Thursday, 30 October 2025

Cinderella Semalam

 



Aku suka menulis apapun di sosial media, termasuk tentang mimpiku untuk kuliah dan memberi kontribusi pada teman-teman sesama disabilitas. Hingga suatu hari tulisanku dibaca oleh seorang perempuan yang menawarkan diri untuk menjemputku ke rumah. 

Anehnya aku sama sekali tidak menaruh curiga. Bahkan keluargaku langsung merestui tanpa banyak bertanya. Semuanya terasa berjalan dengan cepat dan tanpa kendala. 

Kini aku berada di depan sebuah rumah besar bergaya Eropa, dengan taman penuh mawar dan pancuran air yang berkilau diterpa matahari. Seorang wanita berpakaian elegan berdiri di belakang kursi rodaku. Wajahnya menenangkan—vibes-nya mirip Dian Sastrowardoyo, tapi bukan dia.

“Namaku Aurelia, anggap saja aku kakakmu,” katanya lembut sambil menggenggam tanganku. “Mulai hari ini, kau tinggal di sini. Anggap rumah ini rumahmu, Amel.”

Sebelum sempat bertanya, dia mendorong kursi rodaku untuk  mengajakku masuk. Kamar yang disiapkannya sungguh seperti dalam film kerajaan di Eropa: luas, beraroma bunga, dan penuh baju-baju modis yang membuatku merasa seperti putri dadakan.

Kakak angkatku adalah wanita yang kaya raya, cerdas, dan punya hati yang baik. Dia membiayaiku kuliah, memperkenalkanku pada teman-temannya, dan bahkan menjadikanku bagian dari keluarganya. Dia sering memuji tulisanku bagus dan aku punya bakat luar biasa di bidang literasi. 

Dan di sanalah aku bertemu Niko—pacarnya. Katanya dia adalah seorang aktor terkenal saat ini. Wajahnya tenang, aura karismatiknya sulit dijelaskan. Aku langsung mengerti kenapa kakakku jatuh cinta padanya. 

Niko juga memperlakukanku dengan hangat, menganggapku benar-benar seperti adik ipar. Kadang ia menjemputku kuliah, meski aku dan kursi rodaku sudah pasti akan sedikit merepotkannya. Bahkan dia sering membelikan cemilan favoritku tanpa diminta.

Tapi lama kelamaan aku mulai merasa perhatiannya berlebihan dan tidak masuk akal. Kadang dia tiba-tiba mengajakku ke butik mewah dan menyuruhku memilih baju apapun yang aku inginkan. Kadang bahkan dia memberiku kejutan berupa perhiasan mahal. Teman-teman kuliah mulai menyebarkan rumor, "Ipar adalah maut." 

Padahal jangankan untuk menggodanya, menatap wajahnya saja aku tak berani. Aku lebih sering menunduk, atau pura-pura melihat ke arah lain saat kita hanya berdua. Aku juga sering meminta kakak untuk tidak meninggalkan kami berduaan, tapi sayang kesibukannya mengurus perusahaan keluarga membuatnya terpaksa meninggalkanku dengan tatapan rasa bersalah. 

Hingga aku mulai berpikir untuk kabur dari semua ini! 

Namun pada suatu sore, saat kami bertiga duduk di taman, Niko tiba-tiba memanggil seseorang. Kakak dan Niko saling berpandangan seolah merahasiakan sesuatu. 

Ternyata mereka sudah lama berniat untuk memperkenalkanku pada seseorang. “Mel, ini adikku, Sean,” katanya. Aku menoleh, dan... jantungku nyaris berhenti berdetak.

Sean mirip sekali dengan Niko—hanya saja lebih muda, lebih santai, dan punya tatapan mata yang menyimpan keusilan lembut. “Jadi ini ‘adik cantik’ yang sering kamu ceritain itu?” katanya sambil tersenyum. Aku hanya bisa tertawa gugup.

Sejak hari itu, Sean sering mampir. Kadang pura-pura membantu belajar, kadang hanya ingin mengajakku makan bersama. Tapi semakin lama, semakin terasa kalau antara kami ada sesuatu yang pelan-pelan tumbuh—hangat, tulus, dan tanpa rencana.

Beberapa tahun kemudian, aku berdiri di taman yang sama, mengenakan gaun yang indah berwarna ungu. Kakak menatapku sambil tersenyum bahagia, kemudian memeluk erat.

“Sekarang kau benar-benar adikku, Mel,” katanya.

Sementara itu di sebelahku, Sean menggenggam tanganku dengan lembut. Aku menatap ke arah rumah besar itu—tempat di mana semuanya dimulai, dari awal kesalahpahaman yang aneh sampai menjadi takdir yang indah.

Tiba-tiba aku membeku di tengah hiruk-pikuk keramaian pesta pernikahan. Endingnya terlalu indah. Seperti dongeng Cinderella, atau entah putri-putri yang mana. Ini pasti mimpi! 

Benar saja! Setelah aku memejamkan mata, kemudian membukanya kembali, yang aku dapatkan hanyalah pemandangan langit-langit kamar berwarna putih yang mulai menguning. Aku tersenyum sendiri, "Betapa bahagianya menjadi Cinderella. Meski hanya untuk semalam." 


TAMAT 






Dikira Ngirim Pelet!

 



Almarhum Bapak pernah ngomong, "Nduk, kalau ada yang berbuat baik padamu, maka balaslah dengan kebaikan."


Tapi apa yang aku alami ini bikin aku pengen protes sama beliau. Ya, gimana aku nggak protes, sebuah kebaikan yang aku maksud buat balas kebaikan teman, malah dikira seolah-olah aku mengirim ajian jaran goyang.


Oh astaga! Andai aku bisa benar-benar mengirim ajian jaran goyang, pasti udah aku kirim ke Nicholas Saputra! Eh, enggak Rory Asyari aja. Eh, atau mendingan Pradikta Wicaksana aja ya? Tuh kan, kalau aku beneran punya ajian jaran goyang, yang ada aku malah bingung mau pilih siapa. 


Semua berawal dari cerita sahabatku sesama difabel, April, tapi nggak pakai Mop. Dia ikut proyek nulis bareng. Syaratnya, tiap peserta wajib jual minimal satu buku, kalau gagal namanya dihapus dari daftar kontributor karya. Seketika aku membayangkan perjuangan dia nulis dari pagi sampai malam, harus lenyap begitu saja kalau nggak berhasil menjual. Aku takut dia tiba-tiba cosplay jadi Rossa, "Ku menangis... membayangkan... betapa kejamnya dirimu melepas diriku...."  


Sebagai sahabat yang merasa berhutang padanya. Tapi bukan "hutang dulu seratus" ya? Bukan dong.... Hutangku ke dia adalah sering tiba-tiba mendaulat dia jadi tukang nampung curhat dadakan, tanpa dibayar pula! Jadi aku pun memutar otak, bagaimana agar bisa membantu. 


Aku pengin beli, tapi rumahku sering banjir. Automatis rak buku aku udah mirip atlet renang, yang tiap hari berenang mulu nggak ada capeknya. Bedanya kalau atlet renang kolamnya biru, kalau rak buku di rumahku kolamnya coklat. Akhirnya aku kepikiran buat beli bukunya April… tapi dikirim ke temenku, Farhad.


Farhad ini cowok sesama difabel juga, tapi lebih jago dari aku dalam urusan teknologi. Aku butuh narasumber disabilitas — Farhad bantuin. HP  mama error — Farhad bantuin. Aplikasi pelatihan ribet — Farhad bantuin. Pokoknya bagiku dia kayak “Tukang Service Ponsel + Teman Setia + ChatGPT versi bisa napas.”


Jadi aku pikir, kirim buku buat dia itu sebagai tanda terima kasih aja. Nggak ada maksud lain. Bahkan aku request jangan dikasih nama pengirim, nggak ada kata-kata cinta, apalagi bunga tujuh rupa. No! Normal semuanya.


Tapi ternyata… paket normal itu malah bikin sikap Farhad berubah jadi nggak normal.


Beberapa waktu setelah paket sampai, Farhad berubah. Yang biasanya nulis “aku”, jadi “saya”. Yang biasanya balas chat dalam jeda beberapa jam aja, tiba-tiba jadi tujuh hari tujuh malam. Yang biasanya menutup percakapan dengan stiker, tiba-tiba centang biru tanda dibaca pun nggak pernah ada. 


Masya Allah, formal banget! Aku jadi kepikiran, dia mau nyalon jadi anggota DPR kali ya? Makanya saking sibuknya kampanye dia nggak sempat balas chat.


Sampai suatu hari, aku tahu faktanya dari temen aku si Bella. Awalnya dia seperti biasanya, sering curhat soal cowok-cowok yang mendekatinya. Aku udah hafal banget polanya — mulai dari “ada yang ngajak kenalan nih” sampai “tapi aku nggak ada rasa.” — Yang kadang-kadang pengen kubalas, "Tambahin syrup dong!" 


Tapi hari itu beda. Dia tiba-tiba nyeletuk, “Kenapa ya, cowok-cowok disabilitas tuh cenderung gampang banget geer? Contohnya, baru dikirimin buku doang, udah berasa kayak diseret ke KUA.”


Aku langsung merasa kayak disambar petir. Lho… buku? Siapa yang ngirimin buku? Kok kayaknya nyindir seseorang. Seseorang itu... aku?


Karena aku orangnya suka kepo, aku langsung memotong ucapannya. “Kamu nyindir siapa, Bel?”


“Bukan siapa-siapa,” katanya santai. "Cuma ngasih perumpamaan aja. Hehehe...." 


Tapi aku merasa jawaban “Bukan siapa-siapa”. Itu artinya “Ada... seseorang, tapi aku takut ngomongnya”.


Akhirnya aku mencecar dia kayak detektif gadungan: tanya dari berbagai sudut, dengan berbagai versi, sampai akhirnya dia terjebak. Kemudian terpaksa bilang apa adanya.


Katanya Farhad pernah  ngechat dia begini, “Alma ngapain sih, kirim beginian segala? Aku nggak suka dikirimin beginian!”


Bayangin, aku cuma ngirim buku, bukan kirim bulu perindu. Tapi dia malah mengadukannya ke orang lain, kayak bocil SD yang ngelaporin temennya karena ngompol di dalam kelas.


Waktu itu aku bingung banget.

Aku harus gimana coba? Diem aja biar dia hilang dari hidup aku kayak uang di dompet pas akhir bulan? Atau kasih penjelasan semuanya biar nggak bikin salah paham?


Tapi aku juga bingung jelasin apa? Lah wong aku sendiri nggak tahu apa yang dia pikirin. Mau klarifikasi juga takut dikira beneran suka, karena terkesan takut kehilangan. Yaudah, akhirnya aku cuma bisa diem… 


Aku tuh emang kadang ngasih-ngasih gitu, terutama ke temen sesama disabilitas. Sebatas bentuk ucapan terima kasih ke orang-orang yang pernah berjasa. Nggak peduli dia cowok, atau cewek. Yang penting tetap manusia, bukan alien! Setiap yang pernah bantu, aku pengin balas.


Tapi aku punya satu permintaan: jangan upload ke sosmed. Kalau enggak mau aku ngambek! 

Walaupun kadang ada yang maksa upload, aku kasih syarat satu hal: tolong jangan tag namaku. Soalnya aku ngasih secara ikhlas sebagai teman, bukan sebagai calon anggota dewan yang butuh pencitraan. Soalnya aku udah punya sepupu yang namanya Citra, jadi buat apa coba nyariin si Citra? Satu aja nggak habis-habis! 


Kecuali waktu aku promo novelku sendiri, “Mengejar Gemilang.”

Nah itu lain cerita—karena tujuannya emang promo. Gimana mau novelnya laku kalau nggak di-post, kan? Masa iya promo lewat pengumuman toa masjid? Yang ada malah bikin geger satu kampung. 


Aku masih terus mendesak Bella buat nunjukin bukti screenshot, tapi semakin aku baca percakapan Farhad, rasanya aku pengen teriak kenceng, "Woy, Kak, kamu jangan geer gitu deh!" 


Farhad: Aku nggak nyaman dikirimi hadiah, apalagi sama orang yang nggak terlalu akrab, kayak Alma itu.


"Kenapa kamu nggak ngomong langsung aja? Kenapa harus ngadu ke Bella segala? Emang si Bella guru BP yang harus ngurusin semua aduan bocah SD?" 


Farhad: Udah dua kali nih, pertama Cindy, terus Alma.


"Jangan samakan semua cewek yang perhatian sama kamu! Setiap cewek itu beda-beda. Niatnya juga belum tentu sama. Emang kamu mau kalau disamain sama Vicky Prasetyo misalnya?" 


Farhad: Kalau nggak ada embel-embel suka sih nggak apa-apa.


"Emang kapan sih, aku pernah bilang suka sama kamu?! Kamu mau alih profesi jadi dukun? Bisa tiba-tiba baca perasaan orang." 


Farhad: Menurutmu, sebagai cewek sering dikasih hadiah tapi nggak punya rasa, risih nggak sih?


"Emang siapa yang nyuruh kamu buat punya rasa ke aku? Kamu bukan es krim yang harus tersedia dalam berbagai rasa."


Akhirnya, gue curhat ke Mas A, temen sesama disabilitas. 

Aku ceritain semuanya, “Mas, aku tuh cuma mau balas budi dua orang sekaligus, tapi kok malah dikira suka? Emangnya dia pikir aku kirim buku nikah apa? Cuma buku biasa lho itu!”


Dia jawab santai, “Daripada kamu stres, tulis aja jadi cerpen. Mungkin nggak semua kesalahpahaman butuh penjelasan. Biarin aja nggak sih?”


Dalam hati aku refleks ngebantah, “Tapi aku pernah baca quotes: Jangan bikin penulis jatuh cinta, karena nanti kamu abadi dalam karyanya. Kalau Farhad tahu aku nulis ini, terus dia pikir aku beneran suka sama dia gimana dong?”


Sementara aku cuma bisa mengetik singkat, "Makasih banyak, Mas, atas sarannya."


Setelah lebih dari setahun berlalu, akhirnya aku berani juga nulis semuanya. Selepas semua drama itu lewat, aku malah bersyukur.

Ternyata, kejadian yang dulu justru ngajarin aku banyak hal. Aku jadi sadar betapa pentingnya belajar lebih banyak lagi, supaya bisa melakukan apapun sendiri. 


Aku yang dulu selalu berpikir, "Aku harus pintar, biar nggak kalah sama temen-temen seumuran." 


Sejak kejadian itu jadi mikir, "Aku butuh jadi orang yang pintar dan paham banyak hal, biar aku nggak butuh bantuan dia, atau bantuan cowok manapun!" 


Mungkin memang gitu cara hidup ngasih pelajaran: kadang bukan lewat motivator, tapi lewat salah paham konyol. Tapi nggak apa-apa — dari hari-hari yang berlalu tanpanya, aku belajar, kalau ternyata aku bisa berdiri tanpa dia.


Kalau suatu saat ada yang mikir tulisan ini tentangnya atau pertanda aku nggak bisa melupakannya, tinggal pakai template ending sinetron aja!


"Kisah ini hanyalah fiktif semata. Semua kesamaan nama, karakter, lokasi, dan jalan cerita hanya kebetulan belaka."


TAMAT


Friday, 24 October 2025

Ayam dan Tiga Kesayanganku

Tiba-tiba pengen nonton ulang vlog-nya Shawn waktu masak ayam di Canada. Terus setelah aku ingat-ingat lagi Shawn sering live sambil masak ayam, atau lagi makan ayam. Bahkan waktu bikin vlog di Gunung juga ada saat-saat dia makan ayam. Apakah makanan kesukaan dia adalah ayam? 

Seketika aku teringat adikku. Setiap kali Mama tanya adik sukanya makan apa, aku cuma ingat, "Pasti kalau ayam, adik bakalan suka." Karena dia termasuk pilih-pilih makanan, sehingga aku dibuat bingung yang dia suka. Dalam ingatanku hanyalah, kalau ayam dia tak akan menolak. 

Bahkan jika suatu saat Mama masak lauk yang dia tidak suka, adikku  pasti pergi keluar buat beli ayam geprek atau ayam goreng. Jadi kesimpulannya, meskipun dia tak pernah terang-terangan mengaku suka, kayaknya dia memang suka ayam.

Terus tiba-tiba jadi teringat kalau adik online kesayanganku dari komunitas disabilitas juga suka ayam. Bahkan kemarin dia bikin editan di CapCut, "Kalau ada sembilan nyawa mau beli ayam semua." Hahaha .... 

Sebuah kebetulan yang menarik, 3 orang kesayangan aku sama-sama suka ayam 🤭


Idola yang Tertukar

 


Aku terbangun setelah tidur 3 jam. Anehnya, masih tercium sisa aroma bunga samar di hidungku — entah dari mana. Sepaket dengan rasa bersalah yang terasa menyesakkan dada. 

Mimpi yang baru saja kualami masih terbayang jelas di benakku ... 

***

"Nanti kalau ada pemuda bertubuh kekar tapi pakai almamater kampus, jangan takut ya? Dia itu salah satu mahasiswa KKN yang sedang numpang menginap di sini." Teringat pesan sang pemilik rumah sebelum meninggalkan aku. "Katanya mau pulang duluan." 

Saat ini aku berada di rumah saudara, di sebuah desa terpencil. Aku sedang menikmati makan siang, di dekat dapur sederhana. Semua orang pergi jalan-jalan keliling desa, hanya aku yang ditinggal sendirian.

Tidak mengherankan karena rumah warisan leluhur ini memang cukup luas, dengan beberapa kamar. Mungkin karena orang zaman dulu rata-rata memiliki banyak anak, sehingga kamar-kamar pun ada banyak. 

Sebagai jawaban aku hanya mengangguk, karena mulutku penuh dengan makanan, dan sedang repot mengunyah. 

Tiba-tiba pintu yang tadi tertutup terbuka dengan pelan, seorang pria berwajah tampan menyembulkan kepalanya. Mungkin itu salah satu Mahasiswa KKN yang dimaksud. Rupanya dia sudah pulang. Dia tersenyum dengan ramah. 

Tapi aku merasa wajahnya tidak asing. Setelah beberapa saat berpikir aku mengenalinya sebagai kekasih sahabatku, namanya Roger.

Roger, adalah sosok yang bahkan selama ini tidak pernah menjadi perhatianku. Sering mendapat tuduhan nggak masuk akal ketika beramah-tamah dengan lelaki, membuatku trauma, dan lebih berhati-hati. Jangankan untuk berinteraksi, sekedar menatap ke arah sosoknya aku tak berani. 

Tapi sekarang aku terlanjur memandangnya. Senyumnya ramah, aku balas sekilas, kemudian pandangan kualihkan ke arah makanan yang ada di pangkuan. Tapi aku terlanjur menangkap bayangan tentang tubuhnya yang besar dan berotot, seperti tokoh film laga. Entah bagaimana sosok seperti itu tiba-tiba muncul di dunia nyata, bahkan sekitar semeter ada di dekatku.

“Sendirian?” tanyanya, suaranya dalam tapi terdengar lembut.

Aku mengangguk kikuk. “Iya… yang lain lagi jalan-jalan keliling desa.”

Tanpa bicara banyak, dia masuk sebentar ke kamarnya, lalu keluar lagi sambil membawa sebotol parfum. Tiba-tiba aku melihatnya berjalan menuju ke belakang punggungku. 

Satu semprotan, dua semprotan — ssstt, sssstt! Aroma wangi menyeruak ke udara… dari arah punggungku. “Eh! Emangnya aku bau, ya?!” seruku spontan, separuh tersinggung. 

Kemudian Roger duduk di hadapanku, lantas tertawa kecil, matanya menyipit ramah. “Enggak. Cuma kemarin aku menang lomba 17-an hadiahnya parfum buat cewek. Aku cobain semprot ke kamu, ternyata wanginya cocok.”

Aku diam. Mau marah tapi takut.

Tubuhnya besar sekali. Aku memang selalu takut sama pria berotot — entah kenapa mereka tampak seperti bisa menghancurkan apa pun.

Tapi Roger tidak menakutkan, malah senyumannya terlihat memberikan ketenangan.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, dia mengacak-acak rambutku. Lembut. Tapi cukup membuat dadaku berdesir halus.

Aku menelan ludah, mencoba mundur selangkah. Dan tiba-tiba… wajah Ayunda muncul di pikiranku.

Aku membatin, “Ayunda, maafin aku. Aku nggak maksud ganggu pacar kamu. Aku cuma nggak berani melawan.” 

Ya Allah, selamatkan aku dari situasi ini.... 

***

Kupandangi layar ponselku, grup "Fans COC" mulai membahas tentang live-nya Shawn dan Satya. Aku ingat sebelum tidur siang sempat mengabarkan, "Shawn live with Satya jam 12 siang WIB. Siapa tahu ada yang kangen." 

Ternyata saat aku sudah mematikan internet, Ayunda menjawab, "Sebenarnya aku malah kangen Roger." 

Aku pun membuat pengakuan dosa, “Aku malah mimpiin Roger.... Maafkan aku, Ayunda.”

Pesan terkirim, dan tak lama kemudian Ayunda menanggapi dengan emoji tertawa.

Aku tersenyum sendiri. Bahkan dalam mimpi pun aku harus berperan sebagai tokoh jahat yang merebut kekasih orang. Hahaha ... 

Sebelum tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu. "Apakah ini juga bagian dari karma?" 

Mungkinkah ini berakar dari curhat semalam, yang malah berujung pada mimpi yang aneh. Memimpikan pria tampan, bertubuh kekar, dan berusia sepuluh tahun lebih muda. Tapi rasa yang tertinggal ketika aku terbangun adalah .... seakan menghianati sahabatku sendiri. 

***  

Malam sebelumnya aku curhat pada seorang kakak yang aku kenal di dunia maya, anggap saja namanya Kak Binar. Karena pembawaannya yang ramah secerah sinar mentari.

Aku bercerita kalau adikku akhirnya lulus wisuda kuliahnya. Kemudian berlanjut membahas keputusan konyol menerima Bahri, karena berharap dia bakal jadi sosok kakak ipar yang baik untuk adikku. Karena dia terlihat sebagai sosok yang peduli terhadap pendidikan. 

Tapi dampaknya aku malah dimusuhi sama fans-fansnya Bahri. Teman-teman disabilitas juga malah menyalahkanku. Menuduhku yang mengejar-ngejar Bahri, dan bahkan rebutan Bahri dengan Tamara, salah satu anggota perempuan di komunitas tersebut. 

Aku kemudian cerita kalau aku memang sering dapat tuduhan aneh. Salah satunya tuduhan ingin menikung Martono, cowok yang dulu aku kenal sebagai gebetannya Cantik. Padahal aku sudah menganggap Cantik itu sebagai adik, seandainya pun aku suka Martono, aku rela mengalah.

Awalnya, obrolan mengalir begitu saja. Hingga Kak Binar tiba-tiba bilang, “Eh, aku malah berharap kamu berjodoh sama Martono, karena karakternya baik.”

Aku cuma ketawa. Aku sama sekali nggak tertarik sama cowok itu. Bahkan seingatku, aku sering debat sama Martono. Karena selain kita sering berbeda pendapat, kadang aku sengaja memicu keributan, agar tidak dikira termasuk deretan fansnya. Soalnya waktu itu aku hater Martono. Hehehe.... 

Aku membatin, "Aku memang sempat mengaguminya karena pintar. Tapi nggak semua cowok pintar membuatku jatuh hati. Buktinya di COC season 2, yang aku kagumi sebagai sosok lelaki idaman hanya satu." 

Lalu di hari berikutnya, pada saat tidur siang, entah kenapa mimpi aneh seperti itu datang. Memimpikan peserta Clash of Champions yang lain, bukan yang selama ini sering aku ceritakan pada teman-temanku, dan bukan yang selama ini mengisi galeri ponselku. 

Mungkin ini hanya sebatas bunga tidur, karena aku terlalu dihantui oleh ketakutan disalahpahami. Sehingga menjelma menjadi "hantu" dalam mimpi. 


Selesai. 

Apakah Karma Masih Berlanjut?

 Aku pikir semuanya akan tetap aman, ketika tidak terucap sedikit pun penolakan atau penghinaan terhadap cowok itu, tak seperti dulu. Hanya sebaris ketikan yang intinya, "Sepertinya, aku bukan tipe wanita idamannya." 

Tapi ternyata tiba-tiba aku tetap dapat mimpi yang sangat aneh. Rasanya aku seperti mengkhianati sahabat sendiri. Bermimpi digoda kekasih sahabat, dan aku tak bisa melawan. 

***  

Malam itu aku tidak bermaksud memikirkan, mendambakan, bahkan memimpikan pria mana pun. Cuma mengobrol santai via chatting WhatsApp dengan kakak online perempuan, Kak Binar —tentang kelulusan wisuda kuliahnya adikku. 

Aku juga menertawakan keputusan konyolku di masa lalu yang seringkali menolak untuk dijodoh-jodohkan, dengan alasan siapapun yang kelak jadi kakak ipar adikku, harus orang yang bisa menjadi panutan adik. Terutama dalam hal semangat mengenyam pendidikan.

Itulah alasan aku menerima Bahri, salah satu anggota grup disabilitas, Sebut saja grup Melati. Sayangnya keputusan itu justru membuatku disalahpahami teman-teman di grup Melati. Ada yang menuduhku mengejar-ngejar Bahri, memilihnya karena ganteng, dan bahkan memperebutkan cintanya dengan seseorang wanita yang juga anggota grup Melati.

Dari situ aku akhirnya curhat panjang, tentang aku yang sering sekali dapat tuduhan aneh-aneh. Salah satunya tuduhan ingin merebut lelaki idaman salah satu admin grup disabilitas yang satunya lagi, sebut saja grup Mawar. Sementara cewek itu, anggap saja namanya Cantik. 

Padahal aku sudah menganggap Cantik itu sebagai adik, mengingat kakaknya adalah sahabatku. Seandainya pun aku suka Martono, aku rela mengalah. Tapi faktanya aku bahkan nggak pernah tertarik sama Martono. 

Aku jadi teringat kalau sama Martono aku malah sering mengajak berdebat. Karena kita sering berbeda pendapat, dan caranya menyikapi perbedaan itu agak menyebalkan. Tentu saja itu menurut pandanganku, mungkin berbeda menurut orang lain. 

Misalnya, salah satu anggota grup Mawar, si Prita pernah bilang, "Kak Wardha juga suka anime, sama kayak Kak Martono."

Aku menyahut, "Tapi aku sukanya cuma anime genre romance. Itupun yang direkomendasikan adikku."

Si Martono menyahut, "Ah, apa serunya kalau nonton anime romance doang?"

Entah aku sedang sensitif atau apa, aku pun menjawab ketus, "Bodo amat menurut kamu nggak seru. Aku kan nggak ngajak nonton kamu!"

Mungkin perdebatan itu diterjemahkan lain oleh Cantik, yang malah mengira aku sengaja cari ribut untuk mendapat perhatian Martono.

Padahal dulu aku juga pernah mengatakan hal yang sama pada sepupuku. Ketika dia bilang, "Emang apa enaknya lagunya Yovie and Nuno? Perasaan isinya galau mulu."

"Bodo amat sih. Orang aku nggak ngajak kamu buat dengerin!"

Ya, masa aku cari perhatian sepupuku? Aku saja udah kenal dia dari kecil dan udah tahu semua aibnya.

Tapi mungkin namanya cemburu buta, logika apapun tetap sulit diterima. Atau mungkin, memang aku juga yang bersalah karena tidak berhati-hati dalam bersikap. 

Sampai akhirnya aku mendengar pengakuan yang membuatku terkejut, Kak Binar justru pernah mengharapkan aku berjodoh dengan Martono. Spontan saja aku tertawa ketika membacanya. 

Kalau boleh jujur aku memang mengagumi Martono, karena dia pintar, dan aku selalu merasa mungkin aku ditakdirkan untuk mudah terpesona sama cowok pintar. Tapi di sisi lain, aku sadar bahwa tidak semua cowok pintar ingin aku miliki. 

Buktinya, waktu menonton kompetisi kecerdasan antar mahasiswa, Clash of Champions season 2 akhir-akhir ini, dari sekian banyak mahasiswa pintar dan tampan, yang kupilih sebagai jagoan hanya tiga. Bahkan yang selalu menjadi pusat perhatianku, dalam artian mengagumi sebagai sosok laki-laki idaman, malah hanya satu. 

Tapi seingatku, aku sudah berusaha untuk tidak mengucapkannya. Aku takut lagi-lagi terkena karma, karena asal bicara seperti dulu. 

Salah satu anggota grup Mawar, sebut saja Farel, sering menggoda dan memanas-manasi, "Cantik bilang Kakak juga suka sama Martono. Aku udah ngasih penjelasan kalau Kakak suka cowok lain, tapi dia nggak percaya. Katanya, kelihatannya nggak begitu." 

Bodohnya waktu itu aku menanggapi dengan terlalu emosional, "Kelihatannya emang gimana? Atas dasar apa kelihatannya?" 

"Mungkin karena seumuran." 

Aku bilang, "Aku jarang suka cowok yang seumuran! Biasanya suka om-om." 

"Hati-hati kena karma." 

Aku nggak tahu apakah Farel bercanda apa serius, tapi jujur sampai detik ini kata-katanya masih menancap kuat di ingatanku. 

Hingga bertahun kemudian aku malah terpesona pada karakter Sandy, Axel, dan Kadit. 

Lagi-lagi Ingatanku memutar kata-kata Farel, "Yakin Kakak nggak naksir sama sekali? Kan dia ganteng." 

Aku bilang, "Aku nggak gampang suka cowok yang ganteng! Biasanya karena karakternya, kalau kebetulan ganteng berarti itu bonus. Suka sama dia? Sorry, karakternya aja nyebelin di gitu." 

"Jangan gitu ah! Hati-hati ntar malah kemakan omongan sendiri." 

Hingga beberapa tahun kemudian, tiba-tiba berkeinginan melihat wajah dan senyumnya Shawn terus, padahal waktu itu belum tahu bagaimana karakternya. Meski setelah tahu karakternya Shawn juga tidak mengecewakan. 

Tapi setelah obrolan malam itu, saat tidur siang aku malah memimpikan Roger. Dia adalah salah satu peserta dari kompetisi Clash of Champions season 2 yang diidolakan Ayunda, temanku di grup "Fans COC". Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak pernah memperhatikannya, makanya ketika teman-teman membahas Roger di grup aku lebih banyak hanya menyimak. 

Bahkan jika tak sengaja menemukan konten COC yang menampilkan Roger, aku langsung teringat Ayunda, dan langsung membagikan padanya. Tidak jarang aku bahkan tidak menonton sampai habis konten tersebut. 

"Aduh, Kaaakkk, ini karma apa lagi? Please, maafin aku dong 😭😭😭" 


Sunday, 19 October 2025

“Keputusan Konyol yang Dampaknya Luar Biasa” 🎓



Alhamdulillah, hari ini adikku wisuda. Aku jadi ingat semua pilihan konyol yang pernah aku ambil dulu.

Dulu aku sering nolak dijodohin sama teman-teman, cuma karena aku mikir: siapa pun yang jadi pasanganku nanti akan jadi kakak ipar adikku. Aku cuma pengin dia punya contoh yang baik — yang peduli sama pendidikan, atau setidaknya mau terus belajar.

Waktu aku masih bekerja, aku juga punya teman yang sering menyarankan agar aku menggunakan gaji untuk membahagiakan diri sendiri. Tapi aku justru memilih menggunakan uangku untuk hal lain: menabung buat beli buku kumpulan soal UN dan patungan sama bapak beli printer.

Bahkan tidak malu-malu, curhat soal biaya pendidikan SMA sampai akhirnya dapat beasiswa dari bosku, berutang ke anak buah di tempat kerja demi beliin koper, bahkan mencicil biaya perbaikan laptop ke sepupuku.

Semua usaha itu kulakukan demi satu harapan: semoga adikku bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dariku.

Agar dia tak perlu merasakan sulitnya mencari pekerjaan, atau mendengar kata-kata merendahkan hanya karena latar belakang pendidikan.

Melihatnya tersenyum mengenakan baju wisuda dan memegang penghargaan sebagai Wisudawan Terbaik membuat aku merasa sangat bahagia, dan tidak lagi menyalahkan keputusan-keputusan konyolku di masa lalu — meski mungkin, di mata orang lain, semua itu terlihat tak masuk akal. 



Wednesday, 15 October 2025

Karma Dibayar Lunas!


"Kalau karma beneran ada, dan kamu beneran sehebat itu bisa mendatangkan karma, semoga ini udah lunas ya, Kak? Udah dong Kak, cukup. Hehehe...."

Dulu ada seorang teman yang selalu mengingatkan, "Hati-hati lho, Kak, ntar kena karma!" atau, "Hati-hati nanti kemakan omongan sendiri." Dan sejenisnya itulah. Tapi aku yang terlanjur emosi, menganggap kata-katanya hanya angin lalu. Sehingga aku tetap berbicara sembarangan.

Waktu itu aku sedang dituduh suka (bahkan niat merebut) seseorang, walaupun kenyataannya tuduhan itu tidak benar, tapi mungkin aku melakukan kesalahan dalam memberikan konfirmasi. Mungkin aku terlalu banyak berbicara, dan tidak hati-hati dengan kata-kata yang aku pilih.

Aku ingat pernah bilang, "Aku jarang suka cowok seumuran." Lalu beberapa tahun kemudian, muncul acara kompetisi kecerdasan antar mahasiswa yang viral. Tiba-tiba saja sebuah potongan adegan dari kompetisi tersebut mampir ke beranda Instagram-ku. Berawal dari menonton satu video, kemudian video-video berikutnya, sampai pada akhirnya menonton sebuah podcast yang bintang tamunya mereka.

Kemudian salah satu dari bintang di kompetisi tersebut, yang tingkahnya lucu tapi pemikirannya dewasa memikat perhatianku. Hingga kemudian aku curhat ke adik online, "Sandy ini tipe idamanku banget!" 

Rasanya kejadian itu tiba-tiba berputar lagi di pikiranku, "Katanya nggak suka seumuran? Kenapa tiba-tiba suka yang sepuluh tahun lebih muda?"

Sudah begitu rasanya Sandy saja tidak cukup! Tiba-tiba salting pas lihat live TikTok-nya Axel. Tiba-tiba merasa nyaman waktu mendengar Kadit bernyanyi atau berbicara, entah di kontennya atau saat live.

Tapi waktu itu aku masih berpikir, mungkin aku kayak gitu karena mengagumi karakter mereka. Aku suka Kadit, karena karakter cowok alim yang masih mau bergaul. Aku suka Sandy, karena perfeksionis dan mau berusaha keras dalam hal belajar dan bekerja. Aku suka Axel, karena perhatian sama semua orang. Aku paling kagum waktu lihat dia membagikan makanan yang dia dapat dari fansnya ke kakak-kakak ruangguru. Sama waktu dia memegangkan kipas elektrik ke manajer mereka waktu konser.

Tapi begitu COC hadir dengan season 2, aku merasa lebih parah sih. Karena secara tiba-tiba aku merasa sedih Shawn tereliminasi. Aku merasa itu berarti aku tidak bisa melihat dia lagi di kompetisi tersebut. Kemudian aku jadi impulsif mencari semua video yang ada dianya. Tapi semakin banyak aku mencari, malah keterusan. Jadi pengen liat diaaa terusss. 

Tiba-tiba aku seolah lupa pada kata-kata yang dulu pernah aku ucapkan sendiri, "Aku nggak gampang suka sama cowok ganteng." karena ya, biasanya memang seperti itu. Aku cenderung mengagumi seseorang karena karakternya, kalau kebetulan orang yang karakternya menarik itu adalah cowok ganteng bagi aku itu semacam bonusnya saja. 

Aku dan teman-temanku membuat sebuah grup di mana kami membicarakan tentang kompetisi ini. Waktu aku bilang ke teman-teman pilih Shawn sebagai bias, sebenarnya aku belum kepikiran alasannya. Terus aku baru cari-cari dan mikir-mikir alasannya setelah adik online tanyakan padaku kenapa tentang Shawn tidak dikasih tahu alasannya, sementara yang lain alasannya komplit sekali. 

Sebagai contoh, pilih Gwen karena selain pintar dan cantik dia memiliki keunikan, sebagai mantan atlet sepak bola wanita. Pilih Max, karena aku tertarik dengan ilmu psikologi. Pilih Theodora, karena pernah berkeinginan jadi atlet catur wanita. Pilih Vania, karena dia berhasil menerbitkan satu buku, sehingga sebagai seseorang yang juga suka menulis aku merasa terwakili. Kemudian pilih Luthfi, karena dia pintar, lucu, dan religius.

Ya, walaupun pada akhirnya setelah dipikir-pikir aku tetap menemukan alasan baik kenapa aku memilihnya sebagai bias. Dia pintar, dia setia kawan, dia penyayang kucing, dan dia sangat mengapresiasi dukungan para fans untuknya. Dia memperlakukan para fans seperti sahabat. 

Aku setuju sih bahwa ganteng atau tidaknya seseorang, itu sebenarnya sesuatu yang subjektif. Jadi mungkin tidak semua orang bakal setuju kalau Shawn ganteng. 

Tapi secara pribadi, bahkan tanpa dikatakan sekalipun, sudah jelas-jelas aku menganggap dia ganteng. Tidak mungkin aku tidak menganggap dia ganteng, sementara aku pengen lihat dia terus. Kalau aku menganggap dia tidak ganteng, untuk apa aku berkeinginan melihatnya terus? Akan terdengar sangat munafik kalau aku bilang dia tidak ganteng, tapi aku pengen lihat terus. Kan aneh.

Jadi setiap kali aku membaca komentar netizen memuji wajah Shawn, bukannya aku bangga. Aku malah merasa tertampar. Rasanya kata-kata temanku seperti berputar-putar, "Katanya nggak gampang suka sama cowok ganteng, Kak? Tuh kan! Kemakan omongan sendiri. Dibilangin juga..."

Ini harus jadi peringatan keras buat aku pribadi, besok lagi kalau mendapatkan tuduhan yang tidak sesuai fakta, cukup jawab dengan santai, "Aku menganggap dia sebagai teman dan tidak pernah bermaksud merebut dari siapapun." Kalau kemudian tidak dipercaya, ya sudah! Tidak perlu berbicara emosional, apalagi memberi klaim tidak masuk akal.

Hanya karena waktu itu tidak tertarik padanya, bukan berarti tidak suka semua cowok ganteng. Mungkin memang seperti kata-kata orang di sosmed, "Aku memang bukan target marketnya cowok itu saja."