitan dunia
merasakan pedihnya kecewa
Ingin kembali jadi bocah polos nan ceria
bermanja dalam peluk Ayah Bunda
bernaung dalam rumah sederhana

Tak perlu mengenal sang pangeran
idaman para putri kerajaan
menenggelamkanku dalam kecemburuan
menjeratku pada kerinduan

Tuhan, ijinkanku menutup tirai jendela
memejamkan sepasang mata
dan menyumpal kedua telinga
Aku tak ingin melihatnya bermesra di depan mata
tak mau mengenal siapa putri yang dipilihnya
Lebih baik aku tak tau apa-apa
dari pada aku terluka ...
 
Ikhlas
Pisah,
bukan pertanda kalah
Pergi,
bukan berarti benci
Cinta,
tak selamanya harus bersama

Tuesday 14 July 2015

Tips Menulis Bagi Pemula di Tengah Keterbatasan

Selamat datang di blog saya yang sederhana ... Kali ini saya akan membagikan sebuah tips, yang saya harap bermanfaat bagi kita semua anak negeri. Hehe ... Maaf, saya pinjam slogannya ya, Om Tri Putro Sutjahjono.

Artikel ini saya buat karena terinspirasi dari pertanyaan sahabat maya saya yang paling asyik diajak mengobrol, Mbak Listyaningsih:

"Lia tolong bantu Susanti Dewi hal-hal tentang menulis.. Dia tanya aplikasi note di Samsung bisa buat nulis nggak.. Aku nggak tahu, because nggak pakai Samsung.. Mungkin maksud dia kalau nulis di note, tulisannya bisa diekspor nggak gitu.."

Berhubung tidak tahu karena hape saya belum secanggih itu, saya mention saja Mas Anton Suprobo, kakak maya yang ahli di bidangnya dan tak pernah pelit berbagi ilmu. Mas Anton pun menyarankan begini:

"Kalau pakai Android bisa pakai Wps atau Microsoft Office Mobile bisa disave as doc atau txt."

Masalah selesai. Alhamdulillah ...

~*~*~*~

Tetapi kemudian saya tergelitik oleh jawaban saya sendiri:

"Waduh, aku juga nggak tahu. Hapeku masih versi java ini, belum OS gitu. Aku saja pakainya note Facebook yang diprivasi hanya saya. Haha ... Hape ora canggih, sing penting sing due canggih."

Sok iyes bingit nggak sih? Apalagi tagline anehnya itu:

"Hape ora canggih, sing penting sing due canggih."

Memangnya se"canggih" apa sih saya ini? Nah, pertanyaan itulah yang membuat saya ingin sharing di blog ini. So, bila tiba-tiba nanti ada yang merasa tips-tips saya ini biasa saja, dan dia memiliki tips yang lebih canggih lagi, saya akan sangat senang sekali bila dia bersedia sharing via komentar. Sebab tujuan saya memposting ini bukanlah saingan "siapa yang memiliki tips tercanggih", tetapi sekedar saling berbagi agar kita bisa sama-sama mendapat untungnya.

So, kita mulai saja.

Pertama-tama siapkan modal utama. Dalam dunia kuliner, anggap saja ini bahan-bahan kuenya. Atau, samakan saja ini dengan kain, benang, dan semacamnya jika kamu suka menjahit.


  1.    Ketelitian. 
  2.       Kreativitas 
  3.       Kekuatan Mental 
  4.       Imajinasi 
  5.       Keramahan


Ingat-ingat kawan, jika modal utama adalah apa yang ada pada diri sendiri. Bila kamu merasa tak memilikinya. Jangan khawatir, semua bisa dilatih.

So, kalau bahan sudah punya, giliran alat-alat. Ibarat loyang, mixer, dan semacamnya di dunia kuliner. Atau, mesin jahit, jarum, benang, dan sejenisnya dalam dunia menjahit.

Alat yang kita perlukan adalah benda yang bisa digunakan mengakses dunia maya. Berhubung ini tips ala saya, jadi saya ambil contoh 2 ponsel yang pernah membantu saya di tengah-tengah keterbatasan itu.

1.      Cross GG96CT.  
2.      Nokia Asha 309.



Tips Mencari Ide Dari Facebook

Berhubung keterbatasan fisik yang saya miliki menyebabkan saya tak bisa pergi ke mana-mana untuk mengamati lingkungan, sesuai saran beberapa penulis senior. Jadi, saya memilih mengamati beranda dan kronologi teman-teman Facebook.

Untuk mendapat hasil maksimal, ikuti dulu saran sederhana ini:

*) Pilih-pilih teman.
Sebaiknya, kita tidak asal di-add lalu confirm, atau asal temannya sama lalu oke saja. Jangan pula kamu meng-add orang karena terpesona fotonya, terkagum info jabatan, perusahaan, atau tempat kuliahnya yang dicantumkan di profil. Percayalah, tak semuanya jujur!

Pilih teman berdasarkan postingannya. So, sebelum kamu meng-add atau meng-confirmasi permintaan pertemanan, intip-intip dulu kronologinya. Pilih yang postingannya selalu informatif, inspiratif, dan motivatif.

Bagaimana kalau dia pun tak jujur? Misalnya, statusnya ceramah semua, tapi tak ada yang dipraktikkan satu pun. Nah, itu sih urusan dia. Yang penting kita serap ilmunya, dan kita yang akan merasakan manfaatnya.

*) Sempatkan waktu untuk mengunjungi kronologi teman, terutama yang postingannya selalu positif.

(Di sini "bahan" yang kamu perlukan adalah:
KETELITIAN)

Cukup sekian dulu tips dari saya. InsyaAllah tips ini akan saya lanjutkan postingannya di lain kesempatan. So, kunjungi lagi ya, lain waktu. Terima kasih ....

Thursday 9 July 2015

Sahabat Maya

Pria bertubuh jangkung dan berkulit pucat itu terbangun dari tidurnya di tengah malam yang dingin, tepat ketika kedua jarum jam di dinding kamarnya menunjuk ke angka 12. Buru-buru dia singkap selimutnya yang tebal dan lembut, lalu berlari mendekati meja, dan kemudian membuka dan menyalakan notebook. Sebuah pesan sudah masuk ke akun facebooknya.
From: Karunia Putri
Selamat hari jadi persahabatan kita
13/05/2015 00:05

Tanggal 13 bulan Mei. Tepat satu tahun persahabatan mereka. Dua insan yang jauh berbeda, tetapi telah mengikat janji saling mengerti dan menerima. Walau mereka hanya dapat berjumpa lewat dunia maya. Eddy masih ingat betul ketika suatu malam sepulang dari main futsal  dengan teman-temannya dia memutuskan untuk bersantai di kamar dan membuka akun  Facebooknya. Tiba-tiba dia mendapati seorang wanita mengiriminya permintaan pertemanan sekaligus pesan pribadi.

Karunia Putri
Boleh kenalan nggak?

Eddy Widodo
Boleh.

Karunia Putri
Hai, namaku Nia. Aku dari Palembang. Aku seorang penyandang tuna rungu.

 Belum pernah sebelumnya dia berkenalan dengan teman dari dunia maya yang sejujur ini. Bahkan saat baru saja berkenalan. Eddy pun menanggapinya dengan penuh antusias.

Ketika itu, baru beberapa hari yang lalu Nia dibuatkan akun Facebook oleh salah satu saudara sepupunya yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah. Daftar temannya di Facebook  masih sedikit dan semuanya hanyalah saudara-saudara sepupunya yang kebanyakan rese dan susah nyambung ketika diajak bicara. Sebab menurutnya tak ada satu pun dari mereka yang mau berusaha memahaminya. Nia merasa sangat butuh teman yang bersedia diajaknya curhat, yang mau memahaminya, dan yang bisa membuatnya merasa nyaman. Dari situlah timbul keinginannya untuk mencoba mencari kenalan baru lewat Facebook.

Seiring berjalannya waktu Nia merasa beruntung bisa berkenalan dengan Eddy. Baginya Eddy nyambung banget saat diajaknya bercerita tentang banyak hal. Dari mulai hal-hal yang ringan dan seru, seperti misalnya tentang film, musik, atau pun acara televisi. Kadang selera mereka bisa kebetulan sama, tetapi saat berbeda Nia berusaha memahaminya. Tak jarang mereka juga membahas tema yang berat dan rahasia. Seperti tentang kisah kehidupan mereka masing-masing. Nia bisa merasa sangat nyaman ketika curhat dengan Eddy, karena dia tak pernah menghakiminya ketika dia menceritakan kekurangan atau pun  kesalahannya, dia hanya mengingatkan dan memberi saran dengan pemilihan kata-kata yang halus dan tak terkesan menggurui.

Semua mengalir begitu saja. Berkenalan, saling berkomunikasi, curhat, dan menanyakan kabar setiap hari. Hingga empat bulan kemudian Eddy mendadak  mengirimkan pesan yang membuat Nia merasa dunia seolah berhenti berputar. Nia tak pernah menyangka dia akan mendapatkan pesan semacam ini.

Eddy Widodo
Maukah kau jadi sahabatku untuk selamanya?

 Tanpa pikir panjang Nia langsung mengangguk berkali-kali. Lalu tertawa sendiri menyadari kekonyolannya. Bukan anggukan yang Eddy butuhkan, karena dia tak akan dapat melihatnya. Nia pun cepat-cepat mengetik balasan. Hanya satu kata, iya. Dan sejak itu mereka sepakat untuk menjadi sahabat selamanya.

Selama ini mereka hanya berkomunikasi dengan bertukar teks. Hingga suatu hari Nia mengenalkan Eddy pada mamak-nya via telepon. Sejak itu Eddy sering menelepon. Karena tak dapat mendengar, gadis berambut panjang itu hanya bisa menyaksikan mamaknya dan Eddy mengobrol di telepon. Lalu usai telepon mamaknya akan menceritakan apa saja yang mereka bicarakan tadi. Mamaknya hanya perlu berbicara pelan-pelan, sebab sang anak mampu membaca gerak bibir.

“Sepertinya dia pemuda yang baik. Dia jujur dan terbuka sekali dengan Mamak.” Nia tersenyum senang, karena Mamak juga menerima dan bahkan menyukai Eddy.
Semakin hari Eddy menjadi sangat akrab dan sering mengobrol dengan mamak-nya Nia. Hingga dia mengganggap mamak-nya Nia sudah seperti ibunya sendiri. Bahkan, tanpa malu-malu Eddy pernah curhat ke Mamak jika dia menyukai Nia dan sangat berharap suatu saat dapat berjumpa dengannya.

Bersambung........ 

Thursday 2 July 2015

Hidayah Cinta Di Bulan Ramadhan



Panggil aku Freya. Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang penuh perbedaan. Ayahku keturunan Inggris, sementara Ibu keturunan Jawa. Ayah pemeluk agama non muslim, sementara ibuku seorang muslimah.

Pada usia ke 17 aku diharuskan memilih agama mana yang akan kuikuti ajarannya. Aku bingung sekali. Selama ini aku begitu akrab dengan saudara-saudara sepupuku dari pihak Ayah. Jika aku memilih islam sebagai agamaku, aku takut mereka akan menjauhiku.

Hanya Kak Sisil satu-satunya sepupuku yang selalu mendukungku, "agama itu tentang keyakinan masing-masing orang Frey. Jika mereka memang menyayangimu, semestinya mereka tetap menghormati apapun keyakinanmu."

"Jika aku memilih menjadi pemeluk islam, apakah Kakak akan tetap menyayangiku seperti ini?"

"Tentu saja Frey," jawabnya, lalu tersenyum hangat. Dan kami pun berpelukan.

Namun cibiran saudara-saudara sepupuku yang lain membuat keyakinanku goyah. Aku akhirnya memilih menjadi umat non muslim, meski itu tak sesuai kata hatiku.

Di usia 20 dokter memvonisku menderita kanker otak. Sejak itu aku merasa bagai berada dalam sangkar emas, Ayah dan Ibu mengharuskanku selalu di rumah. Aku merasa kesepian.
Kehadiran seorang pria mengusir kesepian yang kurasa, walau kami hanya dipertemukan lewat dunia maya. Lalu saling mendengar suara via telepon. Pria itu seorang penganut muslim yang taat. Namun dia begitu menghargai perbedaan. Dia tak pernah bersikap seolah dia yang selalu benar. Dan berbeda dari kebanyakan pria berusia di atasku yang kukenal, dia tidak bersikap sok dewasa dan memperlakukanku layaknya adik.

Dia menyadarkan aku bahwa sebenarnya islam adalah agama yang damai, agama yang tak memaksa, dan agama yang memberikan ketenangan bagi setiap penganutnya. Kadang, di kala malam tiba aku menangis sendiri di balkon kamarku. Menyesali keputusanku dulu.

Seiring berjalannya waktu kami jadi semakin akrab, layaknya sahabat. Hingga aku kemudian menyadari ada desir aneh saat kudengar dia tertawa mendengar leluconku.

Tepat saat dia meneleponku sepulang dari terawih, di malam pertama terawih dilaksanakan, aku iseng-iseng bertanya, "Kriteria pasangan yang Kak Muhsin cari itu yang bagaimana?"

"Tentu saja yang solehah Frey. Memangnya kamu punya kenalan muslimah?"

"Kenapa harus cari muslimah? Mengapa bukan aku saja? Aku rela jadi mualaf." Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba saja aku berani mengatakannya.

"Aku senang mendengarmu ingin menjadi mualaf. Tetapi jika itu karena aku, aku minta urungkan niatmu Frey."

"Aku memang menyayangimu Kak. Tetapi sejak kecil aku sudah meyakini kebenaran ajaran islam. Hanya saja, aku takut dijauhi, aku takut kesepian, dan sendirian. Temani aku Kak. Bimbing aku ..."

"Tetapi, maaf Frey. Aku tetap tak bisa. Karena sejak awal kau bilang kita hanya bersahabat. Kau ingat? Awalnya kau menunjukkan padaku gambar-gambar model-model kaus yang kau buat, lalu kita bekerjasama hingga kini. Kau yang menggambar, aku yang menyablon. Maaf Frey, aku tak bisa membohongi hatiku. Bagiku, sekali sahabat, tetap sahabat."

Seketika, aku merasa seolah langit-langit di kamarku runtuh menimpa tubuhku yang rapuh. Aku tak kuat, "sudah malam Kak. Besok lagi kita telponannya."

***

"Sudahlah Non, jangan menangis terus. Ikhlaskan saja. Agar hati kita merasa lega dan tenang ...," ucap Bibi suatu pagi, ketika dia memasuki kamarku untuk beres-beres, demi melihatku sedang duduk di kursi balkon kamar dan terus menatap ke bawah sembari membiarkan air mata mengalir liar tanpa henti, seolah ingin bunuh diri. Selama ini hanya Bibi yang tahu kedekatan dan perasaanku pada pria pengusaha sablon dari Kediri itu, karena aku sering bercerita padanya hampir setiap hari.

"Bi, ajari aku masuk islam."

"Non, agama itu tentang keyakinan hati. Tidak boleh main-main."

"Aku tidak main-main Bi. Aku sangat serius!" ucapku tegas.

"Seserius apa memangnya? Bagaimana jika setelah menjadi mualaf pun dia tetap tak menerima Non?"

"Bi, ini bukan lagi tentang dia. Ini tentang keyakinan hatiku sejak kecil. Aku ingin masuk islam, tetapi aku takut dikucilkan. Sekarang aku tak peduli! Aku hanya ingin mengikuti kata hati."

"Non, saya takut sama Tuan."

"Tak perlu takut Bi, saya mendukung apapun pilihan anak-anak saya. Keyakinan memang sesuatu yang tak bisa dipaksakan." Ayah tiba-tiba muncul dari dalam kamar. Lalu berjalan penuh wibawa mendekatiku. "Ayo kita masuk islam sama-sama Nak," ajaknya sambil menyentuh pundakku.

Aku dan Bibi saling pandang, tak percaya. Mendadak Ibu datang, "Ayah, Ustaz Muhsin dari Kediri sudah datang menunggu di ruang tamu."

"Muhsin?"

"Ayah bertemu dengannya saat sedang dinas di Kediri. Dia pemuda yang hebat. Pengusaha sablon sekaligus cucu pemilik Pondok Pesantren. Sebenarnya, Ayah juga sama sepertimu, sudah lama ingin masuk islam tetapi takut dikucilkan di keluarga besar."

"Selama kita mampu menghormati keyakinan orang lain. InsyaAllah orang lainpun akan menghormati keyakinan kita," ucap Ibu sembari tersenyum
.

Selesai ....

Friday 26 June 2015

Jemari



Jemari

Tyana

Pria tampan yang selama bertahun-tahun masih kucintai itu kini sedang terlelap di ranjangnya. Masih sulit bagiku menerima kenyataan pedih ini, melihatnya harus merelakan sebelah tangannya diamputasi.

Kehilangan tangan, berarti juga kehilangan miliknya yang berharga. Jemari. Yang selalu digunakannya untuk menyuapkan makanan--aku ingat betul jika dari kecil dia enggan menggunakan sendok. Yang juga digunakannya untuk melakukan hobinya, bermain gitar. Yang bahkan digunakannya menggandeng tangan kekasih hatinya.

Jemari yang dulu masih mungil ketika mengusap lembut punggungku, di kala aku menangis. Jemari yang juga menggenggam erat tangan mungilku, saat kami menyebrang jalan menuju sekolah, maupun sepulang sekolah. Tetapi itu dahulu, sewaktu kami masih bocah. Ketika kami beranjak remaja, jemarinya bukan lagi serupa kapas lembut yang membalut luka hatiku.

Jemarinya berubah laksana belati yang menggores perih di hati ini. Itu terjadi saat kami sama-sama duduk di bangku SMA. Hatiku terasa panas ketika menyaksikan jemari itu menggenggam erat tangan gadis tercantik di sekolah, sebelum kemudian mereka pamit pulang duluan, di depan gerbang sekolah. Dan sadisnya, adegan itu terus terulang setiap hari, selama tiga tahun.

Dia terbangun, membuatku buru-buru menyeka air mata di pipi. "Tyana? Aku tak menyangka kau akan datang." Seketika dia berusaha duduk, lalu memelukku dengan sebelah tangannya. "Aku begitu merindukanmu. Sudah lebih dari setahun kita tak bertemu. Sejak kau memutuskan kuliah di luar kota."

Aku juga. Tetapi aku mencoba menepis rasa rindu itu. Karena bertemu denganmu, dan melihat kau bersamanya terasa amat sangat menyakitkan. Batinku.

"Oh, iya! Bagaimana kabarmu? Apakah di sana kau baik-baik saja Tya? Kau tampak lebih kurusan?" imbuhnya, sembari melonggarkan pelukan dan mencoba menatap mataku lekat-lekat.

Aku yang sejak tadi berdiri di samping ranjangnya, mencoba duduk di sisi ranjang. Entah mengapa, tatapan mata itu seketika mampu membuatku merasa kehilangan kekuatan untuk berdiri. Aku berusaha menghindari tatapannya. "Aku baik-baik saja. Akhir-akhir ini aku mengikuti program diet," dustaku.

"Tya, aku ...."

"Iya, aku sudah tahu. Tante sudah ceritakan semua padaku tadi, sebelum aku masuk kamarmu. Maaf, aku baru bisa menjengukmu hari ini ...."

Sebelumnya, aku sempat disambut ramah oleh ibunya, yang langsung memelukku, kala mendapati gadis bertubuh pendek dan berkulit kecoklatan inilah yang sedari tadi mengetuk pintu rumahnya. Lalu diajaknya aku masuk dan duduk di ruang tamu, beliau menanyakan kabar, dan bertanya mengapa sudah setahun aku tak pernah mengunjungi rumah ini lagi. Tentu saja, aku harus menjawabnya dengan dusta. Aku sangat malu mengatakan alasan yang sesungguhnya.

Kemudian, aku bertanya tentang keadaan anaknya. Dan, mulailah mengalir kisah tentang sebuah kecelakaan yang mengerikan, yang mengakibatkan anak lelakinya jadi seperti ini.

"Sudahlah, tak apa. Aku bisa mengerti. Jadwal kuliahmu pasti padat sekali," jawabnya. Tiba-tiba dia meraih tanganku, dan menggenggamnya dengan tangan kirinya, erat-erat.

***

Dengan penuh semangat kuketuk pintu rumah sahabatku yang sedang berulang tahun hari ini, Herlambang, sembari membawa sekotak kue ulang tahun buatanku sendiri. Tak lama pintu di depanku terbuka, lalu sesosok gadis mungil menyembulkan kepalanya. "Eh, Kak Tya!"

"Hai, Chilla! Kak Bang-bang ada?"

"Nggak ada Kak."

"Kemana?"

"Nggak tahu."

Lalu aku memutuskan menunggu, sembari menemani Chilla yang biasanya selalu sendiri saat kakaknya pergi, sebab kedua orang tuanya sibuk bekerja. Sejak sore hingga malam itu kuhabiskan waktu bersama Chilla, menonton televisi, sholat maghrib berjamaah, hingga makan malam berdua.

Jarum pendek jam di dinding ruang keluarga sudah menunjuk angka delapan, Ayah dan Ibu Herlambang dan Chilla pun sudah pulang. Aku terpaksa memutuskan untuk pamitan, dan menitipkan kue itu pada Chilla, yang dengan penuh semangat segera membawanya ke kamar kakaknya.

Ibunya Chilla mengantarkanku hingga pintu gerbang, melepas kepergianku dengan senyum dan lambaian tangan. Tak lama setelah aku mulai melangkah kulihat Herlambang pulang berboncengan dengan seorang perempuan yang tak asing di mataku, teman kami di sekolah.

Aku mengalihkan pandangan, lalu berlari secepat yang kubisa menuju rumahku, yang hanya berjarak dua rumah dari sini. Sejak itu aku benar-benar pergi jauh dari kehidupannya. Aku memilih melanjutkan kuliahku di luar kota.

***
Top of Form
Plakkk!

Sebuah tamparan keras tiba-tiba mendarat di pipi seorang perempuan berwajah putih mulus bak porselen, yang sedang menggandeng tangan sesosok lelaki bertubuh atletis. Semua pasang mata yang kebetulan sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan itu terperangah, menghentikan sejenak seluruh aktifitas, demi menyaksikan sebuah adegan serupa drama murahan di televisi ini. Aku terkejut sendiri. Entah mendapat kekuatan dari mana, mendadak aku telah melakukan ini semua. Aku belum pernah menampar orang seumur hidupku ini, terlebih sesama perempuan.

"Tyana ...." Kudengar suara Herlambang. Tetapi aku tak tahu bagaimana ekspresinya. Aku tak berani menatapnya. Dan, aku tak peduli bagaimana reaksinya. Mungkin, dia akan membenciku karena telah tega menampar kekasih hatinya, sekalipun kekasihnya itu telah berkhianat. Atau, bisa jadi dia justru berterima kasih, karena aku sudah membalaskan kekesalannya atas penghiatan perempuan sok cantik itu.

Aku berusaha berlari pergi. Menerobos kerumunan orang-orang yang masih memandangi kami berempat, sejak tadi.

Di pinggir jalan aku langsung memanggil taksi, masuk dengan cepat dan langsung meminta sang sopir untuk segera jalan.

Di dalam taksi aku terbayang kejadian tadi pagi. Sudah beberapa bulan ini aku tak bertemu Herlambang, tetapi aku selalu tahu kondisinya. Sebab setiap malam Chilla selalu bercerita padaku via telepon. Sejak bertemu dengannya sewaktu aku menjenguk Herlambang, aku dan Chilla kembali dekat seperti dulu. Dari Chilla, aku tahu jika Herlambang berusaha keras bangkit dari keterpurukan. Dia berusaha menyesuaikan diri dengan keadaannya kini.

Di minggu pertama, Chilla bilang, kakaknya sudah bisa mengambil dan menyuapkan makanan sendiri, mengambil dan meminum sendiri, bahkan mencuci baju sendiri, dengan tangan kiri. Lalu, minggu demi minggu yang berlalu, memberinya satu demi satu pencapaian baru. Hingga dirinya layak disebut penyandang difabel yang mandiri. Aku terharu, dan ikut bahagia karenanya. Semalam, Chilla tak lagi menelepon, tak seperti malam-malam sebelumnya. Justru, aku mendapat panggilan dari sebaris nomor asing.

"Besok pagi siap-siap! Jam tujuh aku jemput." Benarkah pemilik suara ini Herlambang?

Paginya, tepat pukul tujuh dia benar-benar membuat jantungku nyaris copot. Dia datang dengan mobil yang dikendarainya sendiri, hanya dengan tangan kiri. Ibuku sampai harus melepas kepergian kami dengan rasa was-was. Jangankan Ibu, aku sendiri saja ketar-ketir sepanjang jalan. Tetapi, usai kami turun dari mobil dan menapakkan kaki di parkiran sebuah mall, terbukti sudah jika kemampuan menyetirnya tetap baik walau hanya mengandalkan satu tangan.

Rasa lega, bangga, sekaligus bahagia bercampur jadi satu, di dalam hati.

"Mbak, kita sudah sampai." Suara sopir taksi itu akhirnya menyadarkanku dari lamunan.

***

Suara ketukan pintu memaksaku menghapus air mata, bangkit dari kasur, berlari ke ruang tamu, lalu membuka pintu. Mau bagaimana lagi, sore ini seluruh anggota keluarga tak ada di rumah. Aku terkejut mendapati Herlambang berdiri, sembari tersenyum lebar, dan memegang sebuah tas karton berlogo salah satu butik ternama. "Ini untukmu."

"Mengapa kau memberiku ini?"

"Sebagai tanda terima kasih. Karena kau sudah membuatku bersemangat menjalani hari-hari."

"Kau tidak marah karena tadi aku ...."

"Menampar dia? Hahaha ...." Dia geleng-geleng kepala. "Kau salah sasaran Tya, harusnya kau menamparku. Aku lelaki terbodoh di dunia."

"Maksudmu?"

"Aku memacari dia hanya untuk menang taruhan dan agar mendapat pujian dari teman-teman se-geng."

"Aku tak percaya kau sejahat itu?" Aku menggeleng-geleng tak percaya. Bagaimana mungkin sahabatku yang sejak kecil selalu baik padaku ini, tega melakukan itu pada seorang perempuan.

"Awalnya, memang begitu adanya. Tapi, seiring berjalannya waktu, karena tak tega aku berusaha tulus mencintainya."

"Lalu? Kenapa kalian sekarang?"

"Sejak kepergian seseorang, aku mulai sadar Tya, kalau usahaku gagal. Aku tak bisa mencintainya."

"Bohong! Kau pasti hanya berusaha membelanya kan? Agar dia tidak tampak jahat, karena meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?" Emosiku meledak. Antara rasa kesal dan cemburu, bercampur menjadi satu.

"Dia tak pernah meninggalkanku. Aku yang memutuskannya, sebulan setelah kau pergi."

"Hentikan!" Aku berlari masuk rumah, kemudian membanting pintu, dan menguncinya rapat-rapat.

Aku sangat marah. Sepertinya, aku hanya dijadikannya pelarian. Tak pernah kusangka orang yang begitu kucintai ternyata setega ini. Dulu, ketika dia tampak begitu sempurna, dia memilih bersanding dengan gadis cantik jelita. Tetapi, saat kemudian keadaannya begini, dia baru menerimaku, yang oleh beberapa orang tak pernah dianggap cantik. Enak saja! Bahkan, dia membuat hatiku semakin terbakar cemburu. Karena dia justru masih membela kekasihnya yang telah berkhianat, lalu mengarang cerita agar kekasihnya tampak tak bersalah.


Bersambung ....