Tuesday 16 August 2016

Pamitan



Gadis manis itu bernama Putri dan dia memiliki kekasih bernama Putra. Terdengar serasi bukan? Tetapi takdir ternyata memiliki rencana lain. Mereka tidak digariskan untuk berjodoh.
"Aku minta putus, Mas," ucap Putri tak lama setelah mereka sama-sama duduk berhadapan dalam sebuah cafe.
Mendadak keduanya terdiam. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing.


"Apa salahku Put?" Putra buka suara.
"Tak ada," jawabnya singkat.
"Lalu?"
"Ibu sudah memilihkan jodoh untukku dan aku dipaksa menerimanya."
Mereka sama-sama terdiam kembali untuk waktu yang cukup lama.
"Baiklah, terserah kau saja! Tapi ada syaratnya,"
jawab Putra
"Apa?" tanya Putri.
"Pamitlah dulu pada ibu ... "


***


Azan asar baru saja berkumandang di masjid kampung Kali Pasir. Tak lama tampak anak-anak kecil
berlarian menuju masjid untuk salat berjamaah, kemudian mengaji. Sesekali tampak ibu-ibu berada di halaman rumah. Ada yang menyapu, menyirami tanaman, atau sekedar mengobrol—menggunjingkan aib tetangga. Sepasang muda-mudi yang berboncengan dengan motor tiba-tiba melintas. Kemudian berhenti di sebuah rumah yang temboknya masih batu bata, tak diselimuti adonan semen.

"Ayo masuk Dek!" ajak Putra. Dengan takut-takut, Putri pun melangkah perlahan. Putri begitu membenci hari ini, jam ini, detik ini. Kebenciannya semakin dalam saat mendapati sesosok ibu paruh baya yang seketika menyambutnya ramah.


Tidak. Bukan ibu itu yang dibencinya, melainkan keadaannya, dirinya sendiri dan pilihannya kini.
Mereka bertiga duduk di atas kursi tamu berwarna usang.


"Bu, maaf! Saya ke sini mau pamitan," ucap Putri membuka pembicaraan. Hati Putri serasa teriris oleh ucapannya sendiri.
"Pamitan? Memangnya kau mau ke mana, Nduk?" tanya Ibu.
Putri tak sanggup menjawab. Dia tertunduk pilu. Menyembunyikan air mata yang berjatuhan dari pandangancalon ibu mertuanya itu.
"Maksud Putri, dia ingin mengakhiri hubungan kami
Bu." Putra angkat bicara.


Seketika waktu seolah berhenti berputar. Mereka terdiam tak bergerak. Semua membisu membeku. Beberapa detik lagi, Putri dan Putra akan menjadi mantan kekasih.
"Kenapa Nduk?" tanya Ibu.


Putri tak sanggup lagi menjawab. Air matanya justru mengalir semakin deras. Dengan sabar, Ibu masih menunggu penjelasan Putri yang masih menunduk pilu. Detik demi detik berlalu. Menit demi menit terlewati tanpa jawaban dari Putri.

Ibu bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang menjadi alasan Putri memilih jalan ini. Mungkinkah anak kesayangannya—Putra—telah melukai hati kecilnya? Atau memiliki kesalahan yang sulit Putri ampuni? Atau mungkin dirinyalah yang justru bersalah? Mungkin karena dia terlalu cerewet dan banyak menuntut.
"Putri, jadi wanita itu harus pintar memasak agar suami senang dan betah berada di rumah," ucapnya suatu ketika kala dia dan Putri sedang memasak di dapur.
"Iya Bu," jawab gadis itu lembut.
"Eh, itu cara memotong wortelnya salah. Harusnya begini Nduk!" lanjutnya, sambil mencontohkan. Putri menurut saja tak banyak membantah.


Ibu sudah tahu dari Putra jika latar belakang Putri dan Putra jauh berbeda. Putri anak sepasang pengusaha mebel, sedangkan Putra hanya anak seorang janda. Buruh cuci pula. Namun seingatnya, dulu Ibu sudah pernah bicara pada Putri tentang ini, "Nduk, masmu itu anak orang ndak
punya. Ibunya ini kerjaannya cuma buruh cuci. Kamu yakin nantinya tak bakal menyesal?"


Kala itu Putri menggeleng-geleng cepat. Lalu menjawab dengan mantap, "Tidak Bu. Saya akan menerima Mas Putra dan Ibu apa adanya."
"Baiklah Nduk, jika itu memang sudah menjadi keputusanmu. Yang jelas Ibu sudah jujur padamu dari
awal."


Ibu kembali tersadar dari lamunannya. Tampak di depannya seorang gadis berambut panjang itu masih tertunduk. Tetapi, kini suara isak tangisnya terdengar jelas. Di sebelahnya, tampak anak lelakinya sedang memandangi kekasihnya dengan tatapan khawatir tanpa bisa berbuat apa-apa. Sungguh berat baginya melepaskan Putri. Gadis manis yang sebenarnya rapuh dan manja, tetapi punya kesungguhan besar untuk menjadi calon istri yang baik bagi anaknya.

***

"Ibu lagi ngapain?" tanyanya dengan nada suaranya yang khas, terdengar sedikit manja.
"Cuci baju Nduk."
"Wah, aku bantuin ya Bu? Sekalian aku mau belajar mencuci baju. Kata Mas kalau nanti aku jadi istrinya, aku harus bisa nyuci karena di rumah ini belum ada mesin cuci," tawarnya.
Ibu serasa ingin menangis mendengar ucapan polos Putri saat itu. Antara kasihan karena melihat gadis berkulit kuning langsat itu harus menerima kenyataan tak menyenangkan ini. Sekaligus terharu sebab gadis itu tampak bersungguh-sungguh akan menerima anaknya dengan apa adanya. Bahkan, berusaha menjadi pendamping yang selalu siap menemani dan membantunya menjalani kehidupan.

***

Ibu rasa tak baik terus menyiksa gadis itu dengan menantikan jawaban yang sulit dia katakan. Memang di dunia ini ada beberapa hal yang tak selamanya harus diketahui namun harus dipahami.
"Yasudah jika itu memang sudah menjadi keputusanmu Nduk. Ibu akan mencoba mengerti. Mungkin kalian memang tak jodoh. Ibu hanya minta, tolong tetap jaga
silaturahmi di antara kita!" pintanya.
"Baik Bu," sahut Putri dengan terbata-bata diselipi suara isakan.

Sejujurnya, amat sulit bagi Ibu untuk merelakan Putri. Dia terlanjur menyayanginya seperti anaknya sendiri. Terlanjur yakin jika gadis pemilik lesung pipit itu suatu ketika akan jadi menantunya, istri dari anak tunggalnya, dan ibu dari cucu-cucunya kelak

.
Tak tega melihat kekasihnya terlalu lama menderita karena rasa bersalah, dilema, atau entah apalagi yang dirinya tak tahu, Putra memutuskan mengajak Putri berpamitan pada ibunya untuk kemudian mengantarnya pulang.
"Apapun yang terjadi, Ibu tetap akan menganggapmu seperti anak Ibu sendiri, Nduk," ucap ibu sembari mengelus lembut kepala Putri, ketika gadis itu mencium tangannya saat bersalaman. "Ibu minta kalau kamu menikah nanti, entah dengan siapapun itu, kabar-kabari Ibu ya Nduk!"

Usai melepaskan salaman itu, Putri berusaha menjawab, "Iya Bu." Masih terselip suara isakan dari ucapannya. Membuat hati Ibu merasa iba. Putra pun akhirnya mengajak Putri agar cepat-cepat. Karena semakin lama mereka di sini, dia pikir mungkin hati gadis itu akan semakin teriris pedih.


"Yasudah, Bu. Kami berangkat ya?" pamitnya sambil menggenggam tangan Putri sebagai isyarat untuk mengajak gadis itu segera pergi. Ibu hanya mampu mengangguk, lalu mengiringi kepergian mereka hingga depan pintu.

Ibu masih terpaku menyaksikan kepergian mereka. Pikiran Ibu kembali melayang jauh menuju berjuta-juta detik yang telah berlalu.


***

Sepasang muda-mudi berseragam SMA berdiri di depan pintu yang baru saja dibukakannya. Si pria tersenyum malu-malu, sedangkan si gadis langsung tertunduk takut-takut.
“Bu, ini Putri." Putra memperkenalkan gadis itu pada Ibu. Sosok gadis yang belakangan seringkali diceritakannya.

Putra bukan tergolong anak yang manja sebenarnya, tetapi dia cukup terbuka dan akrab dengan ibunya. Tak heran bila dia sering menceritakan kedekatannya dengan beberapa teman di sekolahnya.
Ibu sudah lama punya firasat jika Putri akan jadi lebih dari sebatas teman bagi anaknya.kini, saat melihat mereka, kini Ibu tahu jika firasatnya benar.
"Oh, ini toh yang namanya Putri?" Nada suara Ibu terdengar ramah, memberi Putri keyakinan untuk memberanikan diri mengangkat wajahnya. Seketika senyuman hangat itu menyambut pandangan matanya.


"Iya Tante."
"Panggil ibu saja biar terdengar lebih akrab!" pintanya.

No comments:

Post a Comment