Thursday 2 July 2015

Hidayah Cinta Di Bulan Ramadhan



Panggil aku Freya. Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang penuh perbedaan. Ayahku keturunan Inggris, sementara Ibu keturunan Jawa. Ayah pemeluk agama non muslim, sementara ibuku seorang muslimah.

Pada usia ke 17 aku diharuskan memilih agama mana yang akan kuikuti ajarannya. Aku bingung sekali. Selama ini aku begitu akrab dengan saudara-saudara sepupuku dari pihak Ayah. Jika aku memilih islam sebagai agamaku, aku takut mereka akan menjauhiku.

Hanya Kak Sisil satu-satunya sepupuku yang selalu mendukungku, "agama itu tentang keyakinan masing-masing orang Frey. Jika mereka memang menyayangimu, semestinya mereka tetap menghormati apapun keyakinanmu."

"Jika aku memilih menjadi pemeluk islam, apakah Kakak akan tetap menyayangiku seperti ini?"

"Tentu saja Frey," jawabnya, lalu tersenyum hangat. Dan kami pun berpelukan.

Namun cibiran saudara-saudara sepupuku yang lain membuat keyakinanku goyah. Aku akhirnya memilih menjadi umat non muslim, meski itu tak sesuai kata hatiku.

Di usia 20 dokter memvonisku menderita kanker otak. Sejak itu aku merasa bagai berada dalam sangkar emas, Ayah dan Ibu mengharuskanku selalu di rumah. Aku merasa kesepian.
Kehadiran seorang pria mengusir kesepian yang kurasa, walau kami hanya dipertemukan lewat dunia maya. Lalu saling mendengar suara via telepon. Pria itu seorang penganut muslim yang taat. Namun dia begitu menghargai perbedaan. Dia tak pernah bersikap seolah dia yang selalu benar. Dan berbeda dari kebanyakan pria berusia di atasku yang kukenal, dia tidak bersikap sok dewasa dan memperlakukanku layaknya adik.

Dia menyadarkan aku bahwa sebenarnya islam adalah agama yang damai, agama yang tak memaksa, dan agama yang memberikan ketenangan bagi setiap penganutnya. Kadang, di kala malam tiba aku menangis sendiri di balkon kamarku. Menyesali keputusanku dulu.

Seiring berjalannya waktu kami jadi semakin akrab, layaknya sahabat. Hingga aku kemudian menyadari ada desir aneh saat kudengar dia tertawa mendengar leluconku.

Tepat saat dia meneleponku sepulang dari terawih, di malam pertama terawih dilaksanakan, aku iseng-iseng bertanya, "Kriteria pasangan yang Kak Muhsin cari itu yang bagaimana?"

"Tentu saja yang solehah Frey. Memangnya kamu punya kenalan muslimah?"

"Kenapa harus cari muslimah? Mengapa bukan aku saja? Aku rela jadi mualaf." Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba saja aku berani mengatakannya.

"Aku senang mendengarmu ingin menjadi mualaf. Tetapi jika itu karena aku, aku minta urungkan niatmu Frey."

"Aku memang menyayangimu Kak. Tetapi sejak kecil aku sudah meyakini kebenaran ajaran islam. Hanya saja, aku takut dijauhi, aku takut kesepian, dan sendirian. Temani aku Kak. Bimbing aku ..."

"Tetapi, maaf Frey. Aku tetap tak bisa. Karena sejak awal kau bilang kita hanya bersahabat. Kau ingat? Awalnya kau menunjukkan padaku gambar-gambar model-model kaus yang kau buat, lalu kita bekerjasama hingga kini. Kau yang menggambar, aku yang menyablon. Maaf Frey, aku tak bisa membohongi hatiku. Bagiku, sekali sahabat, tetap sahabat."

Seketika, aku merasa seolah langit-langit di kamarku runtuh menimpa tubuhku yang rapuh. Aku tak kuat, "sudah malam Kak. Besok lagi kita telponannya."

***

"Sudahlah Non, jangan menangis terus. Ikhlaskan saja. Agar hati kita merasa lega dan tenang ...," ucap Bibi suatu pagi, ketika dia memasuki kamarku untuk beres-beres, demi melihatku sedang duduk di kursi balkon kamar dan terus menatap ke bawah sembari membiarkan air mata mengalir liar tanpa henti, seolah ingin bunuh diri. Selama ini hanya Bibi yang tahu kedekatan dan perasaanku pada pria pengusaha sablon dari Kediri itu, karena aku sering bercerita padanya hampir setiap hari.

"Bi, ajari aku masuk islam."

"Non, agama itu tentang keyakinan hati. Tidak boleh main-main."

"Aku tidak main-main Bi. Aku sangat serius!" ucapku tegas.

"Seserius apa memangnya? Bagaimana jika setelah menjadi mualaf pun dia tetap tak menerima Non?"

"Bi, ini bukan lagi tentang dia. Ini tentang keyakinan hatiku sejak kecil. Aku ingin masuk islam, tetapi aku takut dikucilkan. Sekarang aku tak peduli! Aku hanya ingin mengikuti kata hati."

"Non, saya takut sama Tuan."

"Tak perlu takut Bi, saya mendukung apapun pilihan anak-anak saya. Keyakinan memang sesuatu yang tak bisa dipaksakan." Ayah tiba-tiba muncul dari dalam kamar. Lalu berjalan penuh wibawa mendekatiku. "Ayo kita masuk islam sama-sama Nak," ajaknya sambil menyentuh pundakku.

Aku dan Bibi saling pandang, tak percaya. Mendadak Ibu datang, "Ayah, Ustaz Muhsin dari Kediri sudah datang menunggu di ruang tamu."

"Muhsin?"

"Ayah bertemu dengannya saat sedang dinas di Kediri. Dia pemuda yang hebat. Pengusaha sablon sekaligus cucu pemilik Pondok Pesantren. Sebenarnya, Ayah juga sama sepertimu, sudah lama ingin masuk islam tetapi takut dikucilkan di keluarga besar."

"Selama kita mampu menghormati keyakinan orang lain. InsyaAllah orang lainpun akan menghormati keyakinan kita," ucap Ibu sembari tersenyum
.

Selesai ....

No comments:

Post a Comment