Almarhum Bapak pernah ngomong, "Nduk, kalau ada yang berbuat baik padamu, maka balaslah dengan kebaikan."
Tapi apa yang aku alami ini bikin aku pengen protes sama beliau. Ya, gimana aku nggak protes, sebuah kebaikan yang aku maksud buat balas kebaikan teman, malah dikira seolah-olah aku mengirim ajian jaran goyang.
Oh astaga! Andai aku bisa benar-benar mengirim ajian jaran goyang, pasti udah aku kirim ke Nicholas Saputra! Eh, enggak Rory Asyari aja. Eh, atau mendingan Pradikta Wicaksana aja ya? Tuh kan, kalau aku beneran punya ajian jaran goyang, yang ada aku malah bingung mau pilih siapa.
Semua berawal dari cerita sahabatku sesama difabel, April, tapi nggak pakai Mop. Dia ikut proyek nulis bareng. Syaratnya, tiap peserta wajib jual minimal satu buku, kalau gagal namanya dihapus dari daftar kontributor karya. Seketika aku membayangkan perjuangan dia nulis dari pagi sampai malam, harus lenyap begitu saja kalau nggak berhasil menjual. Aku takut dia tiba-tiba cosplay jadi Rossa, "Ku menangis... membayangkan... betapa kejamnya dirimu melepas diriku...."
Sebagai sahabat yang merasa berhutang padanya. Tapi bukan "hutang dulu seratus" ya? Bukan dong.... Hutangku ke dia adalah sering tiba-tiba mendaulat dia jadi tukang nampung curhat dadakan, tanpa dibayar pula! Jadi aku pun memutar otak, bagaimana agar bisa membantu.
Aku pengin beli, tapi rumahku sering banjir. Automatis rak buku aku udah mirip atlet renang, yang tiap hari berenang mulu nggak ada capeknya. Bedanya kalau atlet renang kolamnya biru, kalau rak buku di rumahku kolamnya coklat. Akhirnya aku kepikiran buat beli bukunya April… tapi dikirim ke temenku, Farhad.
Farhad ini cowok sesama difabel juga, tapi lebih jago dari aku dalam urusan teknologi. Aku butuh narasumber disabilitas — Farhad bantuin. HP mama error — Farhad bantuin. Aplikasi pelatihan ribet — Farhad bantuin. Pokoknya bagiku dia kayak “Tukang Service Ponsel + Teman Setia + ChatGPT versi bisa napas.”
Jadi aku pikir, kirim buku buat dia itu sebagai tanda terima kasih aja. Nggak ada maksud lain. Bahkan aku request jangan dikasih nama pengirim, nggak ada kata-kata cinta, apalagi bunga tujuh rupa. No! Normal semuanya.
Tapi ternyata… paket normal itu malah bikin sikap Farhad berubah jadi nggak normal.
Beberapa waktu setelah paket sampai, Farhad berubah. Yang biasanya nulis “aku”, jadi “saya”. Yang biasanya balas chat dalam jeda beberapa jam aja, tiba-tiba jadi tujuh hari tujuh malam. Yang biasanya menutup percakapan dengan stiker, tiba-tiba centang biru tanda dibaca pun nggak pernah ada.
Masya Allah, formal banget! Aku jadi kepikiran, dia mau nyalon jadi anggota DPR kali ya? Makanya saking sibuknya kampanye dia nggak sempat balas chat.
Sampai suatu hari, aku tahu faktanya dari temen aku si Bella. Awalnya dia seperti biasanya, sering curhat soal cowok-cowok yang mendekatinya. Aku udah hafal banget polanya — mulai dari “ada yang ngajak kenalan nih” sampai “tapi aku nggak ada rasa.” — Yang kadang-kadang pengen kubalas, "Tambahin syrup dong!"
Tapi hari itu beda. Dia tiba-tiba nyeletuk, “Kenapa ya, cowok-cowok disabilitas tuh cenderung gampang banget geer? Contohnya, baru dikirimin buku doang, udah berasa kayak diseret ke KUA.”
Aku langsung merasa kayak disambar petir. Lho… buku? Siapa yang ngirimin buku? Kok kayaknya nyindir seseorang. Seseorang itu... aku?
Karena aku orangnya suka kepo, aku langsung memotong ucapannya. “Kamu nyindir siapa, Bel?”
“Bukan siapa-siapa,” katanya santai. "Cuma ngasih perumpamaan aja. Hehehe...."
Tapi aku merasa jawaban “Bukan siapa-siapa”. Itu artinya “Ada... seseorang, tapi aku takut ngomongnya”.
Akhirnya aku mencecar dia kayak detektif gadungan: tanya dari berbagai sudut, dengan berbagai versi, sampai akhirnya dia terjebak. Kemudian terpaksa bilang apa adanya.
Katanya Farhad pernah ngechat dia begini, “Alma ngapain sih, kirim beginian segala? Aku nggak suka dikirimin beginian!”
Bayangin, aku cuma ngirim buku, bukan kirim bulu perindu. Tapi dia malah mengadukannya ke orang lain, kayak bocil SD yang ngelaporin temennya karena ngompol di dalam kelas.
Waktu itu aku bingung banget.
Aku harus gimana coba? Diem aja biar dia hilang dari hidup aku kayak uang di dompet pas akhir bulan? Atau kasih penjelasan semuanya biar nggak bikin salah paham?
Tapi aku juga bingung jelasin apa? Lah wong aku sendiri nggak tahu apa yang dia pikirin. Mau klarifikasi juga takut dikira beneran suka, karena terkesan takut kehilangan. Yaudah, akhirnya aku cuma bisa diem…
Aku tuh emang kadang ngasih-ngasih gitu, terutama ke temen sesama disabilitas. Sebatas bentuk ucapan terima kasih ke orang-orang yang pernah berjasa. Nggak peduli dia cowok, atau cewek. Yang penting tetap manusia, bukan alien! Setiap yang pernah bantu, aku pengin balas.
Tapi aku punya satu permintaan: jangan upload ke sosmed. Kalau enggak mau aku ngambek!
Walaupun kadang ada yang maksa upload, aku kasih syarat satu hal: tolong jangan tag namaku. Soalnya aku ngasih secara ikhlas sebagai teman, bukan sebagai calon anggota dewan yang butuh pencitraan. Soalnya aku udah punya sepupu yang namanya Citra, jadi buat apa coba nyariin si Citra? Satu aja nggak habis-habis!
Kecuali waktu aku promo novelku sendiri, “Mengejar Gemilang.”
Nah itu lain cerita—karena tujuannya emang promo. Gimana mau novelnya laku kalau nggak di-post, kan? Masa iya promo lewat pengumuman toa masjid? Yang ada malah bikin geger satu kampung.
Aku masih terus mendesak Bella buat nunjukin bukti screenshot, tapi semakin aku baca percakapan Farhad, rasanya aku pengen teriak kenceng, "Woy, Kak, kamu jangan geer gitu deh!"
Farhad: Aku nggak nyaman dikirimi hadiah, apalagi sama orang yang nggak terlalu akrab, kayak Alma itu.
"Kenapa kamu nggak ngomong langsung aja? Kenapa harus ngadu ke Bella segala? Emang si Bella guru BP yang harus ngurusin semua aduan bocah SD?"
Farhad: Udah dua kali nih, pertama Cindy, terus Alma.
"Jangan samakan semua cewek yang perhatian sama kamu! Setiap cewek itu beda-beda. Niatnya juga belum tentu sama. Emang kamu mau kalau disamain sama Vicky Prasetyo misalnya?"
Farhad: Kalau nggak ada embel-embel suka sih nggak apa-apa.
"Emang kapan sih, aku pernah bilang suka sama kamu?! Kamu mau alih profesi jadi dukun? Bisa tiba-tiba baca perasaan orang."
Farhad: Menurutmu, sebagai cewek sering dikasih hadiah tapi nggak punya rasa, risih nggak sih?
"Emang siapa yang nyuruh kamu buat punya rasa ke aku? Kamu bukan es krim yang harus tersedia dalam berbagai rasa."
Akhirnya, gue curhat ke Mas A, temen sesama disabilitas.
Aku ceritain semuanya, “Mas, aku tuh cuma mau balas budi dua orang sekaligus, tapi kok malah dikira suka? Emangnya dia pikir aku kirim buku nikah apa? Cuma buku biasa lho itu!”
Dia jawab santai, “Daripada kamu stres, tulis aja jadi cerpen. Mungkin nggak semua kesalahpahaman butuh penjelasan. Biarin aja nggak sih?”
Dalam hati aku refleks ngebantah, “Tapi aku pernah baca quotes: Jangan bikin penulis jatuh cinta, karena nanti kamu abadi dalam karyanya. Kalau Farhad tahu aku nulis ini, terus dia pikir aku beneran suka sama dia gimana dong?”
Sementara aku cuma bisa mengetik singkat, "Makasih banyak, Mas, atas sarannya."
Setelah lebih dari setahun berlalu, akhirnya aku berani juga nulis semuanya. Selepas semua drama itu lewat, aku malah bersyukur.
Ternyata, kejadian yang dulu justru ngajarin aku banyak hal. Aku jadi sadar betapa pentingnya belajar lebih banyak lagi, supaya bisa melakukan apapun sendiri.
Aku yang dulu selalu berpikir, "Aku harus pintar, biar nggak kalah sama temen-temen seumuran."
Sejak kejadian itu jadi mikir, "Aku butuh jadi orang yang pintar dan paham banyak hal, biar aku nggak butuh bantuan dia, atau bantuan cowok manapun!"
Mungkin memang gitu cara hidup ngasih pelajaran: kadang bukan lewat motivator, tapi lewat salah paham konyol. Tapi nggak apa-apa — dari hari-hari yang berlalu tanpanya, aku belajar, kalau ternyata aku bisa berdiri tanpa dia.
Kalau suatu saat ada yang mikir tulisan ini tentangnya atau pertanda aku nggak bisa melupakannya, tinggal pakai template ending sinetron aja!
"Kisah ini hanyalah fiktif semata. Semua kesamaan nama, karakter, lokasi, dan jalan cerita hanya kebetulan belaka."
TAMAT

No comments:
Post a Comment