Saturday 24 December 2016

Cintamu Pupus di New Zealand van Java





Tingkah polah bocah lelaki itu sangatlah lucu. Tak heran jika kau mampu tertawa dibuatnya. Tawamu meledak keras, membelah kesenyapan malam.

Lucu banget Om. Anaknya ya? Sebaris komentar kau sematkan di bawah video tersebut.


Iya, Mbak. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk mengenang kebersamaan kami.


Memang anak Om ke mana?


Ikut ibunya. Saya sudah tak diijinkan bertemu lagi.


Wanita tegar dan selalu ceria, itu yang semua orang tahu tentangmu. Namun, di dunia maya kau punya sisi berbeda. Di sana kau menggunakan nama samaran, foto editan, dan mencurahkan segala beban. Lewat puisi kau lampiaskan semua yang kau rasakan. Banyak yang memuji rangkaian aksara yang kau publikasikan. Tak terkecuali pria itu.

Klise. Seperti kisah asmara dunia maya pada umumnya. Awalnya berteman. Saling menyematkan jempol. Mulai bersedia mengetik komentar, dan begitu bahagia saat dia membalas. Lalu kau pun mulai berani mengirim pesan pribadi. Semula hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Namun, kemudian menjadi lebih pribadi. Kau mulai berani menceritakan beban hidupmu yang selama ini kau simpan rapi, bahkan dari sahabatmu sejak masih kanak-kanak. Kau juga kemudian tak lagi memanggilnya om melainkan mas. Dia pun sama. Kau dipanggilnya adik.

Minggu depan aku liburan ke Boyolali. Boleh aku minta alamatmu, Mas? Kau mengetik dengan begitu antusias, diiringi senyum yang terus mengembang.

Ini Dik ... Balasannya pun sangat cepat. Senyum di bibir tipismu semakin merekah.

***

Kau berdiri di ambang pintu. Pria di atas kursi roda itu takjub memandangmu. Seakan kau bidadari yang baru jatuh dari nirwana. Jelas saja. Kulitmu jauh lebih cerah dari yang tampak di foto profil. Bibir tipismu yang biasanya kau biarkan polos, kini kau balut lipstik merah merekah. Pipimu kau ulas sedikit perona. Alismu rapi sekali. Bulu matamu pun tampak begitu lentik. Rambutmu tergerai indah bergelombang. Gaun warna tosca yang kau kenakan semakin menyempurnakan penampilan tubuh tinggi semampaimu.


"Apa ada yang salah dengan penampilanku?" tanyamu, sambil tersenyum kikuk.


"Oh, tidak," sahutnya, yang baru tersadar dari lamunan. Dia pun segera mempersilakanmu untuk masuk.


Dia melajukan kursi rodanya penuh semangat. Kau pun mengikutinya di belakang. Dia mengajakmu ke ruang tamu. Bantal-bantal sofa yang cantik bersarung warna tosca. Taplak meja pun berwarna senada. Tampak sangat serasi dengan sofa putih. Kau menoleh ke arahnya, dan baru menyadari jika dia bahkan mengenakan kemeja batik warna tosca. Warna favoritmu.


"Silakan duduk Maira ...." Suaranya terdengar agak gugup. "Semoga betah di rumahku yang sederhana dan apa adanya."


"Di mana pun aku pasti betah, asal ada Mas Haryo." Kau langsung bungkam saat sepasang mata lebarnya memandangmu. Kau pun duduk dengan kegugupan yang begitu terlihat. Pandanganmu kau alihkan ke arah sepasang wedges warna tosca di kaki. Tak lama kau dengar dia tertawa. Bukan terdengar seperti tawa mengejek. Namun, tawa yang dimaksudkan untuk mencairkan suasana. Kau pun mulai berani angkat kepala, dan menyertainya tertawa.


"Ibu mana?" tanyamu. Kau menanyakan sesosok wanita paruh baya yang pernah diceritakannya. Wanita yang berhasil membantu buah hatinya itu bangkit dari keterpurukan, pasca kecelakaan yang merengut kemampuannya berdiri, pekerjaan, bahkan keluarga kecil yang dulu harmonis.


"Ibu sebenarnya ingin sekali bertemu denganmu. Sayangnya ada acara keluarga besar yang sangat penting, yang tak bisa beliau tinggalkan."


Kau tersenyum maklum. "Tak apa, Mas. Masih ada lain waktu."


"Sudah jam dua belas. Makan siang yuk!" ajaknya, tak lama setelah memandang jam di dinding. Kau  mengikuti arah pandangannya dan mendapati warna jam dinding itu pun tosca.


Pria itu tiba di ruang makan terlebih dahulu. Tentu saja awalnya kau menolak mengikutinya. Namun, dia mengatakan jika telah berusaha memasak untukmu, dan akan sia-sia bila kau enggan menyantapnya. Kilahnya, ibu baru pulang esok hari. Kau tak punya pilihan.

Dia menarikkan kursi untukmu, dan mempersilakan duduk. Dengan kondisinya itu, tentu saja ini tak mudah dilakukan. Kau tersenyum penuh penghargaan pada upayanya yang sangat manis. Saat kau telah duduk di kursi, dia segera membukakan tudung saji.


Kau tersenyum. Matamu terlihat berkaca-kaca. Semua yang terhidang adalah makanan favoritmu. Tampak semangkok besar sambel tumpang, abon lele dalam toples, puding mangga, dan dua gelas soda gembira rasa strawberry.


"Sambel tumpang dan pudingnya aku yang masak sendiri. Abon lelenya ibu yang belikan di pasar kemarin. Soda gembiranya aku yang buat juga. Susunya susu segar dari penjual susu keliling langganan kami." Dia bercerita panjang lebar, sembari menyendok nasi dari magic jar ke piring. Kau masih terdiam membisu.


"Ayo, dimakan!" Kau tersentak sewaktu dia menyentuh pundakmu. Di hadapanmu sepiring nasi, lengkap dengan sambel tumpang dan abon lele sudah terhidang. "Katanya, kamu suka dan kangen sekali dua makanan khas Boyolali ini."


Kau hanya tersenyum, sembari perlahan menjangkau sendok yang berada di pinggir piring. Sesuap nasi dan lauk kau masukan ke mulut, sambil memperhatikan sang koki. Mukanya yang bulat, bibirnya yang agak tebal, matanya yang belo, dan hidungnya yang cukup mancung. Kau menatapnya seakan terpukau. Dia yang tak sadar kau pandangi terus saja menyuap nasi dengan lahap. "Kamu tahu, menurut Wikipedia Boyolali ini dijuluki kota New Zealand van Java? Mungkin karena di kota ini banyak juga peternakan sapi."

Suara gebrakan keras pintu ruang tamu menyita perhatiannya. Dia pamit untuk melihat siapa yang datang. Kau pun melanjutkan makan.


Sebuah tangan kekar tiba-tiba menarik paksa dan menghempaskan tubuhmu ke arah sesosok wanita, ibumu. Ibu seketika memelukmu. Pemilik tangan kekar itu adalah ayahmu. Ayahmu nyaris akan menjotosnya, tetapi dengan sigap kau berlari menghalangi. Pukulan itu malah  mengenai kepalamu. Kesadaranmu menghilang seketika.


***

Bocah lelaki yang rekaman videonya pernah menghiburmu di suatu malam, pagi ini bisa kau lihat secara nyata. Air matamu mengalir deras. Membuat kaca mata hitammu berembun.

"Aku sudah menuruti pintamu." Suara bariton seorang pria yang duduk di sampingmu menyadarkanmu dari lamunan. Pria itu adalah Arlan, seorang pengacara muda yang ayah jodohkan denganmu. Kau terpaksa bersedia menerimanya, asal Arlan  mau berusaha memperjuangkan hak asuh Haryo terhadap anak lelakinya di hadapan hukum. Arlan kemudian mendekati keluarga Haryo dan menawarkan bantuan. Mengaku sebagai aktivis sebuah LBH yang konsen memperjuangkan hak kaum difabel. Hingga akhirnya hak asuh bocah itu berhasil dipegang Haryo.


"Arka, jangan main jauh-jauh, Nak." Suara lembut itu adalah suara Haryo.


"Kamu kan sudah lihat sendiri buktinya. Ayo kita pulang!" Arlan mulai menyalakan mesin mobilnya. Perlahan mobil yang kalian tumpangi ini mulai bergerak, meninggalkan pemandangan seorang anak yang sedang memeluk ayahnya dengan bahagia. Sang ayah tersenyum penuh syukur. Pelukannya kian erat. Tak ingin lepas lagi.


Wednesday 9 November 2016

Love Notes 02-10 November


Dear my prince purple, titip salam untuk Ibunda, yang telah rela mempertaruhkan nyawanya demi menghadirkan pria seromantis kamu ke dunia.
(02/11)

Jika ditanya mengapa aku bisa jatuh cinta padamu, aku tak mampu menjawabnya. Namun mengapa aku bertahan menantimu, dengan yakin akan aku jawab, karena aku cuma bisa percaya kamu.
_
Bagiku dalam komitmen itu yang terpenting bukan tentang publikasi, tetapi tentang bagaimana kita bisa saling memahami.
(04/11)

Niat awalku mendekatimu adalah agar dapat mencuri ilmumu. Namun jika pada akhirnya aku bisa mencuri hatimu pula, aku pasti akan sangat bahagia. Akan aku jaga sebaik-baiknya.
_
Setia itu bukan berarti selalu bersama, yang terpenting bagaimana kita saling menjaga cinta hanya untuk satu nama.
(05/11)

Cinta itu bukan tentang siapa yang terbaik, tetapi tentang seseorang yang tetap bertahan walau sering kali kita tak bisa jadi yang terbaik.
_
Hanya dengan melihat senyummu saja aku sudah merasa tenang. Maka jika kau tersenyum untukku, rasanya seperti terbang melayang.
_
Hanya dengan mendengar suara tawamu hari-hariku jadi lebih ceria. Maka bila aku yang berhasil membuatmu tertawa, hidupku akan terasa penuh warna.
(07/11)

Tuesday 8 November 2016

Terbelenggu


Ketika aksaraku bungkam
dekat, lekat, bagai penjerat
penjara kasih

Dipandang serupa bocah polos
aku tak bisa lolos

Jemari ini harus diam
melangkah dalam kesunyian
tanggung jawab ada dalam genggam

Rindu jiwa pada keterasingan
bergerak bebas tanpa peduli pandangan
tak ada yang akan tergores buah ketikan
tapi waktu tak bisa berputar
nikmati saja ...

Sunday 2 October 2016

Lagu Cinta Untukmu




Sepasang bola mataku menatap lurus ke arah jendela yang sedang terbuka, tetapi pikiran ini jauh melayang. Aku terbiasa menikmati suasana sore menjelang senja dengan duduk di atas kursi rodaku dan mendekatkannya pada jendela.

“Hey! Melamunkan siapa sih?” tiba-tiba Arni datang dan mengagetkanku. Gadis berkulit kuning langsat dan berambut sebahu itu merupakan tetangga sekaligus sahabatku sejak kecil.

“Tidak kok.” aku berdusta. Tentu saja yang sesungguhnya aku sedang memikirkan Mas Wiraditya, seorang calon dokter hewan yang baru beberapa minggu lalu Arni perkenalkan padaku. Arni mengenalnya karena mereka tergabung dalam salah satu komunitas di Surabaya. Komunitas pecinta musik jazz yang awalnya terbentuk dari social media. Mereka sama-sama berasal dari kota santri ini, Pasuruan. Itu sebabnya mereka akrab, walau tujuan mereka ke kota pahlawan itu berbeda. Arni bekerja, sedang Mas Wiraditya kuliah.

Ingatanku kembali melayang pada sore itu. arni tiba-tiba datang bersamanya. Katanya, pria itu mengagumi cerpen-cerpen yang aku tulis dengan tangan dan kuberikan pada sahabatku sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke dua puluh. Buku berisi kumpulan cerpen yang dibawa Arni tertinggal di sebuah meja cafe. Mas Wiraditya yang bertugas membayar pesanan ke kasir harus pulang paling akhir. Dia kemudian menemukan buku itu tergeletak. Dia membawa pulang ke kost dan semalaman mengagumi karya itu. Setelah perkenalan itu Mas Wiraditya mengenalkanku pada pamannya, pemilik sebuah penerbitan indie. Kumpulan cerpenku akhirnya dibukukan.

Meski hanya lulusan SMA, Arni punya hobi membaca. Sehingga mereka selalu punya topik untuk dibicarakan kala bertemu, dan aku selalu merasa tersisih dengan sendirinya ketika kami bertiga sedang bersama.

Jelas saja aku mengagumi pria tinggi dan gagah itu. Dia baik, cerdas dan keren. Dia bahkan tak hanya bersuara bagus, tapi pintar menciptakan lagu romantis.

“Pasti melamunkan Mas Wiraditya, kan?”

“Yee, enak saja! Memangnya kamu?” lagi-lagi aku berusaha menjodohkan mereka.

“Jiah! Lagi-lagi. Kenapa sih kamu selalu berusaha menjodohkanku dengannya?” Tentu saja karena aku berpikir kau lebih pantas bersanding dengannya, ketimbang diriku. Aku hanyalah gadis yang tak sempurna karena mengalami Cerebral Palsy.

“Karena kalian terlihat sangat cocok. Punya hobi yang sama, dan nyambung membicarakan banyak hal.”

“Hahaha! Alasan yang konyol. Terlalu klise.”

“Tapi itu kenyataan. Saat jalan bertiga kalian selalu membicarakan bahkan memperdebatkan hal-hal yang tak kumengerti.”

“Kemudian kamu memilih memisah dari kami dan pura-pura sibuk sendiri? Kamu tahu, di saat seperti itu dia selalu curi-curi kesempatan untuk memandangimu?”

“Aku tidak yakin. Mana mungkin dia bakal suka sama cewek yang tidak pernah sekolah dan tak secerdas dia?” Tak jarang di tengah sunyinya malam aku menyesalkan keputusan kedua orangtua yang tak menyekolahkanku dengan alasan kondisiku ini.

“Pokoknya, Kamu harus tanya sendiri sama Mas Wiraditya sekarang. Titik!” Arni sepertinya mulai kehilangan kesabaran untuk berdebat. Dengan cepat dia mendorong kursi roda yang sedari tadi kududukki agar berjalan sekehendaknya.

“Ni, kita mau kemana sih?”

“Ke rumah Mas Wiraditya.” Aku mencoba memberontak usai mendengarnya, tetapi tenaga ini kalah kuat dengannya. Begitulah Arni, kalau sudah bulat keputusannya, tak ada yang dapat mengganggu serta menggugat.

“Kalian ini kenapa?” tanya Kakak, yang tadi sedang asik menonton TV, tiba-tiba menoleh ke arah kami yang sedang melewatinya. Arni mendekati, lalu berbisik di telinganya. Tak lama kemudian mereka bersekongkol memasukkanku ke dalam mobil yang selanjutnya dikemudikan oleh Kakak. Sudah kuduga Kakak yang telah lama diam-diam menaruh hati pada Arni pasti akan menuruti apapun maunya.

***

“Kita kesini nganterin Qaila. Katanya, dia mau ngomong sesuatu,” kata Arni, tak lama setelah Mas Wiraditya mempersilakan kami bertiga duduk di ruang tamu. Kakak lalu menggandeng tangan Arni, mengajaknya ke luar. Rasa canggung, bingung, dan malu, campur aduk menjadi satu, membuat kedua mataku nggak berani menatapnya yang saat ini duduk di hadapanku.

“La, sebenarnya…, kamu mau ngomong apa?” tanyanya, setelah sekian lama kami saling diam. Dia mendekat, membuat jantung ini berdetak semakin cepat. Lalu duduk di sampingku.

“La…,” panggilnya, terdengar sangat lembut. Aduh, harus jawab apa? Harus bilang sesuatu! Apapun itu, yang jelas nggak bakal berkata seperti yang Arni suruh. Karena aku nggak mau mempermalukan diri, dengan menyatakan cinta terlebih dahulu.

“Mmm… Aku mau minta dibuatin lagu. Bisa kan, Mas?” aku memberanikan diri mengangkat kepala, kemudian menatapnya sambil tersenyum.

“Lagu?” Dia menatapku dalam-dalam.

“Iya. Sebuah lagu yang sesuai suasana hatiku, mungkin. Pokoknya tentang akulah,” jawabku, asal. Dia terdiam, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Kemudian senyumnya mengembang. Memunculkan tanda tanya di benakku.

“Aku udah punya…, tapi… Ah, kurasa lebih baik kamu dengar sendiri aja. Biar tahu lagu itu tentang apa. Bentar ya?” Dia pergi meninggalkanku sendiri, memasuki ruangan lain dari rumahnya. Lalu datang sembari membawa gitar, dan saat di sampingku dia memainkannya untukku.

_
Tak sadarkah engkau
Tak tahukah engkau
Aku selalu perhatikanmu
Karena kau mentari di hatiku
Karena kau pelangi di jiwaku
Aku mencintaimu apa adanya
Di mataku kaulah yang paling sempurna
Oh… Oh… Qaila

Dia mengalunkan lagu itu penuh penghayatan, sembari selalu tersenyum dan menatapku penuh arti. Aku membalas senyumannya. Rasa bahagia menyelimuti hati ini. Nggak disangka dia bisa seromantis ini padaku.

“Sebenarnya, aku udah lama nyiptain lagu ini. Tapi aku nggak berani menyanyikannya untukmu,” ucapnya, setelah berhenti menyanyi dan memetik gitar. Sedang aku, saat ini sibuk mengusap air mata yang berjatuhan karena terharu. “Lalu, pas kamu bilang minta lagu. Aku berusaha memberanikan diri menyanyikannya untukmu.”

“Ciye…” Huh! Kakak dan Arni tiba-tiba datang, dan merusak suasana yang tadinya begitu romantis.

Tamat