Sunday, 4 May 2025

Mereka Bilang Dia Tampan



“Aku tahu kamu pilih dia karena dia ganteng, ya kan?”


Aku hanya bisa menghela napas, sebuah isyarat lelah untuk debat yang tak perlu. Haruskah aku menjelaskan panjang lebar, seperti para artis yang harus mengkonfirmasi rumor tentang kehidupan pribadinya? Kupikir tak perlu, karena aku bukan bagian dari mereka. Aku hanya orang biasa. 


Namun, semakin aku diam, rumor itu semakin menyebar. Orang-orang seakan berhak menilai alasan seseorang jatuh cinta. Seolah cinta adalah rumus matematika yang mudah dimengerti oleh semua orang: tampan + mapan = jatuh hati. Padahal cinta lebih sering seperti hujan yang tak diundang, bahkan tak jarang lupa memberikan isyarat. Hujan tidak selalu menunggu kita memanggil-manggil namanya. Hujan juga tidak selalu seiring dengan langit yang mendung. Tak jarang langit cerah dengan sinar matahari menyala, tapi hujan turun seketika.


Banyak yang bilang dia tampan. Lelaki berkulit kuning langsat yang menawan, dengan hidung bangir, tatapan mata yang teduh, dan bibir tipis yang sedikit bersemu merah. Ditunjang dengan penampilannya yang rapi, seperti layaknya kebanyakan pria mapan. Semua menganggap dia pria idaman. Tapi… entah mengapa aku tak pernah benar-benar melihatnya demikian.


Bahkan saat pertama kali aku melihat fotonya di sosial media, aku tidak merasa terpesona dan tidak juga ingin terus menatap wajahnya, tidak seperti di novel-novel romantis yang sering aku baca. Jantungku pun tidak berdebar kencang. Tidak ada bunga-bunga yang terasa bermekaran di dada. Namun aku heran, karena banyak teman-teman perempuan di komunitasku yang begitu antusias dengan komentar-komentar menggodanya. Apakah ada yang salah dengan pandangan mataku? 


Hingga akhirnya aku iseng-iseng bertanya pada sepupuku lewat chat, dengan menyertakan fotonya.

"Menurutmu, dia cakep nggak?"


Sepupuku tak lama kemudian menjawab, “Enggak. Tapi kalau kamu suka, ya, nggak papa.”


Aku langsung terdiam, dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa aku suka? 


Kemudian aku langsung menggeleng pelan. Lantas mematikan layar ponsel dan melupakannya. 


Tipe idamanku berbeda. Aku lebih suka laki-laki berkulit kecokelatan, dengan senyum yang manis. Yang mengingatkanku pada gula jawa yang dicairkan dan dijadikan toping bubur sumsum. Seperti Abdur Arsyad, komika yang bahkan dari layar TV sudah bisa membuatku jatuh hati. Dulu, saat dia ikut kompetisi Stand Up Comedy, aku sudah menjagokannya sejak episode pertama. Selain daya tarik fisiknya, aku juga mengaguminya karena jujur, lucu, dan cerdas. Bahkan saat mendengar kabar idolaku itu menikah, aku sempat merasakan patah hati. 


Namun sepertinya seleraku tidak umum di masyarakat. Di negara ini, kulit yang cerah bahkan putih merupakan standar cantik dan tampan. Terbukti dengan segudang produk perawatan kulit yang menjanjikan “kulit putih mulus”. Seolah warna kulit yang cerah, terlebih putih, merupakan satu-satunya pintu menuju kebahagiaan yang sejati.


Sehingga waktu aku memilih dia—mantan kekasihku—mereka menuduhku melihat fisiknya. Aku berusaha maklum, mungkin tak semua orang bisa mengerti, bahwa yang membuatku mulai melihatnya bukan warna kulit yang menempel di tubuhnya, tapi karena ibuku bilang melihatnya di sebuah segmen berita sore sedang mengajar anak-anak penuh kesabaran. Aku mulai belajar menerima kehadirannya bukan karena kemapanan finansialnya, tapi karena dia rela mendengarkan curhatanku tentang keinginan bersekolah formal yang tidak didukung ayahku. Dia bahkan pernah berjanji membantuku berbicara dengan ayah tentang mimpiku, meski pada akhirnya tidak pernah ditepati.


Namun pada akhirnya, tidak semua kisah asmara bisa berlabuh pada tujuan akhir. Begitulah jalinan kasih kami yang akhirnya hanya menjadi kenangan. Maka dibalik kesunyian hidupku, tuduhan-tuduhan yang dulu terdengar seperti bisikan, kini menjelma suara-suara yang terus menggema dan menyudutkan.


“Kasihan, mantannya yang ganteng nikahnya sama cewek lain.”

“Cantikan yang sekarang diajakin nikah, sih. Pantesan dia ditinggalkan.”


Ironis, orang-orang senang mengambil kesimpulan berdasarkan selera dan pengalaman hidupnya sendiri. Padahal, mereka tidak pernah menjalani kehidupan yang sama dan perasaan yang belum tentu serupa.


Apakah mereka mau mengerti betapa aku dulu memaksa diriku mencintai bukan karena rupa? Bahwa aku berusaha memaklumi semua kebiasaannya, meski kadang membuatku tidak nyaman. Bahwa aku bertahan bukan karena aku merasakan bahagia dan berbunga-bunga, tapi karena aku berusaha meyakini bahwa bahagia akan datang seiring dengan adanya ketulusan, bukan semata ketertarikan semu.


Terkadang aku menyesal pernah bersamanya, tapi kemudian sadar bahwa itu tidak bijak. Setidaknya aku harus bersyukur karena semuanya sudah benar-benar berakhir. 


Setidaknya dari pengalaman ini aku belajar:

Seharusnya aku menunggu datangnya seseorang yang sesuai dengan kriteriaku, bukan menghabiskan waktu untuk seseorang yang sekedar tampak sempurna di mata publik.


Dan cinta…

tak pernah sesederhana warna kulit, wajah tampan, atau janji indah tentang masa depan.




No comments:

Post a Comment