Friday 30 September 2016

Bukan Kotak-Kotak Cinta



Pulang sekolah langsung ke mall, itulah kebiasaanku dan gang, The Candy Purple. Biasanya sih kami Cuma sekedar keliling buat cuci mata sambil ngobrol dan ngemil. Mau bagaimana lagi, kalau masih jam segini kami pulang, biasanya di rumah Cuma ketemu bibi dan mbak, asisten rumah tangga keluarga kami. Membosankan.

Mendadak mataku tertarik memandangi sebuah toko yang memajang kaus-kaus. Sepasang kaki ini melangkah lincah mengikuti kata hati.

“Eh, Lidya! Kamu mau ke mana?” Terdengar suara Tania yang cempreng itu, jauh di belakangku. Tapi aku tidak ingin menoleh sedikit pun. Fokusku terlanjur tertuju hanya pada sebuah kaus warna ungu yang terpajang manis di toko yang mulai kumasuki.

“Mungkin Lidya pengin beli kaus,” sahut Cindy, masih terdengar sayup-sayup.
Aku mulai menyentuh kainnya yang lembut. Wah, kaus ini begitu keren! Walau berwarna ungu tapi modelnya tidak aneh-aneh. Aku yakin cowok yang mengenakan kaus ini akan tetap tampak macho. Apalagi jika cowok itu adalah, Pratama Wicaksana.

Dari kecil aku memanggilnya Tama. Entah sudah menjadi takdir Tuhan, atau Cuma kebetulan, sejak TK kami selalu dipertemukan. Sekelas, bahkan sebangku. Padahal, sumpah! Kami tak pernah janjian. Saling memberi tahu akan bersekolah di mana saja, kami selalu menjadikannya sebuah rahasia.

“Ada deh!” jawabku saat lulus SMP dulu, sok misterius, sewaktu dia tanya.

“Yasudah! Aku juga nggak bakal kasih tahu ke mana aku lanjutin SMA.” Dia juga tak mau kalah.

Kalau saja tidak ingat di sekitar kami ada banyak murid, aku pasti sudah langsung memeluknya ketika berjumpa di hari pertama MOS. Akhirnya kami pun hanya bisa salaman doang waktu itu.

Aneh tapi nyata, begitulah teman-teman menjuluki jenis persahabatan kami. Kami punya sifat, hobi, dan bakat yang berbeda satu sama lain.

Dia cowok yang tenang dan penyendiri. Anak-anak sesekolah kami biasa memberi dia julukan cowok perpus. Karena dia hobinya nongkrong di perpus setiap jam istirahat. Beda denganku. Ke perpus hanya saat ada dua hal penting. Pertama, mencari bahan-bahan buat mengerjakan tugas. Kedua, mencari Tama.

Aku ini lebih suka ke mall, nongkrong di kantin, nonton konser band indie. Yah, pokoknya tempat-tempat yang ramelah. Karena aku suka punya banyak teman dan melakukan banyak aktifitas seru. Aku tak suka sendiri dan merasa sepi.

Sejak dulu kami sama berprestasi, tapi di bidang yang berbeda. Dia selalu rangking satu, menang lomba cerdas cermat, olimpiade sains, atau apalah itu namanya. Aku kurang paham. Sedangkan aku. Lebih aktif di bidang seni, terutama menari dan memainkan alat musik.

“Kamu mau beliin ini buat Tama?” tanya Cindy, menyadarkanku dari lamunan.

“Ciee, kaget. Melamunkan Tama ya?” goda Tania, yang mendadak kepalanya menyembul di tengah-tengah kami.

Kulirik Cindy tampak geleng-geleng kepala. Entah karena kelakuan Tania barusan, atau karena tak habis pikir dengan diriku.

Cewek berambut pendek itu selalu berkomentar aku ini cewek teraneh yang pernah dikenalnya. Aku ini cantik, populer, dan punya banyak penggemar, tapi masih mau-maunya berteman dengan cowok cupu macam Tama. Aku Cuma bisa tersenyum. Entah, walau temanku banyak, tapi hanya saat bersamanya aku mendapat rasa nyaman.

Waktu jalan-jalan sama dia, aku bebas pakai kaus dan jeans doang. Tak perlu pakai aksesoris macam-macam biar kelihatan hits. Tak butuh make up tebel atau tipis-tipis biar tampak menarik.

Sementara Tania, cewek berambut sepundak sama sepertiku, selalu menuduhku sebagai cewek yang tak bersyukur. Cowok-cowok ganteng dan popular incaran para cewek di sekolah, dengan seenaknya aku tolak mentah-mentah. Dan, aku malah mencurahkan perhatian ke cowok cupu yang dari sejak SMP sudah kuharapkan untuk jadi pacar.

Mereka memang ganteng, tapi tak bisa diandalkan. Mengajariku menyelesaikan tugas sekolah yang sulit kukerjakan saja mereka juga tidak bisa. Kalau Tama pasti bisa. Dia bahkan rela mengajariku berkali-kali sampai aku benar-benar paham dengan sangat sabar.

Jalan-jalan sama cowok-cowok itu juga tak seseru saat bersama Tama. Apapun yang kami temui selalu jadi bahan pembicaraan yang sangat menarik. Misalnya saat melihat bunga, Tama akan cerita berbagai jenis bunga, dan beragam hal menarik tentang bunga yang dia ketahui dari hasil membaca buku.

Cowok-cowok itu bisanya cuma merayu saja. Mereka bilang aku cantik, rambutku hitam berkilau, aku pandai menari, sekilas aku mirip Chealsea Olivia, dan semacamnya. Aku sudah kenyang dengan pujian itu sejak kecil.
 
“Eh! Malah melamun lagi. Udah mau sore nih. Ayo pulang!” Tania menepuk pundakku. Aku tersadar kembali.

Saat mbak-mbak di bagian kasir sedang menghitung belanjaanku, sekilas aku melihat sosok yang tak asing lagi. Sosok itu sedang lewat depan toko, dan dengan jelas aku dapat melihat sosoknya melalui jendela kaca toko yang lebar.

“Ayah ... dan, Tante Mer?”

***


Aku membuang setumpuk surat dan hadiah berupa berlembar-lembar kartu bertuliskan puisi-puisi tidak penting ke tempat sampah. Benda-benda tak berharga ini dengan seenaknya saja mereka jejalkan ke dalam loker sekolahku. Membuatku kesal saja.


“Ciee ..., yang punya penggemar rahasia. Pagi-pagi sudah sibuk bersihin loker.” Suara dan kemunculan Tama yang mendadak mengejutkanku. “Kenapa tidak kamu coba balas salah satunya? Siapa tahu ada yang cocok denganmu.”


Belum sempat aku bernafas dengan teratur setelah dikagetkan dengan kehadirannya, sekarang cowok berkacamata itu malah mengucapkan sesuatu yang membuatku sesak nafas. Cowok yang menurutku mirip vocalis Yovie and Nuno itu tampak begitu santai mengatakannya, seakan tak takut kehilanganku. Benarkah itu?


Setelah berhasil mengatur nafas dan menata perasaan, aku hanya tertawa dan menuduhnya becanda.


“Aku serius Lid. Aku rasa kamu mungkin akan cocok dengan Yugo. Kalian sama-sama popular, sama-sama berbakat di bidang seni, dan ...”


“Ganteng dan cantik,” sahutku, kesal. “Aku sudah muak mendengarnya! Kenapa sih, cinta harus dikotak-kotakkan berdasarkan kesamaan?”


Tama terdiam. Aku pun memilih meninggalkannya begitu saja.

Saat sudah jauh darinya aku baru ingat sesuatu. Aku mengeluarkan sesuatu dari tas, lalu berbalik arah menuju ruang loker. Kuharap Tama masih di sana.


Aku terlambat! Kulihat Tama sudah dihampiri oleh Siska. Siska tampak seolah mengajaknya berbicara tentang sesuatu, dan Tama seolah menanggapinya dengan antusias. Keduanya kemudian terlihat seperti sedang berjalan beriringan sambil menenteng dan mendiskusikan sebuah buku bersama.

Aku berbalik, dan berjalan ke kelas dengan lunglai. Buat Mas Supir saja kalau begitu kausnya.

***

Tama jadian sama Siska. Berita itu menyebar dengan cepat seantero sekolahan. Mereka sangat serasi, begitulah komentar anak-anak yang sedang berbisik-bisik membicarakan tentang ini di kantin. Membuat kupingku panas mendengarnya.

Siska tak secantik aku, kata Tania dan Cindy. Kurasa mereka hanya mencoba menghibur saja. Cewek bertubuh mungil itu punya senyum yang manis, kulit kuning langsat, dan rambut yang sama berkilaunya dengan punyaku. Menurutku, dia cuma lebih cuek saja dengan penampilan, sehingga tak bisa tampil menawan. Jika mau sedikit berdandan, dia pasti bisa terlihat rupawan.

Siska terkenal sebagai siswa teladan. Dia rajin dan selalu mendapat rangking dua di kelas. Hanya setingkat di bawah Tama. Berbeda denganku, yang setiap tahun selalu dapat rangking sepuluh.

Kini aku merasa benar-benar sebagai cewek yang bodoh. Sudah tidak pintar dalam pelajaran, tidak pintar pula mengendalikan perasaan. Aargh ...!

“Sabar ya, Lid?” Tania menyentuh pundakku dengan lembut. Aku berupaya keras untuk tersenyum padanya.

“Aku baik-baik saja kok. Ini memang yang terbaik untuk kami ...,” tukasku, sembari menghapus air mata yang mulai jatuh. Kedua sahabat terbaikku itu memelukku. Aku bersyukur masih punya mereka.

***

Dulu, kebetulan demi kebetulan yang sering kami alami membuatku sering bertanya-tanya, apakah aku dan Tama memang ditakdirkan untuk bersama. Malam ini pertanyaanku terjawab sudah. Kami memang ditakdirkan untuk bersama.

“Sayang, kenalkan ... ini Tante Meriana. Dan ini ...,”

“Tama Ayah. Anak Tante Mer, sekaligus teman sebangku Lidya sejak TK.”

“Ooh ... kalian sudah saling kenal rupanya.” Ayah dan Tante Mer tampak bahagia. Sementara Tama tersenyum kikuk. “Maafkan Ayah ya? Saking sibuknya bekerja sampai tidak kenal satu pun teman kamu.”

“Padahal dari sejak TK Tama sudah sering mengajak Lidya main dan belajar bareng. Aku tidak menyangka kalau dia akan jadi ...” Tante Mer menggantungkan ucapannya.

Tapi aku, Ayah, dan Tama jelas sudah sangat paham maksudnya. Untuk sejenak suasana di meja makan terasa canggung.

Dalam diam aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang. Ruang makan keluarga Tama. Tidak banyak berubah sejak terakhir kali aku berkunjung ke mari. Sekitar tiga bulan lalu. Sejak dulu Tante Mer pandai memilih warna cat dinding dan propertinya, hingga suasana di ruang ini selalu nyaman dan hangat. Waktu kecil aku sering berkhayal bisa setiap hari makan di ruangan ini, menjadi bagian dari keluarga Tama. Khayalanku menjelma nyata. Tapi tak berjalan sesuai harapan.

Masih terekam jelas dalam ingatanku, semalam Ayah mengatakan akan menikah lagi dalam waktu dekat. Meski dalam hati aku tak rela ada seseorang yang akan menggantikan posisi Almarhumah Ibu, tapi aku terpaksa berkata sebaliknya. Karena aku hanya ingin Ayah bahagia.

Aku cewek mall, sedangkan Tama si cowok perpus. Kami memang berbeda, tapi selalu ditakdirkan untuk bersama. Namun bukan untuk saling mencintai. Cinta memang tidak berkotak-kotak , tetapi kini kami ditakdirkan untuk bersaudara.

Thursday 29 September 2016

Hampa

Berjubah salju
memasung sejuta rindu
demi kebebasan semu

Tetapi semua terasa hampa
tanpa makna dan rasa
bagai kertas putih kosong

Aman dari kecewa
tak akan terluka
semua baik-baik saja

Tetapi bunga-bunga pun tak mekar
kembang api tak jua meletup-letup
hampa ...



 Ungaran
 30 September 2015 pukul 5:47

Motivacinta



Hadirmu mengubah segala
Lewat tutur saran penuh makna
Aku termotivasi menantang dunia

Tak perlu motivator ternama
Dari lakumu aku berkaca
Perlahan aku mulai terbawa

Kala kubungkam telinga
Kututup sepasang mata
Dan kuabaikan pesan mereka
Kunikmati kasihmu secara nyata

Kasihmu bukan sekedar untaian kata
Kasihmu merupa tindakan nyata
Kasihmu menjelma sikap penuh makna
Sulit terlihat, namun nyata terasa

Ingin kunikmati kasihmu selamanya
Hanya untuk hatiku semata
Sebab rayumu bagaikan mantra
Walau hanya sekali kau ucap, hatiku terjerat

Wednesday 28 September 2016

Sejuta Tetes Cinta Bunda dalam Segelas Jamu



Cara Meracik Jamu Kunyit Asam ala Ibu Nawangsih

Bahan-Bahan:
*1/2 Kg Kunyit
*1/4 Gula jawa
*1/2 Kg asam jawa
*2 Liter Air

Cara Membuat:
Pertama-tama, kupaslah kunyit, dan kemudian cuci bersih.
Langkah kedua, potong kecil-kecil kunyit yang sudah bersih.
Langkah ketiga,  masukan potongan kunyit ke dalam panci dan tuangkan air.
Langkah kelima, tambahkan asam, dan gula jawa. Rebuslah campuran tadi hingga mendidih.
Terakhir, saring hasil rebusan dan sajikan dalam cangkir. Tambahkan potongan es batu agar terasa lebih segar!

Mudah bukan?


Oh iya! Buat sobat yang pengin punya kulit cerah, coba minum jamu ini secara rutin deh. Soalnya ada fakta menarik dari situs berita Merdeka.com yang katanya dilansir dari boldsky.com:  Kunyit terbukti ampuh menghilangkan racun di dalam tubuh, jadi hal ini juga pasti dapat berdampak positif bagi kulit kita sob.

Sementara, beberapa waktu lalu aku menemukan artikel dari Vemale.com yang menginformasikan ...

Sebuah penelitian menemukan bahwa kunyit kemungkinan mampu meningkatkan kesehatan otak agar terhindar Alzheimer's dengan cara membersihkan otak dari beta-amyloid (semacam protein) yang menyebabkan penumpukan plak di otak. Kunyit juga membantu mencegah pecahnya sel-sel otak karena penuaan. (dikutip tanpa perubahan sedikitpun, dari Vemale.com)





***

Sederhana. Begitulah cara Bunda meracik jamu kunyit asam. Bagi saya jamu buatan Bunda rasanya jauh lebih nikmat dari yang dijual di pasaran. Entah itu yang dijajakan penjual jamu keliling, atau yang dijual di toko berupa serbuk dalam kemasan. Mungkin, karena ada cinta dan ketulusan yang terkandung dalam setiap tetesnya. Nah, itu yang membuatnya istimewa!

Seakan terlukis jelas di pantulan air dalam gelasnya, jika Bunda tak ingin saya merasakan sakit, walau sedikit saja. Setiap saya datang bulan Bunda selalu membuatkan jamu kunyit asam, kadang sepulang dari mengajar, tak jarang pula sebelum berangkat. Jelas bukti bahwa beliau tetap berusaha memperhatikan saya di sela-sela kesibukannya.

Bahagia itu sederhana, menikmati segelas jamu buatan bunda ... ^_^





Haiku 



 


Bulan tersenyum
Secangkir cinta Bunda
Untuk buah hati















Kunyit dan asam
Bermesra penuh kasih
Cerahkan bulan


















Secangkir kasih
Sehangat peluk Bunda
Pagi merona