Tuesday, 15 September 2020

Review Novel: Savanna dan Samudra

Opini Pribadi Tentang Novel

Savanna dan Samudra by Ken Terate

"Jangan menilai sebuah buku, hanya dari sampulnya."

Aku rasa quote yang sering berseliweran itu, cocok banget buat buku ini. Karena jujur saja aku merasa tertipu dengan sampulnya yang manis. Aku mengira ini cerita romance comedy ringan. Ternyata dark, walaupun banyak komedinya.

Bintang Savanna, mahasiswi yang tiba-tiba harus berhenti kuliah dan bekerja beberapa bulan setelah kematian ayahnya. Mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di sebuah kedai susu dan memiliki rekan kerja yang kata temannya mirip Reza Rahadian. => di sini aku mulai kehilangan fokus. Jangan-jangan kalau dibuat film, pemainnya bakalan "Reza lagi, Reza lagi deh. Hadeh..." 😑

Alun Samudra, pelayan yang dibilang mirip Reza itu, lulusan SMK, yang norak, dan gaptek, sampai-sampai update Facebook saja nggak bisa. Tapi dia cowok yang lucu, dan selalu berhasil menceriakan suasana. Dia juga baik, tulus, dan apa adanya. 

Sava pikir hidupnya selama ini sempurna, dan kepergian ayahnya adalah awal petaka. Ternyata salah, dari awal dia tertipu, atau mungkin menutup mata. Keluarganya tak sempurna. Bahkan ternyata, yang selama tak mungkin dia ketahui, sejak awal pernikahan orang tuanya sudah merupakan awal petaka bagi ibunya. 

Berbeda dengan Alun, yang sejak awal sudah mengalami banyak ketidaksempurnaan dalam hidup, tapi dia menjalani semua dengan santainya. Mengikuti arus kehidupan yang membawanya ke mana pun. 

Ini sebenarnya berat banget, persoalan yang dihadapi Sava dan apa-apa yang pernah dialami Alun bukan perkara yang sederhana. Di novel-novel yang lain, mungkin bisa saja diolah menjadi drama sedih. Dengan pemilihan kata yang mendayu, alur yang diperlambat, atau cuaca dan suasana yang dibuat sehiperbola mungkin. Tapi entah kenapa novel ini sama sekali nggak bikin nangis. Malah lebih banyak ngakak. 

Mungkin karena tokohnya yang digambarkan apa adanya, bisa salah, dan punya kekurangan. Berbeda dengan kebanyakan tokoh utama yang digambarkan amat sangat baik, sehingga memicu simpati pembaca. 

Seperti Sava yang terkadang omongannya agak kasar, dan di beberapa cerita bisa terlihat kurang sopan, walaupun memang dalam kondisi terdesak. Juga soal Alun yang kayak bukan cowok baik-baik, karena sering ngomentarin sembarangan para tamu kedai bersama Koh Abeng. 

Pokoknya novel ini kompleks, bukan sekadar romantis biasa. Bisa dibilang dark, karena seluruh tokohnya punya sisi buruk. Bahkan yang paling nggak masuk akal sekalipun. 

Jadi buat suka kisah inspiratif, kisah religius, novel ini mungkin nggak rekomended. Buat yang anti kata-kata kasar dan umpatan, walaupun nggak banyak, tapi mungkin bisa bikin nggak nyaman. Tapi nggak seburuk novel "panas" kok. Masih dalam kategori aman untuk dibaca. 

Dari segi penuturan, menurut aku menarik sih. Bisa bikin betah baca sampai endingnya. Ambil jeda cuma karena beberapa kewajiban, bukan udah bosen. Sudah lama aku nggak kayak gini. Setiap naca novel maksimal cuma tiga sampai lima halaman, terus istirahat, dan lanjut besok lagi.

Terakhir, aku mau selipkan kutipan dari buku, yang entah bagaimana bikin aku langsung ngakak waktu dishare oleh Ainaya Kurniatulloh, "Banyak cowok yang dia anggap ganteng. Tapi bukan berarti apa pun. Sama seperti saat dia melihat mobil bagus. Oke, mobil itu bagus. Sudah. Oke, cowok itu ganteng. Sudah."

Jadi, ya, buku ini cukup Bagus dan Menarik. Tapi belum berhasil membuatku SUKA. Tapi lumayan buat hiburan. 😅

No comments:

Post a Comment