Tingkah polah bocah lelaki itu sangatlah lucu. Tak heran
jika kau mampu tertawa dibuatnya. Tawamu meledak keras, membelah kesenyapan
malam.
Lucu banget Om. Anaknya ya? Sebaris komentar kau
sematkan di bawah video tersebut.
Iya, Mbak. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk mengenang kebersamaan kami.
Memang anak Om ke mana?
Ikut ibunya. Saya sudah tak diijinkan bertemu lagi.
Wanita tegar dan selalu ceria, itu yang semua orang tahu
tentangmu. Namun, di dunia maya kau punya sisi berbeda. Di sana kau menggunakan
nama samaran, foto editan, dan mencurahkan segala beban. Lewat puisi kau
lampiaskan semua yang kau rasakan. Banyak yang memuji rangkaian aksara yang kau
publikasikan. Tak terkecuali pria itu.
Klise. Seperti kisah asmara dunia maya pada umumnya.
Awalnya berteman. Saling menyematkan jempol. Mulai bersedia mengetik komentar,
dan begitu bahagia saat dia membalas. Lalu kau pun mulai berani mengirim pesan
pribadi. Semula hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Namun, kemudian menjadi
lebih pribadi. Kau mulai berani menceritakan beban hidupmu yang selama ini kau
simpan rapi, bahkan dari sahabatmu sejak masih kanak-kanak. Kau juga kemudian
tak lagi memanggilnya om melainkan mas. Dia pun sama. Kau dipanggilnya adik.
Minggu depan aku liburan ke Boyolali. Boleh aku minta alamatmu, Mas? Kau mengetik dengan begitu antusias, diiringi senyum yang terus mengembang.
Ini Dik ... Balasannya pun sangat cepat. Senyum di bibir tipismu semakin merekah.
Ini Dik ... Balasannya pun sangat cepat. Senyum di bibir tipismu semakin merekah.
***
Kau berdiri di ambang pintu. Pria di atas kursi roda itu
takjub memandangmu. Seakan kau bidadari yang baru jatuh dari nirwana. Jelas
saja. Kulitmu jauh lebih cerah dari yang tampak di foto profil. Bibir tipismu
yang biasanya kau biarkan polos, kini kau balut lipstik merah merekah. Pipimu
kau ulas sedikit perona. Alismu rapi sekali. Bulu matamu pun tampak begitu
lentik. Rambutmu tergerai indah bergelombang. Gaun warna tosca yang kau kenakan
semakin menyempurnakan penampilan tubuh tinggi semampaimu.
"Apa ada yang salah dengan penampilanku?"
tanyamu, sambil tersenyum kikuk.
"Oh, tidak," sahutnya, yang baru tersadar dari
lamunan. Dia pun segera mempersilakanmu untuk masuk.
Dia melajukan kursi rodanya penuh semangat. Kau pun
mengikutinya di belakang. Dia mengajakmu ke ruang tamu. Bantal-bantal sofa yang
cantik bersarung warna tosca. Taplak meja pun berwarna senada. Tampak sangat
serasi dengan sofa putih. Kau menoleh ke arahnya, dan baru menyadari jika dia
bahkan mengenakan kemeja batik warna tosca. Warna favoritmu.
"Silakan duduk Maira ...." Suaranya terdengar agak gugup. "Semoga betah di rumahku yang sederhana dan apa adanya."
"Di mana pun aku pasti betah, asal ada Mas
Haryo." Kau langsung bungkam saat sepasang mata lebarnya memandangmu. Kau
pun duduk dengan kegugupan yang begitu terlihat. Pandanganmu kau alihkan ke
arah sepasang wedges warna tosca di kaki. Tak lama kau dengar dia tertawa.
Bukan terdengar seperti tawa mengejek. Namun, tawa yang dimaksudkan untuk
mencairkan suasana. Kau pun mulai berani angkat kepala, dan menyertainya
tertawa.
"Ibu mana?" tanyamu. Kau menanyakan sesosok wanita paruh baya
yang pernah diceritakannya. Wanita yang berhasil membantu buah hatinya itu
bangkit dari keterpurukan, pasca kecelakaan yang merengut kemampuannya berdiri,
pekerjaan, bahkan keluarga kecil yang dulu harmonis.
"Ibu sebenarnya ingin sekali bertemu denganmu. Sayangnya ada acara
keluarga besar yang sangat penting, yang tak bisa beliau tinggalkan."
Kau tersenyum maklum. "Tak apa, Mas. Masih ada lain
waktu."
"Sudah jam dua belas. Makan siang yuk!" ajaknya,
tak lama setelah memandang jam di dinding. Kau mengikuti arah pandangannya dan mendapati warna
jam dinding itu pun tosca.
Pria itu tiba di ruang makan terlebih dahulu. Tentu saja
awalnya kau menolak mengikutinya. Namun, dia mengatakan jika telah berusaha
memasak untukmu, dan akan sia-sia bila kau enggan menyantapnya. Kilahnya, ibu
baru pulang esok hari. Kau tak punya pilihan.
Dia menarikkan kursi untukmu, dan mempersilakan duduk.
Dengan kondisinya itu, tentu saja ini tak mudah dilakukan. Kau tersenyum penuh
penghargaan pada upayanya yang sangat manis. Saat kau telah duduk di kursi, dia
segera membukakan tudung saji.
Kau tersenyum. Matamu terlihat berkaca-kaca. Semua yang
terhidang adalah makanan favoritmu. Tampak semangkok besar sambel tumpang, abon
lele dalam toples, puding mangga, dan dua gelas soda gembira rasa strawberry.
"Sambel tumpang dan pudingnya aku yang masak sendiri.
Abon lelenya ibu yang belikan di pasar kemarin. Soda gembiranya aku yang buat
juga. Susunya susu segar dari penjual susu keliling langganan kami." Dia
bercerita panjang lebar, sembari menyendok nasi dari magic jar ke piring. Kau
masih terdiam membisu.
"Ayo, dimakan!" Kau tersentak sewaktu dia
menyentuh pundakmu. Di hadapanmu sepiring nasi, lengkap dengan sambel tumpang
dan abon lele sudah terhidang. "Katanya, kamu suka dan kangen sekali dua
makanan khas Boyolali ini."
Kau hanya tersenyum, sembari perlahan menjangkau sendok
yang berada di pinggir piring. Sesuap nasi dan lauk kau masukan ke mulut,
sambil memperhatikan sang koki. Mukanya yang bulat, bibirnya yang agak tebal,
matanya yang belo, dan hidungnya yang cukup mancung. Kau menatapnya seakan
terpukau. Dia yang tak sadar kau pandangi terus saja menyuap nasi dengan lahap.
"Kamu tahu, menurut Wikipedia Boyolali ini dijuluki kota New Zealand van
Java? Mungkin karena di kota ini banyak juga peternakan sapi."
Suara gebrakan keras pintu ruang tamu menyita perhatiannya.
Dia pamit untuk melihat siapa yang datang. Kau pun melanjutkan makan.
Sebuah tangan kekar tiba-tiba menarik paksa dan menghempaskan
tubuhmu ke arah sesosok wanita, ibumu. Ibu seketika memelukmu. Pemilik tangan
kekar itu adalah ayahmu. Ayahmu nyaris akan menjotosnya, tetapi dengan sigap
kau berlari menghalangi. Pukulan itu malah mengenai kepalamu. Kesadaranmu menghilang
seketika.
***
Bocah lelaki yang rekaman videonya pernah menghiburmu di
suatu malam, pagi ini bisa kau lihat secara nyata. Air matamu mengalir deras.
Membuat kaca mata hitammu berembun.
"Aku sudah menuruti pintamu." Suara bariton
seorang pria yang duduk di sampingmu menyadarkanmu dari lamunan. Pria itu
adalah Arlan, seorang pengacara muda yang ayah jodohkan denganmu. Kau terpaksa
bersedia menerimanya, asal Arlan mau
berusaha memperjuangkan hak asuh Haryo terhadap anak lelakinya di hadapan
hukum. Arlan kemudian mendekati keluarga Haryo dan menawarkan bantuan. Mengaku
sebagai aktivis sebuah LBH yang konsen memperjuangkan hak kaum difabel. Hingga
akhirnya hak asuh bocah itu berhasil dipegang Haryo.
"Arka, jangan main jauh-jauh, Nak." Suara lembut
itu adalah suara Haryo.
"Kamu kan sudah lihat sendiri buktinya. Ayo kita
pulang!" Arlan mulai menyalakan mesin mobilnya. Perlahan mobil yang kalian
tumpangi ini mulai bergerak, meninggalkan pemandangan seorang anak yang sedang
memeluk ayahnya dengan bahagia. Sang ayah tersenyum penuh syukur. Pelukannya
kian erat. Tak ingin lepas lagi.