Tuesday 14 July 2015

Tips Menulis Bagi Pemula di Tengah Keterbatasan

Selamat datang di blog saya yang sederhana ... Kali ini saya akan membagikan sebuah tips, yang saya harap bermanfaat bagi kita semua anak negeri. Hehe ... Maaf, saya pinjam slogannya ya, Om Tri Putro Sutjahjono.

Artikel ini saya buat karena terinspirasi dari pertanyaan sahabat maya saya yang paling asyik diajak mengobrol, Mbak Listyaningsih:

"Lia tolong bantu Susanti Dewi hal-hal tentang menulis.. Dia tanya aplikasi note di Samsung bisa buat nulis nggak.. Aku nggak tahu, because nggak pakai Samsung.. Mungkin maksud dia kalau nulis di note, tulisannya bisa diekspor nggak gitu.."

Berhubung tidak tahu karena hape saya belum secanggih itu, saya mention saja Mas Anton Suprobo, kakak maya yang ahli di bidangnya dan tak pernah pelit berbagi ilmu. Mas Anton pun menyarankan begini:

"Kalau pakai Android bisa pakai Wps atau Microsoft Office Mobile bisa disave as doc atau txt."

Masalah selesai. Alhamdulillah ...

~*~*~*~

Tetapi kemudian saya tergelitik oleh jawaban saya sendiri:

"Waduh, aku juga nggak tahu. Hapeku masih versi java ini, belum OS gitu. Aku saja pakainya note Facebook yang diprivasi hanya saya. Haha ... Hape ora canggih, sing penting sing due canggih."

Sok iyes bingit nggak sih? Apalagi tagline anehnya itu:

"Hape ora canggih, sing penting sing due canggih."

Memangnya se"canggih" apa sih saya ini? Nah, pertanyaan itulah yang membuat saya ingin sharing di blog ini. So, bila tiba-tiba nanti ada yang merasa tips-tips saya ini biasa saja, dan dia memiliki tips yang lebih canggih lagi, saya akan sangat senang sekali bila dia bersedia sharing via komentar. Sebab tujuan saya memposting ini bukanlah saingan "siapa yang memiliki tips tercanggih", tetapi sekedar saling berbagi agar kita bisa sama-sama mendapat untungnya.

So, kita mulai saja.

Pertama-tama siapkan modal utama. Dalam dunia kuliner, anggap saja ini bahan-bahan kuenya. Atau, samakan saja ini dengan kain, benang, dan semacamnya jika kamu suka menjahit.


  1.    Ketelitian. 
  2.       Kreativitas 
  3.       Kekuatan Mental 
  4.       Imajinasi 
  5.       Keramahan


Ingat-ingat kawan, jika modal utama adalah apa yang ada pada diri sendiri. Bila kamu merasa tak memilikinya. Jangan khawatir, semua bisa dilatih.

So, kalau bahan sudah punya, giliran alat-alat. Ibarat loyang, mixer, dan semacamnya di dunia kuliner. Atau, mesin jahit, jarum, benang, dan sejenisnya dalam dunia menjahit.

Alat yang kita perlukan adalah benda yang bisa digunakan mengakses dunia maya. Berhubung ini tips ala saya, jadi saya ambil contoh 2 ponsel yang pernah membantu saya di tengah-tengah keterbatasan itu.

1.      Cross GG96CT.  
2.      Nokia Asha 309.



Tips Mencari Ide Dari Facebook

Berhubung keterbatasan fisik yang saya miliki menyebabkan saya tak bisa pergi ke mana-mana untuk mengamati lingkungan, sesuai saran beberapa penulis senior. Jadi, saya memilih mengamati beranda dan kronologi teman-teman Facebook.

Untuk mendapat hasil maksimal, ikuti dulu saran sederhana ini:

*) Pilih-pilih teman.
Sebaiknya, kita tidak asal di-add lalu confirm, atau asal temannya sama lalu oke saja. Jangan pula kamu meng-add orang karena terpesona fotonya, terkagum info jabatan, perusahaan, atau tempat kuliahnya yang dicantumkan di profil. Percayalah, tak semuanya jujur!

Pilih teman berdasarkan postingannya. So, sebelum kamu meng-add atau meng-confirmasi permintaan pertemanan, intip-intip dulu kronologinya. Pilih yang postingannya selalu informatif, inspiratif, dan motivatif.

Bagaimana kalau dia pun tak jujur? Misalnya, statusnya ceramah semua, tapi tak ada yang dipraktikkan satu pun. Nah, itu sih urusan dia. Yang penting kita serap ilmunya, dan kita yang akan merasakan manfaatnya.

*) Sempatkan waktu untuk mengunjungi kronologi teman, terutama yang postingannya selalu positif.

(Di sini "bahan" yang kamu perlukan adalah:
KETELITIAN)

Cukup sekian dulu tips dari saya. InsyaAllah tips ini akan saya lanjutkan postingannya di lain kesempatan. So, kunjungi lagi ya, lain waktu. Terima kasih ....

Thursday 9 July 2015

Sahabat Maya

Pria bertubuh jangkung dan berkulit pucat itu terbangun dari tidurnya di tengah malam yang dingin, tepat ketika kedua jarum jam di dinding kamarnya menunjuk ke angka 12. Buru-buru dia singkap selimutnya yang tebal dan lembut, lalu berlari mendekati meja, dan kemudian membuka dan menyalakan notebook. Sebuah pesan sudah masuk ke akun facebooknya.
From: Karunia Putri
Selamat hari jadi persahabatan kita
13/05/2015 00:05

Tanggal 13 bulan Mei. Tepat satu tahun persahabatan mereka. Dua insan yang jauh berbeda, tetapi telah mengikat janji saling mengerti dan menerima. Walau mereka hanya dapat berjumpa lewat dunia maya. Eddy masih ingat betul ketika suatu malam sepulang dari main futsal  dengan teman-temannya dia memutuskan untuk bersantai di kamar dan membuka akun  Facebooknya. Tiba-tiba dia mendapati seorang wanita mengiriminya permintaan pertemanan sekaligus pesan pribadi.

Karunia Putri
Boleh kenalan nggak?

Eddy Widodo
Boleh.

Karunia Putri
Hai, namaku Nia. Aku dari Palembang. Aku seorang penyandang tuna rungu.

 Belum pernah sebelumnya dia berkenalan dengan teman dari dunia maya yang sejujur ini. Bahkan saat baru saja berkenalan. Eddy pun menanggapinya dengan penuh antusias.

Ketika itu, baru beberapa hari yang lalu Nia dibuatkan akun Facebook oleh salah satu saudara sepupunya yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah. Daftar temannya di Facebook  masih sedikit dan semuanya hanyalah saudara-saudara sepupunya yang kebanyakan rese dan susah nyambung ketika diajak bicara. Sebab menurutnya tak ada satu pun dari mereka yang mau berusaha memahaminya. Nia merasa sangat butuh teman yang bersedia diajaknya curhat, yang mau memahaminya, dan yang bisa membuatnya merasa nyaman. Dari situlah timbul keinginannya untuk mencoba mencari kenalan baru lewat Facebook.

Seiring berjalannya waktu Nia merasa beruntung bisa berkenalan dengan Eddy. Baginya Eddy nyambung banget saat diajaknya bercerita tentang banyak hal. Dari mulai hal-hal yang ringan dan seru, seperti misalnya tentang film, musik, atau pun acara televisi. Kadang selera mereka bisa kebetulan sama, tetapi saat berbeda Nia berusaha memahaminya. Tak jarang mereka juga membahas tema yang berat dan rahasia. Seperti tentang kisah kehidupan mereka masing-masing. Nia bisa merasa sangat nyaman ketika curhat dengan Eddy, karena dia tak pernah menghakiminya ketika dia menceritakan kekurangan atau pun  kesalahannya, dia hanya mengingatkan dan memberi saran dengan pemilihan kata-kata yang halus dan tak terkesan menggurui.

Semua mengalir begitu saja. Berkenalan, saling berkomunikasi, curhat, dan menanyakan kabar setiap hari. Hingga empat bulan kemudian Eddy mendadak  mengirimkan pesan yang membuat Nia merasa dunia seolah berhenti berputar. Nia tak pernah menyangka dia akan mendapatkan pesan semacam ini.

Eddy Widodo
Maukah kau jadi sahabatku untuk selamanya?

 Tanpa pikir panjang Nia langsung mengangguk berkali-kali. Lalu tertawa sendiri menyadari kekonyolannya. Bukan anggukan yang Eddy butuhkan, karena dia tak akan dapat melihatnya. Nia pun cepat-cepat mengetik balasan. Hanya satu kata, iya. Dan sejak itu mereka sepakat untuk menjadi sahabat selamanya.

Selama ini mereka hanya berkomunikasi dengan bertukar teks. Hingga suatu hari Nia mengenalkan Eddy pada mamak-nya via telepon. Sejak itu Eddy sering menelepon. Karena tak dapat mendengar, gadis berambut panjang itu hanya bisa menyaksikan mamaknya dan Eddy mengobrol di telepon. Lalu usai telepon mamaknya akan menceritakan apa saja yang mereka bicarakan tadi. Mamaknya hanya perlu berbicara pelan-pelan, sebab sang anak mampu membaca gerak bibir.

“Sepertinya dia pemuda yang baik. Dia jujur dan terbuka sekali dengan Mamak.” Nia tersenyum senang, karena Mamak juga menerima dan bahkan menyukai Eddy.
Semakin hari Eddy menjadi sangat akrab dan sering mengobrol dengan mamak-nya Nia. Hingga dia mengganggap mamak-nya Nia sudah seperti ibunya sendiri. Bahkan, tanpa malu-malu Eddy pernah curhat ke Mamak jika dia menyukai Nia dan sangat berharap suatu saat dapat berjumpa dengannya.

Bersambung........ 

Thursday 2 July 2015

Hidayah Cinta Di Bulan Ramadhan



Panggil aku Freya. Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang penuh perbedaan. Ayahku keturunan Inggris, sementara Ibu keturunan Jawa. Ayah pemeluk agama non muslim, sementara ibuku seorang muslimah.

Pada usia ke 17 aku diharuskan memilih agama mana yang akan kuikuti ajarannya. Aku bingung sekali. Selama ini aku begitu akrab dengan saudara-saudara sepupuku dari pihak Ayah. Jika aku memilih islam sebagai agamaku, aku takut mereka akan menjauhiku.

Hanya Kak Sisil satu-satunya sepupuku yang selalu mendukungku, "agama itu tentang keyakinan masing-masing orang Frey. Jika mereka memang menyayangimu, semestinya mereka tetap menghormati apapun keyakinanmu."

"Jika aku memilih menjadi pemeluk islam, apakah Kakak akan tetap menyayangiku seperti ini?"

"Tentu saja Frey," jawabnya, lalu tersenyum hangat. Dan kami pun berpelukan.

Namun cibiran saudara-saudara sepupuku yang lain membuat keyakinanku goyah. Aku akhirnya memilih menjadi umat non muslim, meski itu tak sesuai kata hatiku.

Di usia 20 dokter memvonisku menderita kanker otak. Sejak itu aku merasa bagai berada dalam sangkar emas, Ayah dan Ibu mengharuskanku selalu di rumah. Aku merasa kesepian.
Kehadiran seorang pria mengusir kesepian yang kurasa, walau kami hanya dipertemukan lewat dunia maya. Lalu saling mendengar suara via telepon. Pria itu seorang penganut muslim yang taat. Namun dia begitu menghargai perbedaan. Dia tak pernah bersikap seolah dia yang selalu benar. Dan berbeda dari kebanyakan pria berusia di atasku yang kukenal, dia tidak bersikap sok dewasa dan memperlakukanku layaknya adik.

Dia menyadarkan aku bahwa sebenarnya islam adalah agama yang damai, agama yang tak memaksa, dan agama yang memberikan ketenangan bagi setiap penganutnya. Kadang, di kala malam tiba aku menangis sendiri di balkon kamarku. Menyesali keputusanku dulu.

Seiring berjalannya waktu kami jadi semakin akrab, layaknya sahabat. Hingga aku kemudian menyadari ada desir aneh saat kudengar dia tertawa mendengar leluconku.

Tepat saat dia meneleponku sepulang dari terawih, di malam pertama terawih dilaksanakan, aku iseng-iseng bertanya, "Kriteria pasangan yang Kak Muhsin cari itu yang bagaimana?"

"Tentu saja yang solehah Frey. Memangnya kamu punya kenalan muslimah?"

"Kenapa harus cari muslimah? Mengapa bukan aku saja? Aku rela jadi mualaf." Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba saja aku berani mengatakannya.

"Aku senang mendengarmu ingin menjadi mualaf. Tetapi jika itu karena aku, aku minta urungkan niatmu Frey."

"Aku memang menyayangimu Kak. Tetapi sejak kecil aku sudah meyakini kebenaran ajaran islam. Hanya saja, aku takut dijauhi, aku takut kesepian, dan sendirian. Temani aku Kak. Bimbing aku ..."

"Tetapi, maaf Frey. Aku tetap tak bisa. Karena sejak awal kau bilang kita hanya bersahabat. Kau ingat? Awalnya kau menunjukkan padaku gambar-gambar model-model kaus yang kau buat, lalu kita bekerjasama hingga kini. Kau yang menggambar, aku yang menyablon. Maaf Frey, aku tak bisa membohongi hatiku. Bagiku, sekali sahabat, tetap sahabat."

Seketika, aku merasa seolah langit-langit di kamarku runtuh menimpa tubuhku yang rapuh. Aku tak kuat, "sudah malam Kak. Besok lagi kita telponannya."

***

"Sudahlah Non, jangan menangis terus. Ikhlaskan saja. Agar hati kita merasa lega dan tenang ...," ucap Bibi suatu pagi, ketika dia memasuki kamarku untuk beres-beres, demi melihatku sedang duduk di kursi balkon kamar dan terus menatap ke bawah sembari membiarkan air mata mengalir liar tanpa henti, seolah ingin bunuh diri. Selama ini hanya Bibi yang tahu kedekatan dan perasaanku pada pria pengusaha sablon dari Kediri itu, karena aku sering bercerita padanya hampir setiap hari.

"Bi, ajari aku masuk islam."

"Non, agama itu tentang keyakinan hati. Tidak boleh main-main."

"Aku tidak main-main Bi. Aku sangat serius!" ucapku tegas.

"Seserius apa memangnya? Bagaimana jika setelah menjadi mualaf pun dia tetap tak menerima Non?"

"Bi, ini bukan lagi tentang dia. Ini tentang keyakinan hatiku sejak kecil. Aku ingin masuk islam, tetapi aku takut dikucilkan. Sekarang aku tak peduli! Aku hanya ingin mengikuti kata hati."

"Non, saya takut sama Tuan."

"Tak perlu takut Bi, saya mendukung apapun pilihan anak-anak saya. Keyakinan memang sesuatu yang tak bisa dipaksakan." Ayah tiba-tiba muncul dari dalam kamar. Lalu berjalan penuh wibawa mendekatiku. "Ayo kita masuk islam sama-sama Nak," ajaknya sambil menyentuh pundakku.

Aku dan Bibi saling pandang, tak percaya. Mendadak Ibu datang, "Ayah, Ustaz Muhsin dari Kediri sudah datang menunggu di ruang tamu."

"Muhsin?"

"Ayah bertemu dengannya saat sedang dinas di Kediri. Dia pemuda yang hebat. Pengusaha sablon sekaligus cucu pemilik Pondok Pesantren. Sebenarnya, Ayah juga sama sepertimu, sudah lama ingin masuk islam tetapi takut dikucilkan di keluarga besar."

"Selama kita mampu menghormati keyakinan orang lain. InsyaAllah orang lainpun akan menghormati keyakinan kita," ucap Ibu sembari tersenyum
.

Selesai ....