Friday 26 June 2015

Jemari



Jemari

Tyana

Pria tampan yang selama bertahun-tahun masih kucintai itu kini sedang terlelap di ranjangnya. Masih sulit bagiku menerima kenyataan pedih ini, melihatnya harus merelakan sebelah tangannya diamputasi.

Kehilangan tangan, berarti juga kehilangan miliknya yang berharga. Jemari. Yang selalu digunakannya untuk menyuapkan makanan--aku ingat betul jika dari kecil dia enggan menggunakan sendok. Yang juga digunakannya untuk melakukan hobinya, bermain gitar. Yang bahkan digunakannya menggandeng tangan kekasih hatinya.

Jemari yang dulu masih mungil ketika mengusap lembut punggungku, di kala aku menangis. Jemari yang juga menggenggam erat tangan mungilku, saat kami menyebrang jalan menuju sekolah, maupun sepulang sekolah. Tetapi itu dahulu, sewaktu kami masih bocah. Ketika kami beranjak remaja, jemarinya bukan lagi serupa kapas lembut yang membalut luka hatiku.

Jemarinya berubah laksana belati yang menggores perih di hati ini. Itu terjadi saat kami sama-sama duduk di bangku SMA. Hatiku terasa panas ketika menyaksikan jemari itu menggenggam erat tangan gadis tercantik di sekolah, sebelum kemudian mereka pamit pulang duluan, di depan gerbang sekolah. Dan sadisnya, adegan itu terus terulang setiap hari, selama tiga tahun.

Dia terbangun, membuatku buru-buru menyeka air mata di pipi. "Tyana? Aku tak menyangka kau akan datang." Seketika dia berusaha duduk, lalu memelukku dengan sebelah tangannya. "Aku begitu merindukanmu. Sudah lebih dari setahun kita tak bertemu. Sejak kau memutuskan kuliah di luar kota."

Aku juga. Tetapi aku mencoba menepis rasa rindu itu. Karena bertemu denganmu, dan melihat kau bersamanya terasa amat sangat menyakitkan. Batinku.

"Oh, iya! Bagaimana kabarmu? Apakah di sana kau baik-baik saja Tya? Kau tampak lebih kurusan?" imbuhnya, sembari melonggarkan pelukan dan mencoba menatap mataku lekat-lekat.

Aku yang sejak tadi berdiri di samping ranjangnya, mencoba duduk di sisi ranjang. Entah mengapa, tatapan mata itu seketika mampu membuatku merasa kehilangan kekuatan untuk berdiri. Aku berusaha menghindari tatapannya. "Aku baik-baik saja. Akhir-akhir ini aku mengikuti program diet," dustaku.

"Tya, aku ...."

"Iya, aku sudah tahu. Tante sudah ceritakan semua padaku tadi, sebelum aku masuk kamarmu. Maaf, aku baru bisa menjengukmu hari ini ...."

Sebelumnya, aku sempat disambut ramah oleh ibunya, yang langsung memelukku, kala mendapati gadis bertubuh pendek dan berkulit kecoklatan inilah yang sedari tadi mengetuk pintu rumahnya. Lalu diajaknya aku masuk dan duduk di ruang tamu, beliau menanyakan kabar, dan bertanya mengapa sudah setahun aku tak pernah mengunjungi rumah ini lagi. Tentu saja, aku harus menjawabnya dengan dusta. Aku sangat malu mengatakan alasan yang sesungguhnya.

Kemudian, aku bertanya tentang keadaan anaknya. Dan, mulailah mengalir kisah tentang sebuah kecelakaan yang mengerikan, yang mengakibatkan anak lelakinya jadi seperti ini.

"Sudahlah, tak apa. Aku bisa mengerti. Jadwal kuliahmu pasti padat sekali," jawabnya. Tiba-tiba dia meraih tanganku, dan menggenggamnya dengan tangan kirinya, erat-erat.

***

Dengan penuh semangat kuketuk pintu rumah sahabatku yang sedang berulang tahun hari ini, Herlambang, sembari membawa sekotak kue ulang tahun buatanku sendiri. Tak lama pintu di depanku terbuka, lalu sesosok gadis mungil menyembulkan kepalanya. "Eh, Kak Tya!"

"Hai, Chilla! Kak Bang-bang ada?"

"Nggak ada Kak."

"Kemana?"

"Nggak tahu."

Lalu aku memutuskan menunggu, sembari menemani Chilla yang biasanya selalu sendiri saat kakaknya pergi, sebab kedua orang tuanya sibuk bekerja. Sejak sore hingga malam itu kuhabiskan waktu bersama Chilla, menonton televisi, sholat maghrib berjamaah, hingga makan malam berdua.

Jarum pendek jam di dinding ruang keluarga sudah menunjuk angka delapan, Ayah dan Ibu Herlambang dan Chilla pun sudah pulang. Aku terpaksa memutuskan untuk pamitan, dan menitipkan kue itu pada Chilla, yang dengan penuh semangat segera membawanya ke kamar kakaknya.

Ibunya Chilla mengantarkanku hingga pintu gerbang, melepas kepergianku dengan senyum dan lambaian tangan. Tak lama setelah aku mulai melangkah kulihat Herlambang pulang berboncengan dengan seorang perempuan yang tak asing di mataku, teman kami di sekolah.

Aku mengalihkan pandangan, lalu berlari secepat yang kubisa menuju rumahku, yang hanya berjarak dua rumah dari sini. Sejak itu aku benar-benar pergi jauh dari kehidupannya. Aku memilih melanjutkan kuliahku di luar kota.

***
Top of Form
Plakkk!

Sebuah tamparan keras tiba-tiba mendarat di pipi seorang perempuan berwajah putih mulus bak porselen, yang sedang menggandeng tangan sesosok lelaki bertubuh atletis. Semua pasang mata yang kebetulan sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan itu terperangah, menghentikan sejenak seluruh aktifitas, demi menyaksikan sebuah adegan serupa drama murahan di televisi ini. Aku terkejut sendiri. Entah mendapat kekuatan dari mana, mendadak aku telah melakukan ini semua. Aku belum pernah menampar orang seumur hidupku ini, terlebih sesama perempuan.

"Tyana ...." Kudengar suara Herlambang. Tetapi aku tak tahu bagaimana ekspresinya. Aku tak berani menatapnya. Dan, aku tak peduli bagaimana reaksinya. Mungkin, dia akan membenciku karena telah tega menampar kekasih hatinya, sekalipun kekasihnya itu telah berkhianat. Atau, bisa jadi dia justru berterima kasih, karena aku sudah membalaskan kekesalannya atas penghiatan perempuan sok cantik itu.

Aku berusaha berlari pergi. Menerobos kerumunan orang-orang yang masih memandangi kami berempat, sejak tadi.

Di pinggir jalan aku langsung memanggil taksi, masuk dengan cepat dan langsung meminta sang sopir untuk segera jalan.

Di dalam taksi aku terbayang kejadian tadi pagi. Sudah beberapa bulan ini aku tak bertemu Herlambang, tetapi aku selalu tahu kondisinya. Sebab setiap malam Chilla selalu bercerita padaku via telepon. Sejak bertemu dengannya sewaktu aku menjenguk Herlambang, aku dan Chilla kembali dekat seperti dulu. Dari Chilla, aku tahu jika Herlambang berusaha keras bangkit dari keterpurukan. Dia berusaha menyesuaikan diri dengan keadaannya kini.

Di minggu pertama, Chilla bilang, kakaknya sudah bisa mengambil dan menyuapkan makanan sendiri, mengambil dan meminum sendiri, bahkan mencuci baju sendiri, dengan tangan kiri. Lalu, minggu demi minggu yang berlalu, memberinya satu demi satu pencapaian baru. Hingga dirinya layak disebut penyandang difabel yang mandiri. Aku terharu, dan ikut bahagia karenanya. Semalam, Chilla tak lagi menelepon, tak seperti malam-malam sebelumnya. Justru, aku mendapat panggilan dari sebaris nomor asing.

"Besok pagi siap-siap! Jam tujuh aku jemput." Benarkah pemilik suara ini Herlambang?

Paginya, tepat pukul tujuh dia benar-benar membuat jantungku nyaris copot. Dia datang dengan mobil yang dikendarainya sendiri, hanya dengan tangan kiri. Ibuku sampai harus melepas kepergian kami dengan rasa was-was. Jangankan Ibu, aku sendiri saja ketar-ketir sepanjang jalan. Tetapi, usai kami turun dari mobil dan menapakkan kaki di parkiran sebuah mall, terbukti sudah jika kemampuan menyetirnya tetap baik walau hanya mengandalkan satu tangan.

Rasa lega, bangga, sekaligus bahagia bercampur jadi satu, di dalam hati.

"Mbak, kita sudah sampai." Suara sopir taksi itu akhirnya menyadarkanku dari lamunan.

***

Suara ketukan pintu memaksaku menghapus air mata, bangkit dari kasur, berlari ke ruang tamu, lalu membuka pintu. Mau bagaimana lagi, sore ini seluruh anggota keluarga tak ada di rumah. Aku terkejut mendapati Herlambang berdiri, sembari tersenyum lebar, dan memegang sebuah tas karton berlogo salah satu butik ternama. "Ini untukmu."

"Mengapa kau memberiku ini?"

"Sebagai tanda terima kasih. Karena kau sudah membuatku bersemangat menjalani hari-hari."

"Kau tidak marah karena tadi aku ...."

"Menampar dia? Hahaha ...." Dia geleng-geleng kepala. "Kau salah sasaran Tya, harusnya kau menamparku. Aku lelaki terbodoh di dunia."

"Maksudmu?"

"Aku memacari dia hanya untuk menang taruhan dan agar mendapat pujian dari teman-teman se-geng."

"Aku tak percaya kau sejahat itu?" Aku menggeleng-geleng tak percaya. Bagaimana mungkin sahabatku yang sejak kecil selalu baik padaku ini, tega melakukan itu pada seorang perempuan.

"Awalnya, memang begitu adanya. Tapi, seiring berjalannya waktu, karena tak tega aku berusaha tulus mencintainya."

"Lalu? Kenapa kalian sekarang?"

"Sejak kepergian seseorang, aku mulai sadar Tya, kalau usahaku gagal. Aku tak bisa mencintainya."

"Bohong! Kau pasti hanya berusaha membelanya kan? Agar dia tidak tampak jahat, karena meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?" Emosiku meledak. Antara rasa kesal dan cemburu, bercampur menjadi satu.

"Dia tak pernah meninggalkanku. Aku yang memutuskannya, sebulan setelah kau pergi."

"Hentikan!" Aku berlari masuk rumah, kemudian membanting pintu, dan menguncinya rapat-rapat.

Aku sangat marah. Sepertinya, aku hanya dijadikannya pelarian. Tak pernah kusangka orang yang begitu kucintai ternyata setega ini. Dulu, ketika dia tampak begitu sempurna, dia memilih bersanding dengan gadis cantik jelita. Tetapi, saat kemudian keadaannya begini, dia baru menerimaku, yang oleh beberapa orang tak pernah dianggap cantik. Enak saja! Bahkan, dia membuat hatiku semakin terbakar cemburu. Karena dia justru masih membela kekasihnya yang telah berkhianat, lalu mengarang cerita agar kekasihnya tampak tak bersalah.


Bersambung ....