Monday, 25 August 2025

Sandy Membangun Standar, tapi Shawn Meruntuhkannya

 

Dulu, aku sering berandai-andai: bagaimana kalau aku mengenal sosok yang seperti Sandy lebih dulu, ketika aku masih remaja?

Mungkin hidupku akan berbeda.


Kalau di zaman aku muda ada sosok seperti itu, mungkin aku akan punya standar tinggi soal pasangan. Jadi nggak gampang menerima sembarang orang dan direndahkan hanya karena pilihanku. Aku nggak akan mudah terpesona dengan cowok yang pintarnya cuma setingkat kabupaten—karena ada Sandy, yang punya prestasi matematika internasional ketika SMA, dan IPK sempurna saat kuliah di Singapura. Aku juga nggak akan gampang minder saat dituduh memilih seseorang hanya karena wajahnya, yang paling banter cuma diakui di lingkup komunitas. Karena ada Sandy, yang ketampanannya bahkan diendorse produk perawatan wajah, berarti sudah diakui secara nasional.


Intinya, kalau aku sudah terbiasa ngefans cowok dengan standar setinggi itu, mungkin aku juga akan punya standar tinggi. Aku nggak akan buang-buang waktu dengan cowok yang down grade. Kalaupun harus jomblo terus, ya nggak masalah. Masih ada banyak hal bermanfaat yang bisa kulakukan ketimbang menunggu seseorang yang bahkan tak berniat datang.


Tapi sekarang, aku merasa justru bagus mengenal sosok seperti Shawn setelah aku dewasa. Kalau aku masih remaja labil, mungkin berbahaya. Dia bisa merusak semua standar yang susah payah kutetapkan.


Misalnya, aku cenderung suka cowok rendah hati. Tapi Shawn? Di episode pertama COC Season 2, gayanya jelas-jelas terlihat seperti petentang-petenteng. Anehnya, aku tetap bisa terpesona. Logikaku berusaha membela: mungkin karena dia pintar. Lagi pula, dia memang menempati posisi lima di tantangan Harmonic Math, di sebuah kompetisi kecerdasan yang diselenggarakan oleh lembaga bimbingan belajar online. Dan mungkin, sikap sok jago itu hanya berlaku di panggung COC. Semacam akting saja. Karena di luar kompetisi, Shawn terlihat lebih bersahabat: mudah akrab, peduli pada teman-temannya, dan menghargai setiap dukungan fans.


Aku juga bukan tipe cewek yang suka cowok kekar dan berotot. Bukan apa-apa, lebih karena takut. Dari film-film yang pernah kutonton, cowok seperti itu sering digambarkan kasar. Tapi entah kenapa, senyum manisnya Shawn membuatku percaya bahwa dia berbeda. Senyum itu justru membuatku yakin ia penyayang. Keyakinan itu makin kuat ketika aku menonton rekaman live-nya dari akun fans: sambil memeluk dan mengelus kucing peliharaannya, ia terlihat seakan punya hati yang lembut.


Aku pun sadar, Shawn perlahan mengubah definisi tentang tipe cowok yang kusukai. Aku biasanya terpikat dengan mereka yang kalem, tenang, dan bijaksana. Sedangkan Shawn? Dari konten dan live—apalagi kalau bersama Andreas—sikapnya cenderung banyak tingkah, penuh guyon. Dan anehnya, aku tetap suka.


Mungkin memang begitu cara Shawn masuk dalam hidupku: bukan untuk memenuhi standar yang kubuat, tapi untuk meruntuhkannya pelan-pelan.


No comments:

Post a Comment