Dibuka dengan adegan demi adegan yang berbeda dari versi novel, membuat aku tertarik untuk mengikuti cerita dan menebak-nebak endingnya.
Peringatan: Banyak Spoiler! 🙅🏻
Film ini berkisah mengenai Tania yang antisosial dan suka mengkhayal, dia biasa menuangkan hasil imajinasinya dalam sebuah gambar yang dibuat sembarangan. Bukan hanya di kertas-kertas asal-asalan, dia bahkan mengambar di tembok saat ibunya dipanggil ke ruang kepala sekolah. Tania juga jutek banget dan bersikap semaunya sendiri, sampai membuat seluruh siswa di sekolah takut berinteraksi dengannya.
Sifat antisosial Tania juga berlaku di rumah. Dia tinggal sendiri di paviliun samping rumahnya, dan selalu menghabiskan waktu untuk menuangkan imajinasi lewat lukisan di sana. Sehingga ibu dan dua kakaknya sering kesulitan memahami sifat Tania. Diceritakan bahwa satu-satunya sosok yang mampu memahami hobi Tania dalam melukis hanyalah ayahnya, yang sudah almarhum. Dia juga hanya berinteraksi dengan Bi Eha yang selalu melayani segala kebutuhan, termasuk memasak nasi kerak, satu-satunya makanan favoritnya.
Hingga tiba-tiba hadir sosok siswa baru di sekolah Tania, bernama Ananta Prahadi. Laki-laki yang memiliki nama panggilan Anta ini, mengaku berasal dari Subang dan bersikap tampak lugu di hadapan semua orang. Anta akhirnya duduk sebangku dengan Tania. Sifat Anta yang norak dan sok akrab membuatnya kesal, apalagi saat si anak baru tersebut berani memanggilnya dengan sebutan Teteh Tatan. Tapi tiba-tiba dia mengajak Tania makan nasi kerak, sehingga gadis itu mulai bersikap baik. Perlahan-lahan dengan kesabaran dan kesungguhan Anta, akhirnya Tania luluh juga. Sehingga keduanya pun menjalin kerja sama. Tania melukis, sedangkan Anta mengumpulkan, merawat, dan memasarkan berbagai hasil lukisan Tania kepada publik.
Di saat semuanya baik-baik saja, tiba-tiba Anta menghilang
Sekembalinya dari kepergian dia justru memperkenalkan sesosok laki-laki yang nyaris sempurna bernama Pierre, pria tampan blasteran Prancis yang tinggal di Yogyakarta. Anta pun perlahan-lahan berusaha menjauh dari kehidupan Tania dan menyisakan tanda tanya besar.
***
Ada banyak perbedaan dengan novel, tapi menurutku malah lebih realistis.
Di novel diceritakan bahwa Tania anak tengah, tapi di film dia merupakan anak terakhir. Menurut pengamatan aku, anak tengah itu biasanya justru yang paling ramah dan pandai bersosialisasi dengan berbagai kalangan. Maklum saja, dia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan kakak dan adiknya. Jadi menurut pengamatanku jarang banget ada anak tengah yang berkelakuan seaneh Tania dalam versi novel. Dengan catatan, itu di sekitarku saja. Mungkin di sekitar si penulis bisa jadi berbeda.
Sedangkan kalau anak terakhir, emang kadang gitu sih. Banyak yang merasa terasing, karena jarak usia dengan orang tuanya jauh banget, jadi merasa saling kesulitan untuk memahami. Cenderung bersikap semaunya sendiri karena kakaknya banyak dituntut mengalah dan melindungi. Ini emang nggak berlaku untuk semua, tapi kebanyakan. Ini juga hanya berdasarkan hasil pengamatan di sekitar aku. Siapa tahu, di sekitar penulis keadaannya berbeda...
Di novel diceritakan bahwa ayahnya masih hidup, dan Tania berubah sejak kepergian kakak pertamanya karena kuliah di luar negeri, satu-satunya sosok yang bisa mengendalikan sikap buruk Tania. Tapi di film ditunjukkan bahwa hanya sang ayah yang mampu memahami Tania, dan beliau telah wafat. Menurut aku sih, sosok ayah lebih meyakinkan untuk berpengaruh dalam hidup seseorang dari pada kakak, kecuali kalau ada alasan yang sangat kuat mendasarinya, yang sayangnya di novel tidak digambarkan dengan sangat baik dan meyakinkanku.
Sosok Pierre yang di novel digambarkan sebagai pria yang tinggal di luar negeri. Sedangkan di film tinggal di Yogyakarta. Setidaknya kalau tinggal di Yogyakarta, aku bisa maklum kenapa dia punya kesabaran seluas angkasa dalam menghadapi sifat Tania. Soalnya laki-laki Yogyakarta kebanyakan sabar-sabar euy. Bukan mau rasis atau gimana sih. Tapi faktanya emang banyak laki-laki Yogyakarta yang menurut aku sabar-sabar. Bahkan walaupun bukan berasal dari daerah setempat, kalau udah tinggal di sana biasanya sabar. Mungkin pengaruh lingkungan. Entah... Tapi nggak semua orang pastinya. Bisa jadi hanya karena aku yang belum kenalan sama yang tipe laki-laki senggol bacok 😅
Lewat novel dan film ini, aku akhirnya mengerti kenapa tokoh utama sebuah sinetron selalu digambarkan sebagai sosok yang sangat baik dan lemah tak berdaya. Yaitu biar orang-orang pada simpati, sehingga ikut merasakan duka saat si tokoh utama menderita. Ya, karena saat menikmati novel dan film dengan karakter yang seenaknya sendiri kayak si Tania gini, rasa simpati itu nggak kerasa.
Atau mungkin karena aku yang kurang peka? Soalnya banyak yang bilang mereka nangis dan sedih saat nonton ini.
Dan, ternyata endingnya... Eh, nggak boleh banyak spoiler 🤣🤣🤣
Mungkin, kalau film atau novelnya diambil dari sudut pandang Ananta Prahadi, pendapatku bakal lain. Banyak cewek-cewek yang mengaku baper karena kesungguhan Anta memahami Tania. Kalau boleh jujur, aku juga sedikit baper versi filmnya, hanya di saat-saat pertama kali Anta berusaha mendekati Tania. Waktu Anta langsung cerita sendiri walaupun Tania nggak nanya, itu emang sweet banget...
Setidaknya film ini dihiasi oleh pemain-pemain bintang papan atas, baik yang sekarang sedang naik daun, atau yang dulu pernah populer di jamannya. Jadi selain bisa melepas rindu dengan artis idola, secara akting juga nggak mengecewakan dan sangat bisa dinikmati.
Film "Ananta" dibintangi oleh Michelle Ziudith yang selama ini sudah sering nongol di berbagai film melodrama romantis, yang menurut aku ala-ala FTV. Di sini dia berperan sebagai Tania. Kemudian Ananta Prahadi diperankan oleh Fero Walandouw, yang katanya sih sering nongol di film-film horor Indonesia. Sedangkan Pierre diperankan oleh Nino Fernandez, yang pernah membintangi film "Wa'alaikumsallam Paris".
Ditambah dengan kehadiran artis Nova Eliza yang berperan sebagai ibunya, Roy Sungkono kakak pertama, dan Jihane Almira sebagai kakak kedua. Anjasmara, sebagai sang ayah. Ada juga Asri Welas, sebagai Bi Eha. Bahkan ibu gurunya adalah Astrid Tiar.
Lokasi syuting yang katanya di Puncak, juga setidaknya menghasilkan gambar yang indah dan memanjakan mata. Lumayan buat hiburan.
Jadi, bagus filmnya. Menarik. Tapi aku kurang suka. Aku benci endingnya, dan ada satu adegan yang membuatku merasa seperti nonton film thriller. Soalnya aku takut banget sama darah. Bikin ngilu... 🙈
No comments:
Post a Comment