Wednesday 24 August 2016

Bapak


 https://scontent.fcgk2-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/fr/cp0/e15/q65/1005243_291324264339286_153609456_n.jpg?efg=eyJpIjoiYiJ9&oh=ab06c160567b437b9d01150138da40b1&oe=5846FF0D


Di balik sikap kerasnya
tersimpan kelembutan jiwa
lewat ketegasan dia bimbing buah hatinya menantang dunia
agar siap sedia menghadapi kenyataan di depan mata

Bagimu dunia itu dianugerahi Tuhan keindahan tak terbatas
namun tak sedikit penghuninya yang buas
kasihmu terwujud dalam didikan tegas
supaya kami siap arungi cobaan yang ganas

Meski engkau tak sempurna
walau kami pun belum mampu buatmu bangga
meski kadang kami lontarkan canda seenaknya
walau tak jarang pula kami buatmu kecewa
percayalah pak, hormat kami padamu terpatri dalam jiwa

Selalu kami sebut namamu dalam do'a
senantiasa kami ingat pesanmu kala menapaki dunia
karena bagi kami engkau bapak terbaik untuk putra-putrinya

Selamat atas bertambahnya usia
semoga senantiasa sehat jiwa dan raga
penuh kasih tulus untuk kami bertiga
kian bijaksana dan jadi panutan kami semua ....



***

salam sayang dari kami
Amalia, Faishal, dan Dimas
Pasuruan, 25 Agustus 2016

Saturday 20 August 2016

Tak Perlu Takut Menikah



Menjadi insan dengan kondisi yang istimewa bukanlah pilihan kami. Namun apa boleh protes jika takdir Tuhan telah mengharuskan kami menerima kenyataan ini. Boleh pun juga percuma, tak akan dapat mengubah semuanya. Menerima dengan lapang dada dan menyesuaikan diri dengan keadaan merupakan solusi yang terbaik bagi kita semua.

Sebagai penyandang difabel banyak tantangan dan persoalan yang harus kami hadapi. Bukan hanya tentang kesulitan dan hambatan dalam beraktifitas, tetapi juga soal bagaimana penerimaan masyarakat non difabel terhadap kehadiran kami.

Banyaknya persoalan dan hambatan itulah yang kadang menghalangi kami. Tidak hanya dalam bidang karir dan pendidikan, tetapi juga dalam hal berumah tangga. Itu sebabnya banyak di antara kaum difabel yang tidak dapat menikah, belum, atau bahkan sengaja mengambil keputusan untuk hidup sendiri.

Nah, kakak saya dari nirwana maya yang satu ini dengan berani memutuskan untuk menikah dan nekat menerjang segala rintangan yang menghadang. Saya merasa beruntung sekali di suatu sore mendapatkan telepon dari kakak saya yang kini telah menjadi seorang ibu itu. Darinya saya mendapatkan penuturan kisah pengalaman dan beragam tips yang sangat bermanfaat.

Setelah saling bertanya kabar, saya langsung bertanya padanya masihkah dia tinggal di salah satu kota di Jawa Barat, dan ”masih” merupakan jawaban yang dia berikan. Saya tergelitik untuk bertanya lebih jauh, tidakkah sulit menjalani kehidupan rumah tangga dalam keadaan jauh dari saudara dan orang tua sedangkan mereka berdua sama-sama difabel. Dia tak dapat berjalan, sementara sang suami harus menggunakan kaki palsu. Katanya tidak juga. Selama ini mereka bisa saling bantu menbantu dalam hal mengurus rumah tangga.

 Sebagai contoh, karena dia tidak dapat berdiri dia tak mampu mengangkat ketel atau ceret, jadi suaminyalah yang melakukan hal tersebut. Suaminya pula yang melakukan beberapa keperluan yang membutuhkan aktifitas keluar rumah. Seperti misalnya bekerja, mengajak anak jalan-jalan, dan lain sebagainya. Sementara dia melakukan apa yang dia bisa. Seperti contohnya mencuci baju, memasak, dan menyapu lantai rumah. Dalam hal bekerja pun mereka bekerja sama katanya. Jadi di rumah dialah yang mengolah jajanan atau minuman untuk kemudian dijual sang suami di sekitar sekolahan.

Duh, so sweetnya ... jadi pengin cepat-cepat menikah. Hahaha .... becanda. Bagaimana dengan anda? Walau saya memang bermimpi untuk menikah di usia muda, bukan berarti saya akan ngebet banget dan nekat asal cepat. Tentu saja semua harus dipertimbangkan dengan matang sebelum mantap memutuskan untuk berumah tangga.

Tulisan ini pun tak dibuat dengan niat mempengaruhi siapapun. Menurut saya pilihan untuk menikah atau tidak merupakan hak pribadi. Tetapi, setidaknya sekarang saya bisa lebih sedikit optimis. Seandainya memungkinkan ingin pula menyebarkan optimisme tersebut dan memberi sedikit gambaran untuk sahabat-sahabat difabel yang bisa jadi sesungguhnya ingin menikah, dan keadaan pun masih memungkinkan, tetapi tak jua melangkah karena takut dan ragu-ragu.

Kesimpulan yang saya dapat dari penuturan kisah pengalaman ibu satu anak ini ialah, “jika kita bersedia mencoba dan berusaha, sesulit apapun kondisinya, tidak ada yang tidak mungkin.”


Thursday 18 August 2016

Pesan Cinta Teruntuk Sahabat yang Sedang Patah Hati



Bila cintamu tak berbalas, bukan berarti kau tak baik, bukan berarti tak layak dicintai. Sebab cinta tak selamanya bicara tentang baik dan buruk. Cinta pun tak selalu memandang kesempurnaan.

Meminjam istilah Pak Mario Teguh, cinta adalah tentang keserasian jiwa.

 Tetapi yang saya percayai bahwa keserasian jiwa merupakan bagian dari takdir Sang Pencipta. Jadi sekeras apapun kau berupaya, jika memang kalian tak ditakdirkan berjodoh, ya, tetap tidak akan dapat bersama.

Meski begitu, jangan pernah sesali semua upaya yang pernah kau lakukan. Jika kita tak mencoba kita tak akan pernah tahu bagaimana hasilnya.

Upayamu, sekecil apapun itu, merupakan modal untuk masa depan yang lebih baik. Untuk menjadi pribadi yang berkualitas.

Sebagai contoh, semisal saat ini engkau sebagai wanita yang sedang jatuh cinta pada pria yang tak pernah mengacuhkanmu, menganggap kau seakan tak pernah ada. Kau pasti sakit hati dan kecewa. Tetapi mulai sekarang berupayalah sabar dan berlapang dada menerimanya.

Suatu ketika, saat engkau sudah menemukan pasangan jiwamu, kau akan lebih bisa menghargai sekecil apapun perhatiannya. Tidak mudah mengambek karena persoalan remeh. Misalnya mungkin dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tak sempat menghubungi dan memperhatikanmu. Sebab bisa jadi dia sibuk bekerja demi masa depan kalian juga.

Atau mungkin seandainya kini kau sebagai pria sedang jatuh cinta pada seorang wanita yang jutek dan ketus, seolah-olah kau adalah musuh bebuyutannya. Namun kamu yang enggan menyerah begitu saja, tetap berusaha sabar dan mengerahkan segala usaha agar dapat meluluhkan hatinya.

Kelak, saat tiba-tiba kekasih hatimu meledak-ledak dengan amarah yang membara, bukan tak mungkin kau akan lebih paham bagaimana  cara meredam emosimu, dan bahkan mungkin kamu pun bisa menenangkannya. Sebab sesabar apapun seorang wanita, ada saat-saat tertentu di mana susah bagi kami mengontrol emosi. Misalnya saja saat datang bulan.

Jadi jangan pernah sesali upaya baikmu, walau itu tak mampu membuatnya menjadi milikmu. Upaya baikmu pasti akan berguna bagi pasangan jiwamu kelak, dan masa depanmu yang lebih baik. Tak ada yang sia-sia.

Menangislah sepuasnya jika itu mampu melegakan hatimu. Namun percayalah kelak akan ada saatnya kamu menangis bukan karena sedih, melainkan karena terharu saking bahagianya.

Sesakit apapun yang kau rasakan kini, percayalah seiring berjalannya waktu akan ada banyak hal yang mampu sembuhkan luka hatimu itu.

Teruntuk sahabat yang sedang patah hati, percayalah jika Tuhan pasti sudah menyiapkan pasangan jiwamu. Sabar ... mungkin bagi-Nya ini belum saatnya publikasi.

Saya percaya pelangi itu indah, walau belum pernah melihatnya secara langsung. Seperti itu pula saya percaya cinta sejati itu ada, walau belum mendapatkannya.

***

Saya membuat tulisan ini bukan bermaksud menggurui, hanya ingin menyemangati sahabat-sahabat senasib yang sedang patah hati. Karena saya pernah berada di posisi kalian. Iya, cinta saya tak berbalas, atau istilah populernya bertepuk sebelah tangan. Bahkan berkali-kali. Sakit, tentu saja sangat sakit. Tetapi syukurlah Tuhan menciptakan hati tidak kasat mata, jadi saya tidak tahu berapa parah retaknya. Seandainya kasat mata seperti kaca, mungkin sudah tampaklah goresan itu di mana-mana.

Dari situlah timbul rasa empati saat melihat status-status galau yang belakangan sering muncul di beranda rumah biru.  Saya tak bermaksud menyalahkan, justru masih lebih baik diungkapkan dari pada dipendam dan malah bikin sakit-sakitan.  Tetapi akan jauh lebih baik lagi bila kita mulai berusaha berpikir yang baik, sehingga apa yang kita tulis di media sosial pun bermuatan yang baik. Nah, ini yang sulit. Saya sendiri juga tak boleh munafik kalau kadang belum bisa berlaku seperti ini. Namun jika saya berbuat buruk dan sekaligus mengajak menuju ke keburukan, apa bedanya saya dengan setan? Jadi bagi saya, bila ada insan yang mengatakan tentang kebaikan, tetapi belum dapat mempraktikkannya, itu manusiawi. Jadi saya mohon jangan dikecam. Temanilah saya agar sama-sama berubah menuju ke arah kebaikan....  ^_^ 

 

Tuesday 16 August 2016

Pamitan



Gadis manis itu bernama Putri dan dia memiliki kekasih bernama Putra. Terdengar serasi bukan? Tetapi takdir ternyata memiliki rencana lain. Mereka tidak digariskan untuk berjodoh.
"Aku minta putus, Mas," ucap Putri tak lama setelah mereka sama-sama duduk berhadapan dalam sebuah cafe.
Mendadak keduanya terdiam. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing.


"Apa salahku Put?" Putra buka suara.
"Tak ada," jawabnya singkat.
"Lalu?"
"Ibu sudah memilihkan jodoh untukku dan aku dipaksa menerimanya."
Mereka sama-sama terdiam kembali untuk waktu yang cukup lama.
"Baiklah, terserah kau saja! Tapi ada syaratnya,"
jawab Putra
"Apa?" tanya Putri.
"Pamitlah dulu pada ibu ... "


***


Azan asar baru saja berkumandang di masjid kampung Kali Pasir. Tak lama tampak anak-anak kecil
berlarian menuju masjid untuk salat berjamaah, kemudian mengaji. Sesekali tampak ibu-ibu berada di halaman rumah. Ada yang menyapu, menyirami tanaman, atau sekedar mengobrol—menggunjingkan aib tetangga. Sepasang muda-mudi yang berboncengan dengan motor tiba-tiba melintas. Kemudian berhenti di sebuah rumah yang temboknya masih batu bata, tak diselimuti adonan semen.

"Ayo masuk Dek!" ajak Putra. Dengan takut-takut, Putri pun melangkah perlahan. Putri begitu membenci hari ini, jam ini, detik ini. Kebenciannya semakin dalam saat mendapati sesosok ibu paruh baya yang seketika menyambutnya ramah.


Tidak. Bukan ibu itu yang dibencinya, melainkan keadaannya, dirinya sendiri dan pilihannya kini.
Mereka bertiga duduk di atas kursi tamu berwarna usang.


"Bu, maaf! Saya ke sini mau pamitan," ucap Putri membuka pembicaraan. Hati Putri serasa teriris oleh ucapannya sendiri.
"Pamitan? Memangnya kau mau ke mana, Nduk?" tanya Ibu.
Putri tak sanggup menjawab. Dia tertunduk pilu. Menyembunyikan air mata yang berjatuhan dari pandangancalon ibu mertuanya itu.
"Maksud Putri, dia ingin mengakhiri hubungan kami
Bu." Putra angkat bicara.


Seketika waktu seolah berhenti berputar. Mereka terdiam tak bergerak. Semua membisu membeku. Beberapa detik lagi, Putri dan Putra akan menjadi mantan kekasih.
"Kenapa Nduk?" tanya Ibu.


Putri tak sanggup lagi menjawab. Air matanya justru mengalir semakin deras. Dengan sabar, Ibu masih menunggu penjelasan Putri yang masih menunduk pilu. Detik demi detik berlalu. Menit demi menit terlewati tanpa jawaban dari Putri.

Ibu bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang menjadi alasan Putri memilih jalan ini. Mungkinkah anak kesayangannya—Putra—telah melukai hati kecilnya? Atau memiliki kesalahan yang sulit Putri ampuni? Atau mungkin dirinyalah yang justru bersalah? Mungkin karena dia terlalu cerewet dan banyak menuntut.
"Putri, jadi wanita itu harus pintar memasak agar suami senang dan betah berada di rumah," ucapnya suatu ketika kala dia dan Putri sedang memasak di dapur.
"Iya Bu," jawab gadis itu lembut.
"Eh, itu cara memotong wortelnya salah. Harusnya begini Nduk!" lanjutnya, sambil mencontohkan. Putri menurut saja tak banyak membantah.


Ibu sudah tahu dari Putra jika latar belakang Putri dan Putra jauh berbeda. Putri anak sepasang pengusaha mebel, sedangkan Putra hanya anak seorang janda. Buruh cuci pula. Namun seingatnya, dulu Ibu sudah pernah bicara pada Putri tentang ini, "Nduk, masmu itu anak orang ndak
punya. Ibunya ini kerjaannya cuma buruh cuci. Kamu yakin nantinya tak bakal menyesal?"


Kala itu Putri menggeleng-geleng cepat. Lalu menjawab dengan mantap, "Tidak Bu. Saya akan menerima Mas Putra dan Ibu apa adanya."
"Baiklah Nduk, jika itu memang sudah menjadi keputusanmu. Yang jelas Ibu sudah jujur padamu dari
awal."


Ibu kembali tersadar dari lamunannya. Tampak di depannya seorang gadis berambut panjang itu masih tertunduk. Tetapi, kini suara isak tangisnya terdengar jelas. Di sebelahnya, tampak anak lelakinya sedang memandangi kekasihnya dengan tatapan khawatir tanpa bisa berbuat apa-apa. Sungguh berat baginya melepaskan Putri. Gadis manis yang sebenarnya rapuh dan manja, tetapi punya kesungguhan besar untuk menjadi calon istri yang baik bagi anaknya.

***

"Ibu lagi ngapain?" tanyanya dengan nada suaranya yang khas, terdengar sedikit manja.
"Cuci baju Nduk."
"Wah, aku bantuin ya Bu? Sekalian aku mau belajar mencuci baju. Kata Mas kalau nanti aku jadi istrinya, aku harus bisa nyuci karena di rumah ini belum ada mesin cuci," tawarnya.
Ibu serasa ingin menangis mendengar ucapan polos Putri saat itu. Antara kasihan karena melihat gadis berkulit kuning langsat itu harus menerima kenyataan tak menyenangkan ini. Sekaligus terharu sebab gadis itu tampak bersungguh-sungguh akan menerima anaknya dengan apa adanya. Bahkan, berusaha menjadi pendamping yang selalu siap menemani dan membantunya menjalani kehidupan.

***

Ibu rasa tak baik terus menyiksa gadis itu dengan menantikan jawaban yang sulit dia katakan. Memang di dunia ini ada beberapa hal yang tak selamanya harus diketahui namun harus dipahami.
"Yasudah jika itu memang sudah menjadi keputusanmu Nduk. Ibu akan mencoba mengerti. Mungkin kalian memang tak jodoh. Ibu hanya minta, tolong tetap jaga
silaturahmi di antara kita!" pintanya.
"Baik Bu," sahut Putri dengan terbata-bata diselipi suara isakan.

Sejujurnya, amat sulit bagi Ibu untuk merelakan Putri. Dia terlanjur menyayanginya seperti anaknya sendiri. Terlanjur yakin jika gadis pemilik lesung pipit itu suatu ketika akan jadi menantunya, istri dari anak tunggalnya, dan ibu dari cucu-cucunya kelak

.
Tak tega melihat kekasihnya terlalu lama menderita karena rasa bersalah, dilema, atau entah apalagi yang dirinya tak tahu, Putra memutuskan mengajak Putri berpamitan pada ibunya untuk kemudian mengantarnya pulang.
"Apapun yang terjadi, Ibu tetap akan menganggapmu seperti anak Ibu sendiri, Nduk," ucap ibu sembari mengelus lembut kepala Putri, ketika gadis itu mencium tangannya saat bersalaman. "Ibu minta kalau kamu menikah nanti, entah dengan siapapun itu, kabar-kabari Ibu ya Nduk!"

Usai melepaskan salaman itu, Putri berusaha menjawab, "Iya Bu." Masih terselip suara isakan dari ucapannya. Membuat hati Ibu merasa iba. Putra pun akhirnya mengajak Putri agar cepat-cepat. Karena semakin lama mereka di sini, dia pikir mungkin hati gadis itu akan semakin teriris pedih.


"Yasudah, Bu. Kami berangkat ya?" pamitnya sambil menggenggam tangan Putri sebagai isyarat untuk mengajak gadis itu segera pergi. Ibu hanya mampu mengangguk, lalu mengiringi kepergian mereka hingga depan pintu.

Ibu masih terpaku menyaksikan kepergian mereka. Pikiran Ibu kembali melayang jauh menuju berjuta-juta detik yang telah berlalu.


***

Sepasang muda-mudi berseragam SMA berdiri di depan pintu yang baru saja dibukakannya. Si pria tersenyum malu-malu, sedangkan si gadis langsung tertunduk takut-takut.
“Bu, ini Putri." Putra memperkenalkan gadis itu pada Ibu. Sosok gadis yang belakangan seringkali diceritakannya.

Putra bukan tergolong anak yang manja sebenarnya, tetapi dia cukup terbuka dan akrab dengan ibunya. Tak heran bila dia sering menceritakan kedekatannya dengan beberapa teman di sekolahnya.
Ibu sudah lama punya firasat jika Putri akan jadi lebih dari sebatas teman bagi anaknya.kini, saat melihat mereka, kini Ibu tahu jika firasatnya benar.
"Oh, ini toh yang namanya Putri?" Nada suara Ibu terdengar ramah, memberi Putri keyakinan untuk memberanikan diri mengangkat wajahnya. Seketika senyuman hangat itu menyambut pandangan matanya.


"Iya Tante."
"Panggil ibu saja biar terdengar lebih akrab!" pintanya.

Friday 12 August 2016

Katanya Merdeka



Katanya merdeka
Tetapi kebebasan hanya milik segelintir manusia
Sisanya banyak tersia-sia
Seakan tak punya hak berbahagia

Katanya merdeka
Tetapi konflik di mana-mana
Keegoisan merajalela
Rakyat jelata bersimbah air mata
Segelintir penguasa berfoya-foya

Katanya merdeka
Tetapi yang berbeda masih dipandang sebelah mata
Yang tak sempurna dianggap tak layak ada
Yang bersalah dipuja bak dewa
Yang menyebar kebencian disangka suci tanpa dosa

Ternyata memang merdeka
Tetapi masih berlimpah tugas di depan mata
Supaya merdeka dapat merata
Seluruh rakyat pun makmur sejahtera

Merdeka adalah hak kita
Meratakannya tugas penting anak bangsa
Berhenti tunjuk hidung musuh, teman, apalagi tetangga
Lakukan upaya terbaik yang kita bisa
Merdekaaaa....!



By Amalia Wardhani
 


Pasuruan, 12/08/2016 17:32:07

Thursday 11 August 2016

Merpati



Dalam anganku engkau merpati
Walau disergap rayuan sejuta bidadari
Namun tak mudah jatuh hati

Dalam harapku dikau merpati
Bebas terbang jauh dan tinggi
Namun tak akan alpa pulang kembali

Dalam mimpi aku menjelma rumah
Tempat merpati pulang melepas lelah ...