Aku suka menulis apapun di sosial media, termasuk tentang mimpiku untuk kuliah dan memberi kontribusi pada teman-teman sesama disabilitas. Hingga suatu hari tulisanku dibaca oleh seorang perempuan yang menawarkan diri untuk menjemputku ke rumah.
Anehnya aku sama sekali tidak menaruh curiga. Bahkan keluargaku langsung merestui tanpa banyak bertanya. Semuanya terasa berjalan dengan cepat dan tanpa kendala.
Kini aku berada di depan sebuah rumah besar bergaya Eropa, dengan taman penuh mawar dan pancuran air yang berkilau diterpa matahari. Seorang wanita berpakaian elegan berdiri di belakang kursi rodaku. Wajahnya menenangkan—vibes-nya mirip Dian Sastrowardoyo, tapi bukan dia.
“Namaku Aurelia, anggap saja aku kakakmu,” katanya lembut sambil menggenggam tanganku. “Mulai hari ini, kau tinggal di sini. Anggap rumah ini rumahmu, Amel.”
Sebelum sempat bertanya, dia mendorong kursi rodaku untuk mengajakku masuk. Kamar yang disiapkannya sungguh seperti dalam film kerajaan di Eropa: luas, beraroma bunga, dan penuh baju-baju modis yang membuatku merasa seperti putri dadakan.
Kakak angkatku adalah wanita yang kaya raya, cerdas, dan punya hati yang baik. Dia membiayaiku kuliah, memperkenalkanku pada teman-temannya, dan bahkan menjadikanku bagian dari keluarganya. Dia sering memuji tulisanku bagus dan aku punya bakat luar biasa di bidang literasi.
Dan di sanalah aku bertemu Niko—pacarnya. Katanya dia adalah seorang aktor terkenal saat ini. Wajahnya tenang, aura karismatiknya sulit dijelaskan. Aku langsung mengerti kenapa kakakku jatuh cinta padanya.
Niko juga memperlakukanku dengan hangat, menganggapku benar-benar seperti adik ipar. Kadang ia menjemputku kuliah, meski aku dan kursi rodaku sudah pasti akan sedikit merepotkannya. Bahkan dia sering membelikan cemilan favoritku tanpa diminta.
Tapi lama kelamaan aku mulai merasa perhatiannya berlebihan dan tidak masuk akal. Kadang dia tiba-tiba mengajakku ke butik mewah dan menyuruhku memilih baju apapun yang aku inginkan. Kadang bahkan dia memberiku kejutan berupa perhiasan mahal. Teman-teman kuliah mulai menyebarkan rumor, "Ipar adalah maut."
Padahal jangankan untuk menggodanya, menatap wajahnya saja aku tak berani. Aku lebih sering menunduk, atau pura-pura melihat ke arah lain saat kita hanya berdua. Aku juga sering meminta kakak untuk tidak meninggalkan kami berduaan, tapi sayang kesibukannya mengurus perusahaan keluarga membuatnya terpaksa meninggalkanku dengan tatapan rasa bersalah.
Hingga aku mulai berpikir untuk kabur dari semua ini!
Namun pada suatu sore, saat kami bertiga duduk di taman, Niko tiba-tiba memanggil seseorang. Kakak dan Niko saling berpandangan seolah merahasiakan sesuatu.
Ternyata mereka sudah lama berniat untuk memperkenalkanku pada seseorang. “Mel, ini adikku, Sean,” katanya. Aku menoleh, dan... jantungku nyaris berhenti berdetak.
Sean mirip sekali dengan Niko—hanya saja lebih muda, lebih santai, dan punya tatapan mata yang menyimpan keusilan lembut. “Jadi ini ‘adik cantik’ yang sering kamu ceritain itu?” katanya sambil tersenyum. Aku hanya bisa tertawa gugup.
Sejak hari itu, Sean sering mampir. Kadang pura-pura membantu belajar, kadang hanya ingin mengajakku makan bersama. Tapi semakin lama, semakin terasa kalau antara kami ada sesuatu yang pelan-pelan tumbuh—hangat, tulus, dan tanpa rencana.
Beberapa tahun kemudian, aku berdiri di taman yang sama, mengenakan gaun yang indah berwarna ungu. Kakak menatapku sambil tersenyum bahagia, kemudian memeluk erat.
“Sekarang kau benar-benar adikku, Mel,” katanya.
Sementara itu di sebelahku, Sean menggenggam tanganku dengan lembut. Aku menatap ke arah rumah besar itu—tempat di mana semuanya dimulai, dari awal kesalahpahaman yang aneh sampai menjadi takdir yang indah.
Tiba-tiba aku membeku di tengah hiruk-pikuk keramaian pesta pernikahan. Endingnya terlalu indah. Seperti dongeng Cinderella, atau entah putri-putri yang mana. Ini pasti mimpi!
Benar saja! Setelah aku memejamkan mata, kemudian membukanya kembali, yang aku dapatkan hanyalah pemandangan langit-langit kamar berwarna putih yang mulai menguning. Aku tersenyum sendiri, "Betapa bahagianya menjadi Cinderella. Meski hanya untuk semalam."
TAMAT

