Menjadi insan dengan kondisi yang istimewa bukanlah pilihan
kami. Namun apa boleh protes jika takdir Tuhan telah mengharuskan kami menerima
kenyataan ini. Boleh pun juga percuma, tak akan dapat mengubah semuanya.
Menerima dengan lapang dada dan menyesuaikan diri dengan keadaan merupakan solusi
yang terbaik bagi kita semua.
Sebagai penyandang difabel banyak tantangan dan persoalan yang
harus kami hadapi. Bukan hanya tentang kesulitan dan hambatan dalam
beraktifitas, tetapi juga soal bagaimana penerimaan masyarakat non difabel
terhadap kehadiran kami.
Banyaknya persoalan dan hambatan itulah yang kadang
menghalangi kami. Tidak hanya dalam bidang karir dan pendidikan, tetapi juga
dalam hal berumah tangga. Itu sebabnya banyak di antara kaum difabel yang tidak
dapat menikah, belum, atau bahkan sengaja mengambil keputusan untuk hidup
sendiri.
Nah, kakak saya dari nirwana maya yang satu ini dengan
berani memutuskan untuk menikah dan nekat menerjang segala rintangan yang
menghadang. Saya merasa beruntung sekali di suatu sore mendapatkan telepon dari
kakak saya yang kini telah menjadi seorang ibu itu. Darinya saya mendapatkan
penuturan kisah pengalaman dan beragam tips yang sangat bermanfaat.
Setelah saling bertanya kabar, saya langsung bertanya
padanya masihkah dia tinggal di salah satu kota di Jawa Barat, dan ”masih”
merupakan jawaban yang dia berikan. Saya tergelitik untuk bertanya lebih jauh,
tidakkah sulit menjalani kehidupan rumah tangga dalam keadaan jauh dari saudara
dan orang tua sedangkan mereka berdua sama-sama difabel. Dia tak dapat
berjalan, sementara sang suami harus menggunakan kaki palsu. Katanya tidak
juga. Selama ini mereka bisa saling bantu menbantu dalam hal mengurus rumah
tangga.
Sebagai contoh,
karena dia tidak dapat berdiri dia tak mampu mengangkat ketel atau ceret, jadi
suaminyalah yang melakukan hal tersebut. Suaminya pula yang melakukan beberapa
keperluan yang membutuhkan aktifitas keluar rumah. Seperti misalnya bekerja,
mengajak anak jalan-jalan, dan lain sebagainya. Sementara dia melakukan apa yang
dia bisa. Seperti contohnya mencuci baju, memasak, dan menyapu lantai rumah. Dalam
hal bekerja pun mereka bekerja sama katanya. Jadi di rumah dialah yang mengolah
jajanan atau minuman untuk kemudian dijual sang suami di sekitar sekolahan.
Duh, so sweetnya ... jadi pengin cepat-cepat menikah. Hahaha
.... becanda. Bagaimana dengan anda? Walau saya memang bermimpi untuk menikah
di usia muda, bukan berarti saya akan ngebet banget dan nekat asal cepat. Tentu
saja semua harus dipertimbangkan dengan matang sebelum mantap memutuskan untuk
berumah tangga.
Tulisan ini pun tak dibuat dengan niat mempengaruhi
siapapun. Menurut saya pilihan untuk menikah atau tidak merupakan hak pribadi. Tetapi,
setidaknya sekarang saya bisa lebih sedikit optimis. Seandainya memungkinkan
ingin pula menyebarkan optimisme tersebut dan memberi sedikit gambaran untuk
sahabat-sahabat difabel yang bisa jadi sesungguhnya ingin menikah, dan keadaan
pun masih memungkinkan, tetapi tak jua melangkah karena takut dan ragu-ragu.
Kesimpulan yang saya dapat dari penuturan kisah pengalaman
ibu satu anak ini ialah, “jika kita bersedia mencoba dan berusaha, sesulit
apapun kondisinya, tidak ada yang tidak mungkin.”
No comments:
Post a Comment