Thursday, 22 May 2025

Mahligai Tanpa Buaian


Semua orang memanggilku Vania. Aku wanita yang duduk di atas kursi roda tapi nekat berkhayal memiliki momongan dari rahimku sendiri. Khayalan yang biasa saja bagi sebagian besar orang, tetapi seperti mustahil bagi kalangan orang-orang seperti kami. 

Pada suatu senja, aku mendengar tanya ragu-ragu dari seorang lelaki, "Vania, kita ini kan sesama difabel, kebanyakan teman-teman kita memutuskan untuk tidak menikah. Aku ingin tahu, apakah kamu pernah berkeinginan untuk menikah?"

Sebut saja namanya Genta, lelaki yang juga difabel, sepertiku. Namun kondisi Itu bukan semata-mata alasan aku memilihnya. Dia menawarkan kelembutan, cara memandangku tanpa kasihan, dan perbincangan-perpincangan kami yang menyuburkan benih-benih mimpi tentang masa depan.

Rasanya baru kemarin, aku menjawab dengan antusias, "Tentu! Aku gemes banget sama bocil-bocil. Aku mau melahirkan bocil-bocil yang menggemaskan itu dari rahimku sendiri."

Itu bukan sekedar jawaban, tetapi sebuah harapan besar. Setiap melihat anak kecil yang lucu-lucu, rasanya aku ingin memeluknya. Tiba-tiba berharap cepat menikah, memiliki keluarga kecil, dan melahirkan makhluk mungil yang akan aku limpahi dengan segenap kasih sayang.

Namun waktu mengubah segalanya. Genta dan aku memutuskan untuk memilih jalur yang tak lagi sama. Aku merasa duniaku runtuh, sudah pasti. Namun bergulirnya waktu, menghadirkan dia… bukan sebagai pengganti, tapi menjelma alkisah yang berlainan. Lelaki baru yang membuatku percaya bahwa puing-puing duniaku yang runtuh masih bisa dibangun kembali. 

Anggap saja, namanya Damar. Dia bukan lelaki biasa. Dia memiliki semangat untuk terus belajar, bersikap sopan terhadap perempuan, dan berani mengutarakan pendapat yang berbeda dari kebanyakan orang. Berawal dari mengagumi karakternya, tiba-tiba aku jatuh hati. 

Namun saat aku terlanjur jatuh hati, aku mengetahui fakta yang mengejutkan. Bahwa lelaki yang diam-diam aku cintai ternyata penyintas kusta. Fakta itu sama sekali tidak mengurangi kadar perasaanku padanya. 

Bahkan ketika kemudian aku membaca sebuah artikel yang menjelaskan bahwa penyintas kusta mempunyai kemungkinan tidak dapat memiliki keturunan, hatiku tidak berubah. Aneh, bukan ingin menjauh, tapi justru ingin memeluknya. Aku mulai merencanakan hidup yang bahagia, walau tanpa makhluk mungil yang akan memanggilku ibu, atau memanggilnya ayah. 

Aku mulai berpikir kami berdua bisa menyisihkan waktu bersama anak-anak di panti asuhan, atau bercanda riang gembira bersama keponakan kecil kami. Aku meyakini bahwa hidup kami tetap berwarna walau tak ada makhluk mungil darah daging sendiri. Bahkan belum pernah sebelumnya, aku merasa menikmati kebersamaan kami sudah lebih dari cukup.

Kini, setiap kali aku menyaksikan makhluk mungil bertingkah lucu, aku masih tertawa gemas. Namun tak ada lagi obsesi menggebu untuk mempunyai yang serupa —melainkan karena aku tahu, cinta sejati tidak selalu harus berupa warisan darah. Namun, yang selalu melahirkan rasa syukur.


Friday, 16 May 2025

“Aku Ingin Memanggilmu, Mas"




Ada satu kebiasaan kecil yang dulu sengaja aku lakukan: memanggil laki-laki lebih muda dengan sebutan “Dek”. Bahkan walau selisih usia kami hanya sebulan. Bukan karena aku ingin dihormati berlebihan, tapi lebih karena aku merasa itu cara halus agar mereka mengerti adanya jarak. Supaya mereka tahu batas. Biar mereka tidak bersikap macam-macam.

Namun semua berubah, sejak mengenal Nakula—memang kami tidak pernah berhadapan langsung, hanya melalui layar mungil Tiktok dan Instagram. 

Nakula bukan siapa-siapaku. Dia mahasiswa pintar, ramah, dan sopan yang akhir-akhir ini sering muncul dalam berbagai video edukatif, sejak dinobatkan sebagai salah satu juara kompetisi kecerdasan antar mahasiswa di Indonesia. Aku pun bukan seseorang yang punya sangkut paut dalam kehidupannya. Cuma seorang wanita sederhana, yang tak pernah absen menyaksikan siaran langsungnya di Tiktok sambil sesekali ikut tersenyum saat melihat senyumnya yang manis.

Yang paling aneh: aku tak pernah ingin memanggilnya “Dek”, meski aku tahu usianya terpaut jauh di bawahku.

Justru, setiap kali melihat wajahnya yang serius tapi tetap menyenangkan, atau mendengar suaranya menjelaskan soal dengan tenang, ada panggilan spontan yang selalu muncul di benakku.

“Mas…”

Pernah suatu pagi, aku tak sengaja menemukan videonya sedang membahas soal ujian sambil duduk di depan layar laptop. Sinar matahari pagi membias lewat jendela di belakangnya. Rambutnya masih menyisakan bulir-bulir air, seperti baru saja mandi pagi, tapi langsung duduk bekerja. Padahal jam di ponselku, yang kuletakkan di dekat meja rias masih menunjukkan pukul 06.00. 

Aku yang masih sibuk mengusap skincare ke wajah sambil menonton videonya, refleks bergumam sendiri,

“Ya ampun, Mas… ini masih pagi loh, kamu kok rajin banget…”

Seketika aku terdiam.

Dan tertawa kecil.

"Astagfirullah! Kayaknya aku lagi ngomong sendiri sama hape." Seolah berharap dia mengerti, meski tak akan pernah menjawab. Namun entah mengapa, seolah ada kupu-kupu yang berterbangan di dadaku. Rasanya itu lebih dari cukup. Cukup hanya membatin satu panggilan kecil, aku memiliki ruang untuk menyayanginya dalam sunyi. Aku tidak mengharapkan sesuatu. Pun tak menuntut untuk dijawab.

Karena panggilan itu bukan artinya aku memimpikannya jadi kakakku. Namun diam-diam, jauh di palung jiwaku yang tiba-tiba berbunga-bunga, aku mengimajinasikan ingin bisa memanggilnya begitu sepanjang waktu. Bukan sebagai penggemar dari kejauhan. Namun sebagai seseorang yang menyeduhkan teh manis sambil berkata,

“Mas, aku bikinin teh, biar kerjanya makin semangat. Tapi jangan marah kalau rasanya kurang manis, soalnya banyak gula yang kabur karena merasa nggak semanis senyumanmu.”

Aku tertawa geli, hingga sebotol moisturizer di tanganku nyari terjatuh. 

Namun pagi itu, aku terinspirasi untuk mengupload quotes hari ini:

Kadang, cinta tak butuh dinyatakan dengan lantang. Cukup melalui panggilan sederhana yang sudah menjelaskan segalanya. Aku bahagia dan ikhlas mengaguminya, meski hanya dari layar mungil sosial media. 

Dan aku… ingin selalu memanggilnya “Mas”.

Meskipun terdengar lirih hanya untuk sepasang telingaku sendiri. 



Sunday, 4 May 2025

Mereka Bilang Dia Tampan



“Aku tahu kamu pilih dia karena dia ganteng, ya kan?”


Aku hanya bisa menghela napas, sebuah isyarat lelah untuk debat yang tak perlu. Haruskah aku menjelaskan panjang lebar, seperti para artis yang harus mengkonfirmasi rumor tentang kehidupan pribadinya? Kupikir tak perlu, karena aku bukan bagian dari mereka. Aku hanya orang biasa. 


Namun, semakin aku diam, rumor itu semakin menyebar. Orang-orang seakan berhak menilai alasan seseorang jatuh cinta. Seolah cinta adalah rumus matematika yang mudah dimengerti oleh semua orang: tampan + mapan = jatuh hati. Padahal cinta lebih sering seperti hujan yang tak diundang, bahkan tak jarang lupa memberikan isyarat. Hujan tidak selalu menunggu kita memanggil-manggil namanya. Hujan juga tidak selalu seiring dengan langit yang mendung. Tak jarang langit cerah dengan sinar matahari menyala, tapi hujan turun seketika.


Banyak yang bilang dia tampan. Lelaki berkulit kuning langsat yang menawan, dengan hidung bangir, tatapan mata yang teduh, dan bibir tipis yang sedikit bersemu merah. Ditunjang dengan penampilannya yang rapi, seperti layaknya kebanyakan pria mapan. Semua menganggap dia pria idaman. Tapi… entah mengapa aku tak pernah benar-benar melihatnya demikian.


Bahkan saat pertama kali aku melihat fotonya di sosial media, aku tidak merasa terpesona dan tidak juga ingin terus menatap wajahnya, tidak seperti di novel-novel romantis yang sering aku baca. Jantungku pun tidak berdebar kencang. Tidak ada bunga-bunga yang terasa bermekaran di dada. Namun aku heran, karena banyak teman-teman perempuan di komunitasku yang begitu antusias dengan komentar-komentar menggodanya. Apakah ada yang salah dengan pandangan mataku? 


Hingga akhirnya aku iseng-iseng bertanya pada sepupuku lewat chat, dengan menyertakan fotonya.

"Menurutmu, dia cakep nggak?"


Sepupuku tak lama kemudian menjawab, “Enggak. Tapi kalau kamu suka, ya, nggak papa.”


Aku langsung terdiam, dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa aku suka? 


Kemudian aku langsung menggeleng pelan. Lantas mematikan layar ponsel dan melupakannya. 


Tipe idamanku berbeda. Aku lebih suka laki-laki berkulit kecokelatan, dengan senyum yang manis. Yang mengingatkanku pada gula jawa yang dicairkan dan dijadikan toping bubur sumsum. Seperti Abdur Arsyad, komika yang bahkan dari layar TV sudah bisa membuatku jatuh hati. Dulu, saat dia ikut kompetisi Stand Up Comedy, aku sudah menjagokannya sejak episode pertama. Selain daya tarik fisiknya, aku juga mengaguminya karena jujur, lucu, dan cerdas. Bahkan saat mendengar kabar idolaku itu menikah, aku sempat merasakan patah hati. 


Namun sepertinya seleraku tidak umum di masyarakat. Di negara ini, kulit yang cerah bahkan putih merupakan standar cantik dan tampan. Terbukti dengan segudang produk perawatan kulit yang menjanjikan “kulit putih mulus”. Seolah warna kulit yang cerah, terlebih putih, merupakan satu-satunya pintu menuju kebahagiaan yang sejati.


Sehingga waktu aku memilih dia—mantan kekasihku—mereka menuduhku melihat fisiknya. Aku berusaha maklum, mungkin tak semua orang bisa mengerti, bahwa yang membuatku mulai melihatnya bukan warna kulit yang menempel di tubuhnya, tapi karena ibuku bilang melihatnya di sebuah segmen berita sore sedang mengajar anak-anak penuh kesabaran. Aku mulai belajar menerima kehadirannya bukan karena kemapanan finansialnya, tapi karena dia rela mendengarkan curhatanku tentang keinginan bersekolah formal yang tidak didukung ayahku. Dia bahkan pernah berjanji membantuku berbicara dengan ayah tentang mimpiku, meski pada akhirnya tidak pernah ditepati.


Namun pada akhirnya, tidak semua kisah asmara bisa berlabuh pada tujuan akhir. Begitulah jalinan kasih kami yang akhirnya hanya menjadi kenangan. Maka dibalik kesunyian hidupku, tuduhan-tuduhan yang dulu terdengar seperti bisikan, kini menjelma suara-suara yang terus menggema dan menyudutkan.


“Kasihan, mantannya yang ganteng nikahnya sama cewek lain.”

“Cantikan yang sekarang diajakin nikah, sih. Pantesan dia ditinggalkan.”


Ironis, orang-orang senang mengambil kesimpulan berdasarkan selera dan pengalaman hidupnya sendiri. Padahal, mereka tidak pernah menjalani kehidupan yang sama dan perasaan yang belum tentu serupa.


Apakah mereka mau mengerti betapa aku dulu memaksa diriku mencintai bukan karena rupa? Bahwa aku berusaha memaklumi semua kebiasaannya, meski kadang membuatku tidak nyaman. Bahwa aku bertahan bukan karena aku merasakan bahagia dan berbunga-bunga, tapi karena aku berusaha meyakini bahwa bahagia akan datang seiring dengan adanya ketulusan, bukan semata ketertarikan semu.


Terkadang aku menyesal pernah bersamanya, tapi kemudian sadar bahwa itu tidak bijak. Setidaknya aku harus bersyukur karena semuanya sudah benar-benar berakhir. 


Setidaknya dari pengalaman ini aku belajar:

Seharusnya aku menunggu datangnya seseorang yang sesuai dengan kriteriaku, bukan menghabiskan waktu untuk seseorang yang sekedar tampak sempurna di mata publik.


Dan cinta…

tak pernah sesederhana warna kulit, wajah tampan, atau janji indah tentang masa depan.