Saturday 20 August 2016

Tak Perlu Takut Menikah



Menjadi insan dengan kondisi yang istimewa bukanlah pilihan kami. Namun apa boleh protes jika takdir Tuhan telah mengharuskan kami menerima kenyataan ini. Boleh pun juga percuma, tak akan dapat mengubah semuanya. Menerima dengan lapang dada dan menyesuaikan diri dengan keadaan merupakan solusi yang terbaik bagi kita semua.

Sebagai penyandang difabel banyak tantangan dan persoalan yang harus kami hadapi. Bukan hanya tentang kesulitan dan hambatan dalam beraktifitas, tetapi juga soal bagaimana penerimaan masyarakat non difabel terhadap kehadiran kami.

Banyaknya persoalan dan hambatan itulah yang kadang menghalangi kami. Tidak hanya dalam bidang karir dan pendidikan, tetapi juga dalam hal berumah tangga. Itu sebabnya banyak di antara kaum difabel yang tidak dapat menikah, belum, atau bahkan sengaja mengambil keputusan untuk hidup sendiri.

Nah, kakak saya dari nirwana maya yang satu ini dengan berani memutuskan untuk menikah dan nekat menerjang segala rintangan yang menghadang. Saya merasa beruntung sekali di suatu sore mendapatkan telepon dari kakak saya yang kini telah menjadi seorang ibu itu. Darinya saya mendapatkan penuturan kisah pengalaman dan beragam tips yang sangat bermanfaat.

Setelah saling bertanya kabar, saya langsung bertanya padanya masihkah dia tinggal di salah satu kota di Jawa Barat, dan ”masih” merupakan jawaban yang dia berikan. Saya tergelitik untuk bertanya lebih jauh, tidakkah sulit menjalani kehidupan rumah tangga dalam keadaan jauh dari saudara dan orang tua sedangkan mereka berdua sama-sama difabel. Dia tak dapat berjalan, sementara sang suami harus menggunakan kaki palsu. Katanya tidak juga. Selama ini mereka bisa saling bantu menbantu dalam hal mengurus rumah tangga.

 Sebagai contoh, karena dia tidak dapat berdiri dia tak mampu mengangkat ketel atau ceret, jadi suaminyalah yang melakukan hal tersebut. Suaminya pula yang melakukan beberapa keperluan yang membutuhkan aktifitas keluar rumah. Seperti misalnya bekerja, mengajak anak jalan-jalan, dan lain sebagainya. Sementara dia melakukan apa yang dia bisa. Seperti contohnya mencuci baju, memasak, dan menyapu lantai rumah. Dalam hal bekerja pun mereka bekerja sama katanya. Jadi di rumah dialah yang mengolah jajanan atau minuman untuk kemudian dijual sang suami di sekitar sekolahan.

Duh, so sweetnya ... jadi pengin cepat-cepat menikah. Hahaha .... becanda. Bagaimana dengan anda? Walau saya memang bermimpi untuk menikah di usia muda, bukan berarti saya akan ngebet banget dan nekat asal cepat. Tentu saja semua harus dipertimbangkan dengan matang sebelum mantap memutuskan untuk berumah tangga.

Tulisan ini pun tak dibuat dengan niat mempengaruhi siapapun. Menurut saya pilihan untuk menikah atau tidak merupakan hak pribadi. Tetapi, setidaknya sekarang saya bisa lebih sedikit optimis. Seandainya memungkinkan ingin pula menyebarkan optimisme tersebut dan memberi sedikit gambaran untuk sahabat-sahabat difabel yang bisa jadi sesungguhnya ingin menikah, dan keadaan pun masih memungkinkan, tetapi tak jua melangkah karena takut dan ragu-ragu.

Kesimpulan yang saya dapat dari penuturan kisah pengalaman ibu satu anak ini ialah, “jika kita bersedia mencoba dan berusaha, sesulit apapun kondisinya, tidak ada yang tidak mungkin.”


No comments:

Post a Comment