Tuesday, 17 May 2016

Haiku tentang Pena dan Cerita Sederhana Dibaliknya

Haiku untuk Mia




Berteman kata
Curahkan peluh jiwa
Dipeluk malam 


Surya merona
 Pena mengukir asa
Di atas putih


Pelukan kata
Hangatkan dingin malam
Redakan tangis




***


Pena kesayangan, layak berjuluk demikian. Sudah bertahun-tahun aku mempertahankannya. Jika tintanya sudah habis, aku selalu membeli pena baru hanya untuk diambil dan “dioplos” isinya. Haha... becanda. Maksudku, hanya akan kuperbarui isinya. Wadahnya, tentu saja tetap yang ini.

Kala adikku bilang butuh pena pun, aku lebih memilih membelikan yang baru, dari pada meminjamkan yang ini. Terakhir, saat begitu terpaksa, aku memilih menukarkan isi di dalamnya saja. Kemudian aku membeli yang baru. Tentu saja, aku kembali cuma mengambil isinya.

Aku konyol? Memang. Namun kekonyolan ini bukan tanpa alasan.

Fanatik pada merk tertentu? Tidak juga. Walau aku setia, tetapi aku ini realistis. Jika ada yang katanya lebih baik, aku tak keberatan mencoba. Bila memang sungguh bagus, aku pun tak segan berpaling.

Suka sekali pada bentuknya? Hmm ... tidak juga. Biasa saja, menurutku.

Punya kenangan tersendiri? Iya, ini memang pemberian kedua adik laki-lakiku sebagai kado ulang tahun, entah yang keberapa, sayang sekali aku sudah lupa. Namun, bukan itulah alasanku yang sesungguhnya.

Tingginya yang sangat sesuailah yang menjadi alasan utamanya. Yups, karena tingginya ketika tutup dibalik dan diletakkan di bagian sebaliknya dari mata pena tersebut sangat cocok bila kugunakan untuk menulis. Sementara yang lain, sering terasa kurang panjang, sehingga tak nyaman kugunakan. Sebab, aku memang dianugerahi Tuhan dengan kondisi fisik yang unik dan berbeda. Proses menulisku tak hanya bergantung sepenuhnya pada tangan kanan, tetapi mesti bekerjasama dengan dagu pula.

Terima kasih pena kesayanganku, karena telah setia menemani hingga detik ini. Aku masih ingat, betapa sulitnya dulu kala menulis tanpa bantuanmu. Sejak ada kamu, menulis jadi lebih mudah dan nyaman.

Hadirmu, bagai sahabat terbaik untukku. Lewat kata, kucurahkan semua keluh kesahku. Lewat kata, kulampiaskan segala emosiku. Lewat kata, kuungkapkan rindu dan kasih yang terpendam. Lewat kata, kurangkai mimpi dan kukejar ambisi.

Karena kita sudah berteman lama, bagaimana jika kuberi kau nama? Bolehkah kupanggil kau, Mia? Lia dan Mia. Hehe ... kedengarannya lucu. 


 


No comments:

Post a Comment