Wednesday 7 September 2016

Ke Mana “Pergi”nya Cita-Cita Saya?



“Jangan memikirkan tentang cinta-cintaan dulu Dek. Fokus saja untuk megejar cita-citamu.’ Begitu pesan seorang kakak saya di nirwana maya. Saya sangat menghargai pesannya. Sebuah pembuktian nyata dari tulusnya kasih dan perhatian kepada si adik yang sok imut dan suka usil ini.

Pendapat tersebut ada benarnya memang, tetapi saat sang virus merah jambu menyergap setiap relung hati yang selama ini hampa, saya dibuat tak berdaya untuk melawannya. Saya jadi tidak bisa fokus seratus persen dan perhatian saya tentu saja terbagi. Terbagi antara berusaha melakukan yang terbaik demi mengejar cita-cita, dan mulai belajar sedikit-sedikit tentang kehidupan pernikahan.

Sampai akhirnya, karena sebuah kesalahpahaman dan kecurigaan saya yang berlebihan saya kembali pada jalur yang menurut kakak tadi itu benar.  Tetapi saya malah merasa kehilangan arah. Saya bingung apa yang harus saya kejar. Saya kehilangan minat untuk mengejar cita-cita saya. Bukan karena saya pesimistis, tetapi saya tak dapat menjawab dengan yakin pertanyaan yang saya lontarkan sendiri dalam hati.

Sebenarna apa cita-cita saya sekarang?
Apa yang paling saya sukai?
Apa yang menjadi alasan saya harus meraihnya?
Dan, ke mana perginya cita-cita yang dulu seakan selalu memanggil-mangil berharap dikejar?

Akhir-akhir ini saya mulai berpikir bahwa semua profesi sesungguhnya sama baiknya. Kecuali, jika profesi tersebut memang melanggar hukum, dan lebih buruk lagi bila dilarang agama. Di luar itu, tentu sama saja bukan? Tergantung bagaimana orang yang mengemban profesi tersebut. Apakah profesinya membawa manfaat, atau malah bikin orang lain merasa gara-gara orang ini hidupnya jadi tambah berat.

Apa gunanya jadi pejabat kalau hobinya menyusahkan rakyat?
Apa gunanya jadi selebritas kalau hanya untuk mengejar popularitas?
Apa gunanya jadi jurnalis kalau berita yang dihasilkannya sudah tak lagi akurat dan malah cenderung politis?

Saya malah lebih menaruh hormat dan kagum pada sesosok asisten rumah tangga yang pernah saya kenal. Saya menyaksikan sendiri bagaimana Beliau begitu jujur, cekatan, dan selalu bekerja dengan sungguh-sunguh. Sehingga tak heran beliau pernah bercerita jika beliau selalu dicari dan dibutuhkan tetangga sekitarnya. Banyak yang memohon pada beliau agar bersedia bekerja di rumanya, dan bahkan menawarkan gaji yang lebih tinggi. Tak sedikit yang memuji dan tak pernah lupa pada jasa-jasanya walau sudah lama waktu berlalu. Dibalik pekerjaannya yang oleh sebagian orang sering dipandang sebelah mata, beliau memberi manfaat bagi bebarapa keluarga sibuk yang membutuhkan bantuannya.

Jadi, apalah gunanya mengejar cita-cita yang motifnya hanya untuk egoisme pribadi?

Belakangan saya mulai merenung lagi, tentang motif dibalik cita-cita yang pernah saya miliki selama ini. Cita-cita yang selalu berubah-ubah berdasarkan keadaan. Motifnya pun selalu tak lagi sama dari waktu ke waktu.

Pertama kali saya punya cita-cita adalah saat saya masih kecil. Dulu setiap pagi ibu saya selalu mengajak saya menyaksikan acara pengajian bersama HJ. Lutfiah Sungkar. Setiap kali mendengar ceramah yang beliau sampaikan dengan tutur bahasanya yang halus saya merasakan ketentraman jiwa. Karena begitu terpukau pada sosok beliau saya jadi bercita-cita untuk mengikuti jejaknya.  Jadi, cita-cita itu timbul tanpa motif apa-apa. Sekadar karena saya mengagumi dan ingin seperti beliau.

Seiring berjalannya waktu saya mulai ragu dengan cita saya. Sebab saya mulai tahu bahwa banyak yang harus dilalui untuk bisa mengikuti jejaknya. Harus mengerti dan paham betul dengan pelajaran dan hukum tentang keagamaan. Terlebih, kita tak boleh hanya pandai berbicara saja, kita pun harus memberikan contoh yang baik.

Sewaktu menginjak usia sembilan tahunan saya bercita-cita menjadi News Presenter. Saya sangat mengagumi sosok Najwa Shihab yang cantik dan cerdas. Tetapi saya mulai punya motif. Saya ingin melakukan apa yang saya sukai. Saya suka sekali berbicara dan sangat bersemangat bila ada yang bersedia mendengarkan, terlebih memberikan respon dengan antusias. Saya juga sangat suka menyaksikan berita, sebab dari sanalah saya mendapatkan banyak informasi terbaru dan pengetahuan yang belum diperoleh sebelumnya. Saya berpikir, andai saya menjadi seorang News Presenter, saya bisa mengetahui informasi terbaru dengan lebih cepat, dan betapa bahagianya ketika saya dapat mengabarkan ke semua orang tentang informasi-informasi penting yang telah redaksi dapat dan persiapkan.

Namun, seiring berjalannya waktu, saya sadar jika cita-cita itu teramat mustahil dijangkau. Sehinga saya mulai memaksakan diri untuk berpikir sedikit lebih realistis. Jika memang tak mungkin, setidaknya saat itu saya masih berharap kelak punya pasangan yang bekerja di bidang jurnalistik. Setidaknya, kala kami bersama saya bisa bertanya tentang apa saja pengalamannya selama bertugas. Sepertinya itu juga tidak kalah menyenangkan. tak apa tidak bisa mengalami langsung. sudah lumayan jika bisa ikut tahu dan merasakan pengalaman menarik, walau hanya dengan cara mendengar penuturan kisahnya.

Ketika menginjak masa puber, saya mulai memikirkan Mama. Saya ingin sekali membuatnya bangga dan bahagia. Di salah satu acara Talk Show, yang sayangnya saya lupa judulnya, seorang Fashion Designer berkata bahwa profesinya cukup menjanjikan secara finansial. Nah, disinilah saya mulai agak matre. Sebenarnya saya sih tidak terlalu berambisi untuk mengenakan gaun yang glamour, berhiaskan perhiasan mewah, menenteng tas mahal, dan lain sebagainya itu. saya hanya ingin saat mama bilang ingin sesuatu, saya dapat mewujudkannya. Bukan cuma sekedar pura-pura tak dengar atau mengalihkan pembicaraan karena tak tega dan bingung harus bagaimana cara menghiburnya.

Kebetulan sekali saya juga menyukai fashion, senang berimajinasi, dan sangat bersemangat menciptakan sesuatu yang beda dan belum pernah ada. Sepertinya kalau saya pikir-pikir kondisi fisik saya ini pun tak akan menghalangi, sebab tangan kanan saya masih bisa saya gunakan untuk menggambar. Gara-gara sedang  tergila-gila pada Pradikta Wicaksono yang tak lain adalah vocalis Yovie Nuno, Saya kemudian mencoba lebih serius mengasah kemampuan mendesign. Dengan harapan kesuksesan saya nantinya bisa mengantarkan saya lebih dekat dengannya.

Setelah sekian lama rasanya seakan tak ada hasil. Sebagai langkah awal saya sudah mencoba menawarkan hasil karya saya ke beberapa pihak, namun yang didapat hanyalah penolakan-penolakan dengan beragam alasan. Belum menyerah. Saya terlanjur jatuh cinta pada dunia fashion. Sehingga tetap mengerjakan semuanya sembari mencari alternatif cita-cita.

Lewat facebook saya mengenal teman-teman yang memiliki hobi menulis dan bercita-cita menjadi penulis. Saya pikir tak ada salahnya mendekati mereka dan belajar tetang kepenulisan, terutama fiksi. Kebetulan saya suka mendengarkan dongeng, menonton film dan sinetron (saya rasa kualitas sinetron jaman saya kanak-kanak dulu masih lumayan), membaca karya tulis fiksi, dan berimajinasi. Awalnya memang saya harus agak memaksakan diri, terlebih dengan munculnya beberapa kesulitan yang ternyata menghadang. Faktanya menulis memang tak segampang yang saya kira dulu.

Setelah dipikir-dipikir, lha dari pada menganganggur dan melamunkan teman masa kecil yang selalu membuat patah hati. Toh, mau dipikirkan terus juga dia tak akan berubah. Maka meski kadang ingin menyerah, tetapi tak lama kembali mencoba dan berusaha lagi.  Sejak itu saya mulai sering ikut event kecil-kecilan. Hadiahnya memang tak seberapa, Cuma pulsa sepuluh atau dua puluh ribu, buku, atau sekedar nama dan karyanya tampil di buku antologi. Tetapi nilai lebihnya terletak pada pengalaman. Dari sanalah setiap insan dapat memetik banyak pelajaran.

Nah, itu dia! Dari yang awalnya terpaksa, jadi suka. Sukaaa ... banget! Sampai sekarang, saya masih aktif di bidang ini. Gaji memang belum seberapa. Tak jarang sepi order dari boss. Tetapi, bukankah hidup tak selamanya cuma tentang uang, uang, dan uang? Toh, saya hanya butuh makan tiga kali sehari, sabun mandi dan muka, pelembab wajah, dan hand body. Meski menyukai fashion saya juga tidak keberatan pakai pakaian sederhana, yang penting kenyamanannya. Sudah cukup saya rasa.

Jadi, cita-cita mana yang harus saya kejar sampai harus mengorbankan mimpi saya yang lain?
Kenapa harus salah satu dikorbankan?
Tidak bisakah berjalan beriring dan saling mendukung satu sama lain?
Terlalu mulukkah bila saya berharap dapat menikah muda dan punya pasangan yang bersedia memberi saya ruang untuk tetap meraih cita-cita?
Terlalu serakahkah jika berharap memiliki suami yang bahkan bersedia menyemangati, memotivasi, dan membantu meraih mimpi?  

Toh, saya bersedia berkompromi kok.  Terlebih di era yang sudah serba canggih bekerja dari rumah, sambil mengurus urusan rumah tangga dan mengasuh sang buah hati bukan hal yang mustahil lagi untuk dilakukan. Dari dunia maya saya sudah melihat banyak penulis sukses dan produktif yang sekaligus juga merangkap sebagai ibu rumah tangga. Sebab itulah cita-cita saya sekarang adalah mengikuti jejak mereka.

No comments:

Post a Comment