“Jangan memikirkan tentang cinta-cintaan dulu Dek. Fokus
saja untuk megejar cita-citamu.’ Begitu pesan seorang kakak saya di nirwana
maya. Saya sangat menghargai pesannya. Sebuah pembuktian nyata dari tulusnya
kasih dan perhatian kepada si adik yang sok imut dan suka usil ini.
Pendapat tersebut ada benarnya memang, tetapi saat sang
virus merah jambu menyergap setiap relung hati yang selama ini hampa, saya
dibuat tak berdaya untuk melawannya. Saya jadi tidak bisa fokus seratus persen
dan perhatian saya tentu saja terbagi. Terbagi antara berusaha melakukan yang
terbaik demi mengejar cita-cita, dan mulai belajar sedikit-sedikit tentang
kehidupan pernikahan.
Sampai akhirnya, karena sebuah kesalahpahaman dan kecurigaan
saya yang berlebihan saya kembali pada jalur yang menurut kakak tadi itu
benar. Tetapi saya malah merasa
kehilangan arah. Saya bingung apa yang harus saya kejar. Saya kehilangan minat
untuk mengejar cita-cita saya. Bukan karena saya pesimistis, tetapi saya tak
dapat menjawab dengan yakin pertanyaan yang saya lontarkan sendiri dalam hati.
Sebenarna apa cita-cita saya sekarang?
Apa yang paling saya sukai?
Apa yang menjadi
alasan saya harus meraihnya?
Dan, ke mana perginya cita-cita yang
dulu seakan selalu memanggil-mangil berharap dikejar?
Akhir-akhir ini saya mulai berpikir bahwa semua profesi
sesungguhnya sama baiknya. Kecuali, jika profesi tersebut memang melanggar
hukum, dan lebih buruk lagi bila dilarang agama. Di luar itu, tentu sama saja
bukan? Tergantung bagaimana orang yang mengemban profesi tersebut. Apakah
profesinya membawa manfaat, atau malah bikin orang lain merasa gara-gara orang
ini hidupnya jadi tambah berat.
Apa gunanya jadi pejabat kalau hobinya menyusahkan rakyat?
Apa gunanya jadi
selebritas kalau hanya untuk mengejar popularitas?
Apa gunanya jadi jurnalis kalau berita yang dihasilkannya sudah
tak lagi akurat dan malah cenderung politis?
Saya malah lebih menaruh hormat dan kagum pada sesosok
asisten rumah tangga yang pernah saya kenal. Saya menyaksikan sendiri bagaimana
Beliau begitu jujur, cekatan, dan selalu bekerja dengan sungguh-sunguh.
Sehingga tak heran beliau pernah bercerita jika beliau selalu dicari dan dibutuhkan
tetangga sekitarnya. Banyak yang memohon pada beliau agar bersedia bekerja di
rumanya, dan bahkan menawarkan gaji yang lebih tinggi. Tak sedikit yang memuji
dan tak pernah lupa pada jasa-jasanya walau sudah lama waktu berlalu. Dibalik
pekerjaannya yang oleh sebagian orang sering dipandang sebelah mata, beliau
memberi manfaat bagi bebarapa keluarga sibuk yang membutuhkan bantuannya.
Jadi, apalah gunanya mengejar cita-cita yang motifnya hanya
untuk egoisme pribadi?
Belakangan saya mulai merenung lagi, tentang motif dibalik
cita-cita yang pernah saya miliki selama ini. Cita-cita yang selalu berubah-ubah
berdasarkan keadaan. Motifnya pun selalu tak lagi sama dari waktu ke waktu.
Pertama kali saya punya cita-cita adalah saat saya masih
kecil. Dulu setiap pagi ibu saya selalu mengajak saya menyaksikan acara
pengajian bersama HJ. Lutfiah Sungkar. Setiap kali mendengar ceramah yang
beliau sampaikan dengan tutur bahasanya yang halus saya merasakan ketentraman
jiwa. Karena begitu terpukau pada sosok beliau saya jadi bercita-cita untuk mengikuti
jejaknya. Jadi, cita-cita itu timbul
tanpa motif apa-apa. Sekadar karena saya mengagumi dan ingin seperti beliau.
Seiring berjalannya waktu saya mulai ragu dengan cita saya.
Sebab saya mulai tahu bahwa banyak yang harus dilalui untuk bisa mengikuti
jejaknya. Harus mengerti dan paham betul dengan pelajaran dan hukum tentang
keagamaan. Terlebih, kita tak boleh hanya pandai berbicara saja, kita pun harus
memberikan contoh yang baik.
Sewaktu menginjak usia sembilan tahunan saya bercita-cita
menjadi News Presenter. Saya sangat mengagumi sosok Najwa Shihab yang cantik
dan cerdas. Tetapi saya mulai punya motif. Saya ingin melakukan apa yang saya
sukai. Saya suka sekali berbicara dan sangat bersemangat bila ada yang bersedia
mendengarkan, terlebih memberikan respon dengan antusias. Saya juga sangat suka
menyaksikan berita, sebab dari sanalah saya mendapatkan banyak informasi terbaru dan pengetahuan yang belum diperoleh sebelumnya. Saya berpikir,
andai saya menjadi seorang News Presenter, saya bisa mengetahui informasi
terbaru dengan lebih cepat, dan betapa bahagianya ketika saya dapat mengabarkan
ke semua orang tentang informasi-informasi penting yang telah redaksi dapat dan
persiapkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya sadar jika cita-cita itu
teramat mustahil dijangkau. Sehinga saya mulai memaksakan diri untuk berpikir
sedikit lebih realistis. Jika memang tak mungkin, setidaknya saat itu saya
masih berharap kelak punya pasangan yang bekerja di bidang jurnalistik.
Setidaknya, kala kami bersama saya bisa bertanya tentang apa saja pengalamannya
selama bertugas. Sepertinya itu juga tidak kalah menyenangkan. tak apa tidak
bisa mengalami langsung. sudah lumayan jika bisa ikut tahu dan merasakan pengalaman
menarik, walau hanya dengan cara mendengar penuturan kisahnya.
Ketika menginjak masa puber, saya mulai memikirkan Mama. Saya
ingin sekali membuatnya bangga dan bahagia. Di salah satu acara Talk Show, yang
sayangnya saya lupa judulnya, seorang Fashion Designer berkata bahwa profesinya
cukup menjanjikan secara finansial. Nah, disinilah saya mulai agak matre.
Sebenarnya saya sih tidak terlalu berambisi untuk mengenakan gaun yang glamour,
berhiaskan perhiasan mewah, menenteng tas mahal, dan lain sebagainya itu. saya
hanya ingin saat mama bilang ingin sesuatu, saya dapat mewujudkannya. Bukan cuma sekedar pura-pura tak dengar atau mengalihkan pembicaraan karena tak tega
dan bingung harus bagaimana cara menghiburnya.
Kebetulan sekali saya juga menyukai fashion, senang
berimajinasi, dan sangat bersemangat menciptakan sesuatu yang beda dan belum pernah
ada. Sepertinya kalau saya pikir-pikir kondisi fisik saya ini pun tak akan
menghalangi, sebab tangan kanan saya masih bisa saya gunakan untuk menggambar. Gara-gara
sedang tergila-gila
pada Pradikta Wicaksono yang tak lain adalah vocalis Yovie Nuno, Saya kemudian
mencoba lebih serius mengasah kemampuan mendesign. Dengan harapan kesuksesan
saya nantinya bisa mengantarkan saya lebih dekat dengannya.
Setelah sekian lama rasanya
seakan tak ada hasil. Sebagai langkah awal saya sudah mencoba menawarkan hasil
karya saya ke beberapa pihak, namun yang didapat hanyalah penolakan-penolakan dengan
beragam alasan. Belum menyerah. Saya terlanjur jatuh cinta pada dunia fashion.
Sehingga tetap mengerjakan semuanya sembari mencari alternatif cita-cita.
Lewat facebook saya mengenal
teman-teman yang memiliki hobi menulis dan bercita-cita menjadi penulis. Saya
pikir tak ada salahnya mendekati mereka dan belajar tetang kepenulisan,
terutama fiksi. Kebetulan saya suka mendengarkan dongeng, menonton film dan
sinetron (saya rasa kualitas sinetron jaman saya kanak-kanak dulu masih lumayan), membaca karya tulis fiksi, dan berimajinasi. Awalnya memang saya
harus agak memaksakan diri, terlebih dengan munculnya beberapa kesulitan yang
ternyata menghadang. Faktanya menulis memang tak segampang yang saya kira dulu.
Setelah dipikir-dipikir, lha dari
pada menganganggur dan melamunkan teman masa kecil yang selalu membuat patah hati.
Toh, mau dipikirkan terus juga dia tak akan berubah. Maka meski kadang ingin
menyerah, tetapi tak lama kembali mencoba dan berusaha lagi. Sejak itu saya mulai sering ikut event
kecil-kecilan. Hadiahnya memang tak seberapa, Cuma pulsa sepuluh atau dua puluh
ribu, buku, atau sekedar nama dan karyanya tampil di buku antologi. Tetapi
nilai lebihnya terletak pada pengalaman. Dari sanalah setiap insan dapat
memetik banyak pelajaran.
Nah, itu dia! Dari yang awalnya
terpaksa, jadi suka. Sukaaa ... banget! Sampai sekarang, saya masih aktif di
bidang ini. Gaji memang belum seberapa. Tak jarang sepi order dari boss. Tetapi,
bukankah hidup tak selamanya cuma tentang uang, uang, dan uang? Toh, saya hanya
butuh makan tiga kali sehari, sabun mandi dan muka, pelembab wajah, dan hand
body. Meski menyukai fashion saya juga tidak keberatan pakai pakaian sederhana,
yang penting kenyamanannya. Sudah cukup saya rasa.
Jadi, cita-cita mana yang harus saya
kejar sampai harus mengorbankan mimpi saya yang lain?
Kenapa harus salah satu
dikorbankan?
Tidak bisakah berjalan beriring
dan saling mendukung satu sama lain?
Terlalu mulukkah bila saya
berharap dapat menikah muda dan punya pasangan yang bersedia memberi saya ruang untuk tetap meraih cita-cita?
Terlalu serakahkah jika berharap memiliki suami yang bahkan
bersedia menyemangati, memotivasi, dan membantu meraih mimpi?
Toh, saya bersedia berkompromi kok. Terlebih di era yang sudah serba canggih bekerja dari rumah, sambil mengurus urusan rumah tangga dan mengasuh sang buah hati bukan hal yang mustahil lagi untuk dilakukan. Dari dunia maya saya sudah melihat banyak penulis sukses dan produktif yang sekaligus juga merangkap sebagai ibu rumah tangga. Sebab itulah cita-cita saya sekarang adalah mengikuti jejak mereka.
No comments:
Post a Comment